Artikel

Pilkada Serentak di Era Pandemi; Antara Hukum Positif dan Ushul Fikih

27 Oct 2020 03:28 WIB
1132
.
Pilkada Serentak di Era Pandemi;  Antara Hukum Positif dan Ushul Fikih

Pilkada serentak di semua daerah dijadwalkan akan diselenggarakan pada akhir tahun 2020. Namun di saat yang sama, bangsa Indonesia sedang menghadapi keadaan yang luar biasa tentang bagaimana memutus mata rantai penyebaran Covid-19, yang sejak akhir tahun lalu hingga kini belum benar-benar teratasi. Bahkan Indonesia saat ini menjadi salah satu negara yang memiliki jumlah kasus yang cukup tinggi.

Sampai saat artikel ini ditulis, terdapat sekitar tiga ratus ribu lebih masyarakat Indonesia yang berstatus positif. Dampak yang ditimbulkan Covid-19 bagi bangsa ini tidak hanya dalam aspek kesehatan, tetapi juga menyoal ekonomi dan kebijakan politik.  Dalam situasi dan kondisi yang tidak normal ini, Komisi pemilihan Umum (KPU) memutuskan untuk tetap menyelenggarakan Pilkada serentak.

Pihak yang tidak setuju terhadap kebijakan tersebut menganggap bahwa Pilkada berpotensi melahirkan cluster-cluster baru dalam penyebaran dan penularan Covid-19. Namun pihak yang setuju menyatakan bahwa apabila Pilkada tidak dilaksanakan pada tahun ini, maka akan timbul kekosongan jabatan di berbagai daerah. Dengan asumsi bahwa setiap daerah sedang membutuhkan pemimpin-pemimpin yang bisa menangani pandemi ini dengan maksimal.

Argumentasi Kebijakan Pemerintah

Para ahli hukum yang mendukung kebijakan pemerintah berargumen bahwa Pilkada serentak harus tetap diselenggarakan, agar roda pemerintahan dapat berjalan lebih optimal sebagaimana mestinya. Sebab, apabila Pilkada secara serentak ditunda,  dapat menimbulkan kekosongan tampuk pimpinan di pemerintahan dalam semua level. Meskipun, pada dasarnya, kekosongan jabatan tersebut dapat digantikan oleh pejabat Pelaksana Harian (Plh.) atau Pelaksana Tugas (Plt.).

Baca juga: Pilkada 2020, Masyarakat diminta Waspadai Politisasi Agama

Yang harus disadari, baik Plh. maupun Plt. memiliki jangka waktu yang terbatas. Posisi mereka sebagai pelaksana tidak lebih hanya selama 6 bulan, pun otoritas mereka sangat terbatas. Peraturan Menteri Aparatur Negara nomor 13 tahun 2014 tentang Tata Cara Pengisisan Pimpinan Tinggi, baik itu Tama, Pratama, dan Madya menyebutkan, “Sesuai aturan jabatan plt tak bisa lebih dari tiga bulan dan dapat diperpanjang paling lama tiga bulan lagi, sebelum masa enam bulan tersebut habis.”

Dalam beberapa kondisi, Plh. atau Plt. ini tidak bisa melakukan tugas untuk mengambil sebuah tindakan tertentu, jika hal tersebut bukan bagian dari kewenangannya. Pada titik ini, meskipun berada dalam situasi pandemi, karena peran seorang pemimpin sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka Pilkada serentak diharapkan bisa tetap dilaksanakan secepatnya, dengan tetap memperhatikan dan mengimplementasikan protokol kesehatan yang sangat ketat.

Legalisasi Penundaan Pilkada

Data Kementerian Kesehatan pertanggal 26 Oktober 2020, angka kenaikan Covid-19 pada Senin kemarin mencapai 3.222 orang dan total kasus yang terjadi di Indonesia sebanyak 392.934 pasein. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah agar lebih memperhatikan segenap kebijakan politiknya.

Kesehatan masyarakat idealnya diprioritaskan. Tidak lantas memaksakan kebijakan yang mengharuskan tiap individu berkumpul, seperti halnya Pilkada serentak. Pun, ada baiknya jika pemerintah mengkaji kebijakan-kebijakan politik yang diambil oleh negara-negara lain mengenai penyelenggaraan pemilihan umum ini.

CNN Indonesia.com (2/9/2020) menginformasikan bahwa Pemilu Sabah memicu lonjakan 260 kasus baru Covid-19 di Malaysia. Fenomena tersebut tentunya bisa dijadikan pertimbangan oleh pemerintah ketika hendak memaksakan tetap menyelenggarakan Pilkada serentak di akhir tahun 2020 ini.

Dengan bukti di atas, segenap hal yang dapat memicu peningkatan penyebaran kasus positif yang baru, maka idealnya Pemerintah bisa mengambil kebijakan untuk menunda Pilkada secara serentak. Dengan demikian, Pemerintah dapat memfokuskan kebijakan sosialnya terhadap sektor kesehatan masyarakat yang selama ini oleh para ahli belum menunjukkan hasil yang maksimal.

Penundaan Pilkada serentak dapat dilegalkan dengan pasal 120 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah, yang dengan jelas menyatakan: “Dalam hal adanya, antara lain, bencana alam atau non-alam yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan atau pemilihan serentak tidak dapat dilakukan, maka dilakukan pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan”.

Baca juga: Kado Menag di Hari Santri 2020, Pesantren Bakal Lebih Diakui

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, kita dapat mengkategorikan Covid-19 sebagai keadaan darurat kesehatan. Dengan demikian, Pemerintah tidak perlu untuk mengeluarkan Undang-Undang atau Perppu yang baru. Untuk menindaklanjuti penundaan Pilkada serentak, hanya diperlukan kesepakatan antara Presiden, DPR, dan KPU.

Penundaan Pilkada Perspektif Ushul Fikih

Dengan berbagai argumentasi dari pihak yang pro maupun kontra di atas, pemerintah dihadapkan dengan situasi yang dilematis. Karena kedua argumentasi tersebut sama-sama memiliki nilai urgensitasnya masing-masing.

Pada titik ini, pemerintah bisa belajar dari salah satu kaidah umum dalam ilmu ushul fikih. Ushul fikih sebagai dasar pengambilan dan penentuan kebijakan hukum memiliki kaidah “Dar-ul Mafasid Muqoddamun ‘ala Jalbil Mashalih”. Artinya, menolak atau menghindari kerusakan-kerusakan (keburukan-keburukan) lebih diutamakan daripada memproduksi kemaslahatan.

Secara sederhana kaidah tersebut bisa digambarkan bahwa kemafsadatan  adalah penyebarluasan Covid-19, sedangkan kemaslahatannya adalah kepemimpinan di setiap daerah tidak mengalami kekosongan. Jika kadiah tersebut dikontekstualkan ke dalam situasi Covid-19 dan rencana penyelenggaran Pilkada akhir tahun ini, maka kesimpulannya adalah mencegah penyebaran Covid-19 lebih diutamakan dari pada menyoal kekosongan tampuk jabatan.

Untuk mewujudkan kemaslahatan dalam penyelenggaraan Pilkada harus mempertimbangkan penanganan dan pencegahan mafsadatnya terlebih dahulu. Berdasarkan aturan legislasi penundaan dan kontekstualisasi kaidah ushul fikih tersebut, kebijakan untuk menunda Pilkada serentak menemukan pijakan paradigmatiknya.

Muhammad Haris Makarim
Muhammad Haris Makarim / 1 Artikel

Seorang mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan fokus studi Hukum Tatanegara sekaligus sebagai salah satu santri di pondok pesantren Al-Munawwir komplek "L" Krapyak Yogyakarta.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: