Buku

Esensi Rezeki dalam Khazanah Kitab Klasik

25 Jun 2020 12:53 WIB
2121
.
Esensi Rezeki dalam Khazanah Kitab Klasik

Akankah bertambah jika dicari dan berkurang jika tidak dicari?

Dewasa ini, banyak dari kita yang mendengarkan perkataan segelintir orang “Yah, kok rezekiku segini-gini aja sih??” atau “Udah, ngapain lu kerja, kan rezeki udah ada yang ngatur??” dan masih banyak lagi ocehan yang lainnya terkait kegelisahan orang mengenai tentang rezeki. Tak heran apabila sepatah dua kata tersebut terlontar dari lisan mereka karena kedangkalan mengenai apa itu sebenarnya rezeki.

Perlu kita ketahui bahwa secara etimologi ada beberapa kata yang maknanya hampir sama dengan rezeki, antara lain: الحظ dan الغذاء. Jika dibandingkan antara lafad الرزق dengan الحظ, keduanya memang memiliki kemiripan dalam segi makna, namun juga memiliki perbedaan yang mendasar.

Dalam kitab Mu'jam al-Furuq al-Lughawiyah karangan syekh Abu Hilal Al-Hasan ibn Abdullah telah dibahas mengenai perbedaan makna lafad antara الرزق dan الحظ. Yang dimaksud rezeki (الرزق) adalah sebuah  pemberian dari Tuhan yang mengalir secara terus-menerus tanpa henti pada semua umat manusia selama masih hidup di dunia, sedangkan pengertian dari al-haẓ (الحظ) adalah segala pemberian yang baik dari Tuhan kepada para hambanya dan sewaktu-waktu pemberian tersebut bisa dihilangkan atau dicabut kembali selama dia masih berada di dunia.

Tidak hanya itu, makna kata dari rezeki juga bisa diartikan sebagai segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah SWT di bumi dan keberadaannya bisa diakui status kepemilikannya.

Berdasarkan dalil dalam firman Allah SWT “خلق لكم ما في الأرض جميعا” (Q.S. Al-Baqarah:29). Dalil tersebut menerangkan bahwa apa saja yang berada di muka bumi serta tidak jelas status kepemilikannya maka boleh kita ambil hak kepemilikan dan hukumnya adalah halal. Hal ini selaras dengan apa yang dimaksud oleh salah satu qawaid al-fiqhiyyah yaitu berbunyi “الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم” serta diperkuat dengan hadist Rasulullah SAW”ما أحل الله فهو حلال وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو فاقبلوا من الله عافيته فإن الله لم يكن لينسى شيئا”.

Setelah kita pahami dari beberapa paparan dalil yang ada kaitannya dengan rezeki di atas, kita tahu bahwa dalam Islam bekerja itu bukanlah satu-satunya sebab kita dapat rezeki dalam bentuk materi. Karena rezeki itu bukan hanya sekedar materi, bukan jumlah nominal yang masuk rekening kita, bukan banyaknya kitta mendapatkan giveaway. Melainkan ia bisa berbentuk nikmat sehat, teman yang baik, anak yang sholih, serta segala sesuatu di muka bumi yang tidak ada status kepemilikannya.

Di samping itu, logika kita terkadang juga menjustifikasi dengan berbagai anggapan misalnya “Kalo gitu ga usah capek-capek kerja dong kalau jatah rezeki memang sudah ditetapkan Allah?”. Nah, ini merupakan pemikiran yang salah kaprah mengenai esensi dalam hal bekerja yang terjadi di masyarakat.

Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampesi dalam kitabnya Siroju At-Ṭolibin mengutip dari perkataannya Sayyidina Ali Karamallahu Wajhahu, disebutkan bahwa:

“الرزق رزقان: رزق يطلبك ورزق تطلبه. وفسره بعض العلماء, فقال: الرزق الذي يطلبك هو رزق الغذاء, والرزق الذي تطلبه  رزق التملك وهو طلب فضول  القوت"

Yang artinya: ”Menurut beliau (Sayyidina Ali) rezeki itu terbagi menjadi 2 macam:

1.) Rezeki yang datang dengan sendirinya kepada kita,

2.) Rezeki yang memang seyogianya dicari. Disini sebagian para ulama’ menafsirkan kalam sayyidina Ali tersebut.

Pertama pada lafad “رزق يطلبك” yang ditafsirkan dengan makna “رزق الغذاء” dimana memiliki arti rezeki dalam hal pangan atau bisa diartikan sebagai kebutuhan primer (pokok). Rezeki pada golongan pertama ini adalah yang harus kita terima dengan qona’ah dan riḍo karena datangnya tidak lepas dari tanggungan Allah SWT.

Kedua pada lafad “رزق تطلبه” ulama’ menafsirkan dengan makna “رزق التملك” yang berarti rezeki yang dapat diperoleh setiap manusia melalui cara berusaha untuk bisa memilikinya dengan kadar yang bisa dibilang lebih dari cukup.

Rezeki semacam ini termasuk dalam kategori kebutuhan sekunder ataupun tersier. Dari definisi yang telah diutarakan oleh Sayydina Ali kita bisa mengerti bahwa sebenarnya bekerja itu tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan nominal materi, melainkan tujuan utama bekerja adalah untuk ibadah dan hendaknya semua rutinitas maupun aktivitas kita niatkan semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT serta meningkatkan kualitas taqwa kita. Karena Allah SWT telah berfirman dalam kitab suci-Nya yang berbunyi:

"ومن يتق الله يجعل له مخرجا ويرزقه من حيث لا يحتسب ومن يتوكل على الله فهو حسبه إن الله بالغ أمره قد جعل الله لكل شيء قدرا"

Ayat tersebut memberi penegasan pada siapapun yang bertakwa kepada Allah SWT dan disertai dengan rasa tawakkal maka akan dihilangkan dari segala kemuḍaratan, diberikan solusi atas setiap masalah yang dialami, memikat datangnya kemanfaatan, dan dimudahkan akan datangnya rezeki. Baik itu rezeki di dunia maupun di akhirat, Rasulullah SAW bersabda mengenai perihal tentang ayat Al-Qur’an tersebut:

روي عن أبي ذر عن النبي صلى الله عليه  وسلم أنه قال: "لو أخذ الناس كلهم بهذه الأية لكفتهم"

Setelah Rasulullah SAW mengetahui betapa dahsyat dan luar biasanya isi kandungan dari ayat Al-Qur’an di atas, beliau memberi tanggapan dengan teks hadist “Seandainya seluruh umat manusia berpegang teguh pada ayat ini (QS. At-Ṭalaq:2-3) niscaya mereka akan selalu merasa cukup."

Jadi, hendaknya setiap individu seseorang melakukan apa yang telah mereka upayakan selama ini dengan disertai rasa ketaqwaan dan tawakkal, karena 2 pilar tersebut dapat memicu diri maupun hati kita untuk selalu merasa cukup atas apa yang diberikan oleh Allah SWT, serta tidak akan merasakan kekurangan atas segala nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita. Salah satu sahabat Rasulullah SAW bernama Akramah telah memberi nasehat kepada kita semua:

"ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن, ولكن اجعلوا الفرح شكرا والحزن صبرا"

Tidak ada bagi setiap seseorang kecuali dirinya selalu berada dalam kesenangan atau kesedihan, namun hendaknya mereka menjadikan rasa senangnya sebagai tanda rasa syukur dan menjadikan rasa sedihnya sebagai tanda kesabaran.

Mohammad Mehta Abdi Surya
Mohammad Mehta Abdi Surya / 4 Artikel

Mahasiswa S1 Universitas Sisi Muhammad Bin Abdillah, Fes, Morocco

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: