Saya sangat terkagum-kagum saat membaca salah satu riwayat Sa’id bin al-Musayyab perihal bagaimana Utsman bin Affan menghadapi suatu kemungkaran.
Mungkin ini tampak sederhana. Tapi justru hal ini sangat penting untuk diketengahkan, agar kita bisa melihat masa lalu yang ideal itu sebagai sesuatu yang tak sekaku dalam bayangan kita.
Kebijaksanaan, itulah keteladanan utama yang diperlihatkan oleh khalifah ketiga ini.
Dalam kitab al-Bashair wa al-Dakhair, Abu Hayyan al-Tauhidi menyebutkan:
وقال سعيد بن المسيب: بلغ عثمان أن قوماً على فاحشة، فأتاهم وقد تفرقوا، فحمد الله وأعتق رقبة
Said bin al-Musayyab berkata: Utsman bin Affan dikabarkan bahwa ada sekelompok orang yang melakukan perbuatan keji. Utsman langsung mendatangi mereka, namun ternyata orang-orang itu sudah membubarkan diri. Utsman pun mengucapkan hamdalah lalu memerdekakan seorang budak.
Dalam tradisi muslim klasik, memerdekakan budak merupakan kebiasaan yang lumrah dilakukan oleh seorang majikan. Alasannya bisa bermacam-macam.
Dalam konteks Utsman di atas, ia memerdekakan seorang budak sebagai rasa syukur. Utsman bersyukur karena ia bisa menghentikan kemungkaran bahkan sebelum ia sempat melihat langsung kemungkaran apa yang terjadi. Tentulah Utsman sangat bahagia orang-orang masih punya rasa malu dan rasa takut kepadanya.
Utsman sebagai orang yang punya kekuasaan harusnya bisa saja melakukan pengejaran terhadap orang-orang tersebut lalu menangkapi mereka satu persatu, menjatuhkan hukuman yang setimpal, dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang menyaksikannya. Bukankah ini sangat efektif? Secara teori tentu hal ini adalah langkah terbaik.
Hanya saja, penerapan hukum tidak bisa dilakukan secara hitam-putih dalam setiap peristiwa, sementara situasi dan kondisi yang melatarinya bisa berbeda-beda. Dan Utsman pasti sangat paham kondisi-kondisi semacam ini.
Kita yang kerap kali kaku sejak dalam pikiran, membayangkan bahwa di masa awal Islam, terutama di masa Khulafaur Rasyidun, para pemimpin Islam adalah sosok “setengah dewa” yang setiap melihat kemungkaran pasti akan menggilasnya hingga habis ke akar-akarnya. Sehingga di masa mereka nyaris tak ada kemungkaran dan nyaris tak ada pendosa. Itu bayangan kaku sebagian kita yang tertanam entah sejak dan entah karena faktor apa.
Pada kenyataannya, para pemimpin terbaik dalam Islam itu juga banyak memberikan kelonggaran dalam suatu perkara, kasus hukum, dan persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Mereka memberikan fleksibilitas yang terukur untuk senantiasa memberikan kemudahan dan tak membebani umat, namun tanpa merusak kemapanan fondasi dalam Islam. Menjaga keseimbangan semacam ini tentu tidak mudah, ia hanya bisa dilakukan oleh orang-orang terpilih yang sudah teruji kapasitas dan integritasnya dalam memimpin.
Utsman bin ‘Affan sebenarnya bisa saja berpikir seperti kebanyakan umat Islam yang masih kaku, yaitu berantas orang-orang yang melakukan kemungkaran itu dengan tegas. Tapi apakah hal itu baik untuk jangka panjang? Mungkin saja dalam konteks kasus spesifik di atas, hal itu malah akan kontraproduktif. Sehingga Utsman sudah merasa sangat senang ketika orang-orang yang bermasalah itu membubarkan diri.
Tapi jangan pula dianggap bahwa tindakan ini adalah bentuk kelemahan seorang Utsman bin Affan sebagai pemimpin. Sebab, dalam banyak riwayat, Utsman juga tidak main-main dalam menegakkan hukum terhadap orang-orang yang memang pantas dan layak dijatuhkan hukuman yang setimpal. Begitulah keteladanan yang ditunjukkan oleh salah satu pemimpin terbaik umat Islam. Wallahu’alam.
Please login to comment