Artikel

Perempuan di Tengah Pandemi dan Budaya Patriarki

01 Dec 2020 11:16 WIB
1276
.
Perempuan di Tengah Pandemi dan Budaya Patriarki

Persoalan kesetaraan gender seakan menjadi perbincangan yang tak akan ada habisnya, terlebih di dalam sebuah masyarakat dengan budaya patriarki yang sangat melekat seperti di Indonesia.

Ajaran Islam tidak mendiskriminasi perempuan, malah mengangkat derajat dan martabatnya. Namun melihat realita sosial yang ada di Indonesia, ternyata perempuan masih terbelenggu dengan budaya yang patriarkis. Konsep patriarki sendiri telah melekat dan mengakar kuat di dalam pemikiran masyarakat Indonesia.

Hal tersebut menyebabkan perempuan masih sangat lekat dengan streotipe yang terbangun dalam masyarakat. Salah satu bentuk streotipe yang sangat lumrah dilihat ialah domestifikasi perempuan. Domestifikasi perempuan ialah sebuah konsep tentang subordinasi kedudukan perempuan di bawah laki-laki, yang mana perempuan hanya boleh terlibat dalam urusan rumah tangga, seperti dapur, sumur dan kasur.

Akibat adanya pelabelan tadi, membuat perempuan yang juga berkarir di luar rumah memiliki peran ganda (double burden) di lingkungan keluarga. Peran ganda ialah suatu keadaan dimana perempuan melaksanakan tugas-tugas domestik sekaligus peran publik. Selain menjalankan pekerjaan di luar rumah ia pun sibuk mengurusi urusan rumah tangga. Tentu saja, peran ganda merupakan cerminan tidak seimbangnya relasi gender dalam rumah tangga.

Terlebih pada kondisi pandemi seperti saat ini, yang mengharuskan melakukan segala kegiatan dari rumah. Baik work from home, kegiatan belajar dan mengajar dan lain sebagainya. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir penyebaran virus Covid-19. Perempuan-perempuan pekerja yang melakukan work from home seringkali harus bekerja lebih keras dibanding ketika bekerja di tempat kerjanya, seperti kantor, sekolah, kampus dan lain-lain.

Baca juga: Rifa’ah At-Tahtawi: Ulama Perempuan, Pelopor Kesetaraan Pendidikan di Mesir

Beratnya beban perempuan dalam hal ini sangat dapat dirasakan. Dapat dibayangkan betapa lelahnya perempuan ketika ia menjalankan pekerjaannya sebagai karyawan perusahaan, guru, dosen ataupun yang lain, ia pun juga harus melakukan pekerjaan rumah seperti menyediakan hidangan di meja makan, mencuci piring, membereskan rumah, ditambah dengan menjadi pengganti guru mengajari dan membantu anak untuk menuntaskan tugas-tugas sekolahnya.

Perempuan harus menanggung semua beban ini secara bersamaan dan tentunya memerlukan proses adaptasi yang ekstra untuk menyeimbangkan dan menjalankan semuanya. Beban ini hanya dirasakan oleh perempuan, tidak dengan laki-laki.

Pandemi makin membuat perempuan yang bekerja dan berkeluarga memiliki beban berlipat ganda. Maka, sangat jelas terlihat adanya relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, dan streotipe pekerjaan domestik selalu menjadi ranah perempuan.

Laki-laki dan perempuan secara kodrati jelas sangat berbeda. Perbedaan kodrati tidak dapat diubah dan dipertukarkan. Sementara perbedaan non kodrati sangat mungkin untuk diubah dan dipertukarkan, tersebab struktur maupun kultur.

Mengingat di Indonesia perempuan memiliki peran ganda, hampir seluruhnya peran dalam keluarga ataupun rumah tangga yang bersifat non kodrati dibebankan kepada perempuan. Sehingga perempuan tetap tidak dapat meninggalkan peran domestiknya.

Kuatnya peran perempuan dengan tugas utama dan pertama disektor domestik membuat orang percaya sepenuhnya bahwa peran domestik merupakan garis takdir ataupun kodrat yang telah diciptakan oleh Tuhan. Padahal tidak demikian.

Baca juga: Prostitusi: Antara Problem Kemanusiaan dan Sudut Pandang Keagamaan

Jika kondisi terus seperti ini, maka budaya patriarki akan abadi dan makin tumbuh subur di kalangan masyarakat Indonesia. Tentu saja hal tersebut sungguh ironis, mengingat perempuan akan selalu menjadi pihak yang dirugikan. Perempuan dibebankan dengan kewajiban-kewajiban yang dibentuk oleh konstruksi sosial, sehingga memunculkan anggapan bahwa sudah seharusnya seperti itu, padahal tidak demikian.

Lalu Bagaimana Pandangan Al-Qur’an Terkait Permasalahan Tadi?

Dalam berumah tangga, relasi antara suami dan istri seharusnya menjadi relasi yang saling melengkapi satu sama lain, ibarat seperti pakaian. Sebagaimana termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 187, yang berbunyi:

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.

Ayat di atas seolah menjelaskan bahwa hubungan suami dan istri adalah hubungan yang berdasarkan cinta dan kasih sayang, bukan hubungan menindas, tidak ada yang mendominasi dan didominasi yang dapat menciptakan kesenjangan di antara keduanya.

Ayat itu menekankan pada kebersamaan antar anggota keluarga, hirarki dan kewenangan yang jelas antar anggota keluarga, serta hak dan kewajiban yang seimbang sesuai dengan norma-norma agama dan kepatutan budaya.

Perempuan ataupun seorang istri pun berhak atas bermasyarakat dan melakukan aktifitas lain di luar kehidupan rumah tangganya. Hak untuk bermasyarakat dan beraktifitas di ruang publik tidak serta merta menjadikan perempuan lalai terhadap kebutuhan keluarganya.

Baca juga: Bolehkah Istri dalam Masa Iddah Keluar Rumah untuk Bekerja?

Dalam Tafsir Jalalain, kata pakaian dalam ayat ini merupakan kiasan bahwa suami dan istri saling bergantung dan saling membutuhkan. Maka, keduanya harus bekerja sama dalam menjalankan bahtera rumah tangga.

Hubungan antara suami dan istri haruslah beradasarkan pada kesepakatan bersama. Prinsip musyawarah tentu saja sangat penting dalam membina keluarga. Seperti pada contoh kasus pengupahan ibu susuan, sebagaimana Allah berfirman pada surat Al-Baqarah ayat 233, yang berbunyi:

فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Maka sudah seharusnya dalam kehidupan rumah tangga ada yang namanya musyawarah, kerjasama dan kesepakatan antara kedua belah pihak. Tidak boleh menindas dan tidak ada yang mendominasi ataupun didominasi, karena hal ini dapat mencipatakan kesenjangan diantara keduanya. Suami dan istri dapat berbagi peran ataupun suami membantu istri dalam melakukan tugas-tugas domestik.

Kerjasama dan musyawarah mufakat sangat diperlukan dalam keluarga. Agar salah satu pihak tidak tersakiti, dan menanggung sendiri beban yang cukup berat. Sehingga nantinya dapat tercipta kehidupan berumah tangga yang ideal sebagaimana yang digambarkan Al-Qur’an sebagai rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan wa rahmah. Amin. Wallahu a’lam bisshawwab.

Maharani Wulandari
Maharani Wulandari / 8 Artikel

Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAIN Samarinda. Meminati kajian keislaman, moderasi dan kebangsaan dan tafsir Al-Qur’an

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: