Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Gus Baha dan Al-Qur’an yang Tak Pernah Selesai Dibaca

Avatar photo
997
×

Gus Baha dan Al-Qur’an yang Tak Pernah Selesai Dibaca

Share this article
Gus Baha di acara Maulid Nabi Bayt Al-Quran PSQ.
Gus Baha di acara Maulid Nabi Bayt Al-Quran PSQ.

Kemarin aku datang ke acara Maulid Nabi di Bayt Al-Qur’an, Pondok Cabe. Prof. Quraish Shihab hadir dan memberikan tausiyah. Di sampingnya, Gus Baha juga berbicara. Ada rindu yang sejak lama ingin aku penuhi. Sudah lama rasanya hanya melihat Gus Baha lewat layar YouTube. Aku hanya ingin mendengar suaranya secara langsung—melihat gerak tubuhnya yang sederhana tapi menenangkan kegelisahan iman itu.

Setelah acara usai, aku menunggu di antara ramai yang mulai bubar. Ada keinginan sederhana: mencium tangan dua orang alim itu. Tapi ternyata itu tidak mudah. Prof. Quraish dan Gus Baha sama-sama menolak tangan mereka dicium—seolah ingin mengajarkan bahwa kemuliaan tak perlu disembah, cukup diteladani.

Aku tetap menunggu di depan gerbang. Barangkali hanya sebentar, tapi rasanya lama. Seorang asatidz Bayt Al-Qur’an yang baik hati menghampiriku dengan senyum yang seolah memahami—dan mungkin iba atas usahaku yang sederhana itu. Dengan lembut, beliau mempersilakanku untuk ikut bergabung dalam majelis lanjutan bersama Gus Baha.

Tahadduts bin ni‘mah. Aku mengucap syukur dalam diam. Siang itu, keberkahan terasa bukan pada tangan yang tak sempat kucium, melainkan pada ilmu yang sempat kudengar.

Majlis tambahan itu diikuti oleh para penggiat tashih Al-Qur’an — mereka yang sehari-hari hidup bersama huruf dan makna, kebanyakan penghafal sekaligus alumni PSQ. Sementara aku, dengan latar belakang yang bukan dari dunia Al-Qur’an, datang hanya dengan niat sederhana: ingin mengaji dan mendengar.

Namun seperti biasa, ketika Gus Baha berbicara, ruang yang semula terasa formal mendadak menjadi hangat. Ia membicarakan topik yang tampak teknis — Rasm Utsmani, Qira’at, dan kaidah-kaidah sosial dalam Al-Qur’an — tapi mengubahnya menjadi percakapan yang hidup, ringan, dan penuh kejutan.

Gus Baha itu tipikal ulama yang santai — terlalu santai, bahkan, untuk ukuran seseorang yang hafal ratusan hadis dan tafsir yang bisa ia kutip dari ingatan seolah sedang membaca koran pagi. Ia berbicara dengan nada yang kadang diselipi tawa kecil, kadang seperti sedang bercanda dengan kiai-kiai langit. Tapi di balik kesederhanaan tuturannya, ada sesuatu yang membuatku diam: semacam kesombongan ilmu yang justru terasa mewah kalau datang dari dirinya.

Entah kenapa, aku tidak melihat kesombongan itu sebagai arogansi. Justru di situlah letak indahnya — kebanggaan yang lahir dari keakraban dengan ilmu, bukan dari rasa ingin diakui. Ia tidak menunduk pura-pura tawadhu, tidak pula meninggikan diri. Ia hanya tahu bahwa ilmu memang harus punya wibawa, dan wibawa itu tak perlu dikawal gaya.

Mungkin karena itu Gus Baha tampak seperti seseorang yang sudah berdamai dengan kebenaran. Ia tahu kapan harus serius, kapan menertawakan keseriusan itu sendiri. Dan di antara tawa-tawanya yang ringan, aku sering merasa: di situlah letak kemewahan seorang alim — ketika ia tak lagi butuh terlihat bijak, karena kebijaksanaan sudah menjadi bagian dari cara ia bernapas.

Universalitas dan Akurasi Rasm Utsmani

Gus Baha memulai dengan kisah Rasm Utsmani yang menjadi standar penulisan Al-Qur’an. Ia menyoroti hal yang tampak sederhana namun sarat makna: huruf Hamzah yang tidak tertulis secara eksplisit. Dalam mushaf awal, tidak ada huruf khusus untuk Hamzah; yang ada hanya Alif, Wawu, atau Ya sebagai representasinya.

Bagi Gus Baha, ketiadaan itu bukan kekurangan, melainkan bentuk kebijaksanaan penulisan. Rasm Utsmani sengaja dirancang agar setiap qira’at yang sah tetap hidup di dalamnya. Bahkan, suku Quraisy yang dikenal tidak melafalkan Hamzah dengan tegas pun terwadahi oleh sistem ini — sebuah bukti bahwa mushaf sejak awal telah mengakomodasi keragaman fonetik umat Islam.

Penanda Hamzah sendiri baru diciptakan jauh kemudian oleh Imam Khalil bin Ahmad, guru dari Sibawaih. Karena itu, Gus Baha melihat Mushaf Utsmani bukan sekadar produk sejarah, tetapi rancangan cerdas yang mencerminkan keluasan Islam sejak masa awal. Ia menyebutnya sebagai mahakarya grafis wahyu — setiap huruf, bahkan setiap ketiadaan huruf, memiliki maksud yang menegaskan universalitas Al-Qur’an.

Salah satu contoh yang beliau angkat adalah penulisan kata dalam Surah Al-Ma’idah ayat 101:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ…

Dalam mushaf, kata lā tas’alū ternyata ditulis tanpa Hamzah — menjadi لَا تَسْلُوا. Sekilas tampak sederhana, tapi di situlah letak keajaibannya. Penulisan tanpa Hamzah ini bukan kesalahan, melainkan cara Mushaf Utsmani mengakomodasi dua ragam bacaan sekaligus:

Bacaan mayoritas: lā tas’alū. Bacaan Ibnu Katsir al-Makki: lā tasalū.

Gus Baha menjelaskan, jika mushaf ditulis lengkap dengan Hamzah, maka bacaan Ibnu Katsir tidak bisa diakomodasi. Namun dengan menulisnya tanpa Hamzah, Rasm memberi ruang bagi dua-duanya. Satu bentuk grafis yang inklusif — menampung perbedaan tanpa meniadakan.

Bagi Gus Baha, inilah bukti bahwa Rasm Utsmani bukan hanya karya tulis, melainkan sistem pengetahuan yang dirancang dengan kebijaksanaan. Setiap goresan tinta menyimpan kesadaran universal: bahwa Al-Qur’an hadir untuk merangkul perbedaan, bukan menegaskannya dalam garis kaku.

Qira’at sebagai Penjaga Makna

Bagi Gus Baha, Qira’at bukanlah sekadar variasi suara, melainkan mekanisme hidup untuk menjaga makna. Ia menegaskan bahwa sab‘ah qira’at bukan berarti setiap ayat memiliki tujuh bacaan berbeda, sebab dalam praktiknya para ulama hanya mencatat maksimal tiga bacaan mutawatir untuk satu ayat.

Qira’at, kata beliau, menjaga agar makna Al-Qur’an tidak menyempit dalam satu tafsir tunggal. Ia mencontohkan seorang Arab Badui yang memanggil Nabi dengan lafal Nabiun tanpa tasydid, berbeda dengan Nabiyyun. Dua bentuk ini sama-sama benar, karena keduanya bersumber dari Nabi sendiri dan membawa nuansa makna yang khas dan konsekuensi hukum yang beragam.

Karena itu, seorang penafsir, kata Gus Baha, tak boleh hanya menguasai bahasa, tetapi juga matang dalam fikih. Fikihlah yang memberi arah ketika memilih qira’at dan memahami implikasinya terhadap hukum. Tafsir yang lahir dari fikih inilah yang menjaga Al-Qur’an tetap berdialog dengan kehidupan.

Relativitas Kaidah Sosial dan Humor Sufi

Dari teks, Gus Baha bergerak ke konteks. Ia menunjukkan bahwa dalam urusan sosial-politik, Al-Qur’an tidak berbicara dengan kepastian mutlak seperti hukum alam. Kata ‘asa (semoga) dan la‘alla (barangkali) menjadi simbol betapa Al-Qur’an memberi ruang bagi harapan dan kemungkinan. Karena itu, setiap kaidah sosial adalah relatif dan tidak tunggal.

Ia mengutip kisah Sayyidina Hasan bin Ali yang menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah. Sebagian sahabat menuduh Hasan telah “menghinakan kaum Muslimin.” Namun Nabi telah memprediksi sebelumnya: “Semoga Allah mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimin melalui dia.” Kata “semoga” itu, kata Gus Baha, adalah tanda bahwa urusan sosial selalu menyimpan hikmah tersembunyi.

Seperti biasa, Gus Baha menutup dengan humor yang membongkar keseriusan berlebihan. Ia bercerita tentang seorang sufi besar yang memiliki istri cerewet. Orang-orang menyarankan agar ia menceraikannya, tapi sang sufi menolak:

“Kalau aku ceraikan dia,” katanya, “berarti aku memindahkan musibahku ke orang lain. Biarlah aku yang menanggungnya. Aku tidak tega kalau orang lain yang mendapat bagian itu.”

Begitu pula soal tikus di rumahnya. Ketika orang menyarankan untuk memelihara kucing agar tikusnya pergi, ia menjawab, “Kalau aku pelihara kucing, tikus-tikus ini akan pindah ke rumah tetangga. Aku tidak tega membuat mereka susah.”

Gus Baha menertawakan kisah itu dengan ringan, tapi di balik kelucuannya tersimpan kedalaman makna: kasih sayang yang meluas bahkan pada hal-hal yang tampak sepele. Humor itu bukan sekadar bahan tawa, melainkan ajakan untuk menerima kompleksitas hidup — sebagaimana Al-Qur’an menerima keragaman qira’at dan takdir sosial.Aku pulang dari majlis itu tanpa sempat mencium tangan siapa pun. Tapi mungkin memang begitu cara ilmu menjaga kehormatannya: tak perlu disentuh, cukup diserap dalam diam.

Di perjalanan pulang, aku teringat ucapan Gus Baha tentang setiap huruf yang punya maksud — bahkan ketiadaan huruf pun mengandung hikmah. Mungkin hidup juga seperti itu: ada bagian yang tampak kosong, tapi justru di sanalah maknanya berdiam.

Kontributor

  • Mabda Dzikara

    Alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang aktif menjadi dosen di IIQ Jakarta.