Artikel

Tafsir Syekh Sya’rawi surat al-Baqarah 256, tidak ada paksaan dalam agama

04 Jul 2023 05:46 WIB
718
.
Tafsir Syekh Sya’rawi surat al-Baqarah 256, tidak ada paksaan dalam agama Tidak ada paksaan karena jalan yang lurus sudah begitu jelas.

Berikut ini adalah teks, terjemahan dan kutipan tafsir dari Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi tentang surat al-Baqarah ayat 256, tentang tidak ada paksaan dalam agama.

Ayat 256 dari surat al-Baqarah ini menjadi landasan bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk memilih agama yang ingin dipeluknya. Al-Quran mengajarkan untuk berdakwah dan mengajak untuk memeluk agama Islam, namun di saat bersamaan, juga melarang keras bila dakwah itu dilakukan dengan cara paksaan bahkan kekerasan.

Allah swt. berfirman,

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 256)

Tafsir Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi

Syekh asy-Sya’rawi dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Khawathir li asy-Sya’rawi, mengatakan bahwa Allah swt. menjelaskan kepada kita sebagai hamba-Nya yang beriman sekaligus kepada seluruh umat manusia bahwa menurut Islam, tidak ada ikrah atau paksaan dalam agama.

Menurut ulama terkemuka Mesir itu, ikrah atau paksaan adalah kita membebani orang lain untuk melakukan sesuatu yang dia pandang tidak bermaslahat dan berdampak baik untuk dirinya bila dilakukan. Dengan kata lain, orang yang dipaksa tersebut melihat tidak ada kebaikan dalam sesuatu yang dirinya dipaksa untuk melakukan.

Kendati demikian, pada kenyataannya ada beberapa hal yang terkadang kita lakukan terhadap orang lain untuk kebaikan mereka. Sebagai contoh, kita memaksa untuk belajar atau kita memaksa mereka untuk meminum obat. Meskipun itu kita lakukan dengan pemaksaan, namun di balik itu ada maslahat dan dampak positif bagi yang bersangkutan.

“Hal-hal seperti ini tidak dapat dikatakan sebagai ikrah (paksaan), namun justru harus kita lakukan terhadap orang terdekat kita sekali pun, karena tidak ada orang yang senang bila terus sakit-sakitan,” tulis Syekh Sya’rawi.

Adapun ikrah atau paksaan, sebagaimana tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 256, adalah saat kita memaksa orang lain agar melakukan sesuatu yang tidak dia pandang ada kebaikan di dalamnya. Itulah mengapa Allah swt. berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”

Artinya, Allah swt. tidak memaksa manusia—meskipun Dia adalah pencipta mereka semua—untuk memeluk suatu agama. Walaupun sangat mungkin sekali bila Allah memaksa semua manusia untuk melakukan hal tersebut. Persis sebagaimana Allah memaksa langit, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan serta benda-benda mati, dan tidak ada satu pun yang mampu membangkang perintah-Nya.

Dalam ayat lain, Allah swt. berfirman:

لَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَهَدَى النَّاسَ جَمِيعًا

“Seandainya Allah menghendaki (semua manusia beriman), tentu Allah memberi petunjuk kepada manusia semuanya.” (QS. ar-Ra’d [13]: 31)

Allah swt. ingin mengajarkan kepada setiap orang yang datang kepada-Nya secara bebas-merdeka, bukan terpaksa, bahwa orang yang datang kepada-Nya dalam keadaan terpaksa,  menunjukkan bahwa dirinya adalah “orang yang dikuasai-ditundukkan”, bukan sebagai “orang yang dicintai”. Adapun orang yang datang kepada-Nya secara sukarela padahal dia mampu untuk berpaling, maka itu menunjukkan adanya cinta.

Dengan ayat ini, Allah seperti mengatakan, “Aku tidak melakukan pemaksaan kepada manusia. Pun andai Aku menghendaki, semua yang ada di atas bumi akan beriman kepada-Ku.”

