Dr. al-Habib Ali Bagir Al-Saggaf, Lc., M.A., Ph.D. adalah salah satu cendekiawan Muslim kontemporer dari Indonesia yang dikenal memiliki perhatian besar terhadap rehabilitasi dan penguatan ilmu-ilmu rasional (Ulumul Aqliyah) dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia, khususnya di lingkungan pesantren.
Di tengah arus yang terkadang didominasi oleh pendekatan spiritual (tasawuf) semata, Habib Ali Bagir muncul dengan penekanan kuat pada logika (mantiq), teologi rasional (ilmu kalam), dan pemikiran kritis sebagai fondasi untuk menghadapi tantangan dinamika zaman.
Biografi Singkat dan Latar Belakang Pendidikan
Habib Ali Bagir Al-Saggaf lahir pada 1988 di Tulungagung, Jawa Timur. Meskipun berasal dari keluarga dengan garis keturunan (nasab) yang terhormat (bani ‘alawi), Habib Ali Bagir Al-Saggaf memiliki pandangan yang seringkali menekankan bahwa parameter untuk dijadikan panutan adalah kapabilitas dalam keilmuan (alim), bukan semata-mata nasab. Pandangan ini meluruskan kesalahpahaman umum tentang otoritas dalam Islam.
Latar belakang pendidikan beliau menunjukkan perpaduan antara tradisi pesantren dan studi formal yang mendalam. Beliau merupakan alumnus dari Universitas al-Ahgaf di Yaman—sebuah institusi yang dikenal kuat dalam tradisi keilmuan Timur Tengah. Pendidikan di Al-Ahgaf membekali beliau dengan penguasaan mendalam terhadap literatur Islam klasik (kitab kuning) dan ilmu-ilmu keagamaan tradisional.
Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana dan magister di Al-Ahgaf, beliau melanjutkan hingga meraih gelar doktor (Ph.D.). Jejak akademis yang kuat ini menjadikan beliau mampu menghubungkan warisan intelektual ulama klasik dengan metodologi ilmiah modern. Penempatan titel akademik (Dr., Lc., M.A., Ph.D.) di depan nama beliau menunjukkan pengakuan formal atas kedalaman keilmuannya.
Fokus Keilmuan: Logika sebagai Metode Berpikir Ulama
Fokus utama Habib Ali Bagir Al-Saggaf terletak pada disiplin Mantiq (Logika) dan Ilmu Kalam (Teologi Rasional). Beliau berpendapat bahwa ilmu mantiq bukan sekadar disiplin sekunder atau warisan Yunani yang sinis, melainkan “metode berpikir para ulama” (kaifiyatul tafkiril ulama).
Beliau secara konsisten mengampanyekan tiga argumen sentral:
1. Mantiq sebagai Fondasi Intelektual
Habib Ali Bagir menyuarakan kembali tesis ulama klasik, termasuk Imam Al-Ghazali, bahwa penguasaan mantiq adalah pra-syarat mutlak untuk menjadi pakar di bidang-bidang keilmuan Islam, seperti Ushul Fikih dan Fikih. Ia menganggap mantiq sebagai aparatus untuk menata cara berpikir agar sistematis, terukur, dan terhindar dari kesalahan logika. Di sisi lain, menurut beliau, mantiq juga menjadi kunci untuk memahami karya-karya ulama besar.
2. Membangun Nalar Kritis dan Keseimbangan Aqliyah
Beliau kritis terhadap dominasi metode tasawuf yang tanpa imbangan logika di beberapa Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia–terkhusus pesantren–yang ia nilai dapat melahirkan karakter santri yang identik dengan kepatuhan total dan anti-kritik. Beliau menekankan bahwa mantiq diperlukan untuk menyeimbangkan pendidikan spiritual dengan nalar kritis dan kemandirian intelektual.
Dalam pandangannya, penguatan akal (Aqliyah) melalui mantiq dan kalam adalah cara untuk menghadapi godaan nafsu. Beliau menjelaskan bahwa akal dan nafsu selalu bertentangan; untuk menguatkan akal, seseorang harus belajar ilmu-ilmu seperti mantiq dan kalam, dan untuk melemahkan nafsu, ia melakukan riyadah (tirakat) atau puasa.
3. Legitimasi Mantiq dalam Islam
Habib Ali Bagir gigih membantah stigma negatif bahwa mantiq adalah disiplin “asing” atau “liberal.” Ia menegaskan bahwa mantiq adalah Ilmu Islami karena tidak bertentangan dengan syariat dan bahkan kaidah-kaidahnya memiliki akar dan legitimasi dalam Al-Qur’an (seperti konsep mizan atau timbangan). Beliau berpendapat bahwa kritik terhadap mantiq seringkali datang dari ulama yang tidak ahli di bidang ilmu rasional (Aqliyyat), sehingga fatwa mereka tidak wajib diikuti secara buta (taqlid).
Dengan latar belakang keilmuan yang kuat dan fokus pada logika rasional, Dr. Habib Ali Bagir Al-Saggaf menjadi salah satu suara penting yang mendorong pesantren untuk tidak hanya mencetak ulama ahli naqliyyat (ilmu agama berdasarkan teks) tetapi juga ulama ahli aqliyyat yang mampu berpikir kritis, logis, dan menjawab problematika keilmuan kontemporer dengan nalar yang terukur dan akurat.









Please login to comment