Para rasul yang diutus Allah juga tidak memaksa orang-orang untuk mengimani dakwahnya. Mereka hanya meneruskan pesan yang diterima dari Allah, bukan memaksa mereka.

Ayat ini juga menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan merdeka dan bebas memilih. Jika tidak demikian, dalam arti Tuhan memaksa mereka, niscaya Dia tidak akan mengutus para rasul. Karena itu, dalam ayat lain, Allah swt. berfirman,

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

Artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus [10]: 99)

Paksaan Agama dan Paksaan Ajaran Agama

Syekh Sya’rawi menambahkan bahwa ayat di atas menunjukkan kalau tugas seorang rasul adalah penyampai pesan ilahi, karena Allah tidak ingin manusia dipaksa dalam agama. Seorang yang bertugas penyampai risalah tidak dibenarkan memaksa manusia untuk beragama.

Namun ada sedikit kerancuan bilamana ayat ini dipakai dalih untuk membenarkan tindakan lepas tanggung jawab dari kewajiban menjalankan ajaran agama. Menurut Syekh Sya’rawi, harus dibedakan antara larangan paksaan dalam beragama dan paksaan dalam menjalankan ajaran agama.

Sebagai contoh, kita bertanya kepada seorang muslim, “Mengapa kamu tidak shalat?”

Lalu dia menjawab, “Tidak ada paksaan dalam agama.” Kemudian dia berdalih dengan ayat di atas.

Jawaban tersebut, meskipun dilontarkan oleh orang yang mengaku terdidik sekali pun, sangat keliru, terlebih bila berpayung pada ayat tersebut.

Ayat “Tidak ada paksaan dalam agama” berkaitan erat dengan urusan akidah dan keimanan. Jika kita sudah menyatakan beriman kepada Allah dan menjadi seorang muslim, maka kita harus menerima untuk diingatkan jika ada hukum Islam yang kita langgar,.

Dalam bahasa Syekh asy-Sya’rawi, “Kamu bebas memilih antara beriman atau tidak. Namun ketika kamu memutuskan untuk beriman kepada Islam, maka kamu memikul tanggung jawab untuk menjalankan semua yang diperintahkan oleh keimananmu.”

“Kamu bebas meminum khamar karena kamu kafir misalnya. Namun apakah kamu beriman kepada Allah kemudian meminum khamar? Tentu tidak.” imbuh beliau.

Syekh asy-Sya’rawi berkesimpulan, seorang muslim tidak boleh berdalih dengan ayat 256 dari surat al-Baqarah di atas bilamana diperintahkan menjalankan ajaran agama, karena ayat ini turun berkaitan dengan urusan akidah. Jika kita memutuskan untuk mengikuti akidah Islam, maka kita berkewajiban untuk menepati seluruh ajarannya.

Mengapa Tidak Ada Paksaan dalam Agama

Larangan memaksakan agama pada orang lain dijelaskan dalam lanjutan ayat, “sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” Syekh Sya’rawi mengatakan, selama sesuatu itu sudah jelas maka tidak perlu ada yang namanya pemaksaan.

Jalan yang benar atau ar-rusyd adalah jalan menuju keselamatan, sedangkan jalan yang sesat atau al-ghay adalah jalan menuju kebinasaan. Kendati demikian, Allah menghadirkan bukti-bukti kepada manusia yang bisa memilih dan memutuskan dengan akal dan nalar mereka, supaya mereka tahu jika masuk ke dalam agama Islam, mereka akan terikat dengan segala aturan dan hukum-hukumnya. Wallahu a’lam.

Baca tulisan menarik lainnya tentang tafsir Syekh Sya'rawi di sini.

Abdul Majid
Abdul Majid / 117 Artikel

Guru ngaji, menerjemah kitab-kitab Arab Islam, penikmat musik klasik dan lantunan sholawat, tinggal di Majalengka.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: