Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

‎Paradoks Kekerasan dan Runtuhnya Nurani: Membaca Tragedi Sudan

Avatar photo
312
×

‎Paradoks Kekerasan dan Runtuhnya Nurani: Membaca Tragedi Sudan

Share this article
Apa yang terjadi di Sudan hari ini bukanlah perang ide, melainkan perang kepentingan yang dibungkus dengan retorika ideologi.
Apa yang terjadi di Sudan hari ini bukanlah perang ide, melainkan perang kepentingan yang dibungkus dengan retorika ideologi.

Konflik Sudan menghadirkan paradoks ideologis yang tajam. Dalam dua dekade terakhir, kekerasan di dunia Muslim sering diasosiasikan dengan kelompok Islam radikal seperti ISIS. Namun di Sudan, kekejaman justru dilakukan oleh kelompok yang menolak ideologi Islamis.

‎RSF (Rapid Support Forces), dengan nasionalisme Arab sekulernya, memosisikan diri anti terhadap Gerakan Islam yang dikaitkan dengan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF). Mereka membunuh sesama Muslim bukan atas nama agama, melainkan atas nama kebangsaan, warna kulit, dan ambisi politik.

‎Jika ISIS membunuh karena perbedaan tafsir iman, maka RSF membunuh karena perbedaan garis keturunan. Keduanya sama-sama menghapus kemanusiaan — satu dengan dalih ilahiah, satu lagi dengan dalih nasionalistik. Dan di antara keduanya, rakyat kecil tetap menjadi korban: perempuan, anak-anak, dan generasi yang lahir tanpa tahu mengapa mereka harus lari dari rumah sendiri.

‎Apa yang terjadi di Sudan hari ini bukanlah perang ide, melainkan perang kepentingan yang dibungkus dengan retorika ideologi. Di lapangan, RSF — yang berakar dari milisi Janjaweed — beroperasi dengan brutal yang melampaui batas kemanusiaan. Mereka menargetkan komunitas non-Arab seperti suku Fur, Masalit, dan Zaghawa, membumihanguskan desa-desa, memperkosa perempuan, dan membantai warga sipil secara sistematis.

‎Titik paling kelam muncul pada akhir Oktober ini, ketika El Fasher, ibu kota Negara Bagian Darfur Utara, resmi jatuh ke tangan RSF. Kota ini sebelumnya menjadi benteng terakhir SAF di wilayah Darfur, tempat ribuan warga sipil berlindung di bawah ancaman kelaparan dan pengepungan selama 18 bulan.

‎Kejatuhannya bukan hanya kekalahan militer, melainkan juga tanda retaknya kesatuan Sudan secara de facto — negeri yang kini terbelah antara kekuatan formal negara dan paramiliter yang haus kekuasaan.

‎Beberapa hari setelah El Fasher direbut, dunia menerima laporan mengerikan: ratusan hingga ribuan warga sipil dibantai, termasuk lebih dari 460 orang yang ditembak di rumah sakit bersalin, satu-satunya fasilitas medis yang masih berfungsi sebagian di kota itu. Rumah sakit, yang seharusnya menjadi ruang kehidupan, berubah menjadi medan eksekusi.

‎Kekerasan ini dilakukan dengan pola yang menunjukkan tujuan lebih besar: menaklukkan etnis non-Arab, mematahkan sisa perlawanan, dan menanamkan rasa takut agar penduduk mengungsi.

‎Ideologi RSF adalah ironi yang menakutkan: sekularisme yang berubah menjadi alat penindasan etnis. Mereka menolak label Islamis, tetapi menerapkan cara-cara yang sama brutalnya dengan kelompok ekstrem yang mereka benci.
‎Dalam setiap langkahnya, mereka memproyeksikan semangat supremasi Arab — sebuah pandangan dunia yang memandang diri lebih tinggi dari sesama Muslim Afrika non-Arab. Kekerasan yang lahir dari rasa superioritas ini menjelma menjadi genosida terbuka di depan mata dunia.

‎Lebih mengkhawatirkan lagi, RSF tidak berdiri sendiri. Uni Emirat Arab (UEA) berulang kali dituduh memberi dukungan logistik dan pasokan senjata kepada RSF. Bantuan itu membuat kelompok paramiliter ini tetap bertahan, bahkan setelah dunia internasional mengecam keras tindakan mereka. Tragedi ini memperlihatkan wajah geopolitik Timur Tengah yang dingin — ketika bantuan militer diberikan bukan untuk keadilan, tetapi demi kepentingan ekonomi dan pengaruh regional.

‎Namun membaca UEA sendiri membutuhkan bab tersendiri. Negara ini menyandang wajah yang amat kompleks: mendukung proyek wasathiyah al-Azhar, mendorong moderatisme Islam di banyak forum internasional, tetapi di saat yang sama memperkuat hubungan dengan Israel dan kini diduga terlibat dalam pembantaian di Sudan. Sebuah paradoks diplomasi yang membingungkan — di satu tangan menggaungkan perdamaian, di tangan lain menyokong kekuatan yang menyalakan perang. Hadeeh…

‎Sudan kini menjadi cermin getir bagi dunia Islam: bahwa ancaman terhadap kehidupan umat tidak selalu datang dari ekstremisme agama. Kadang, justru dari kekuatan yang menolak agama sama sekali. Ketika kekuasaan dijadikan ilah, maka darah menjadi alat ibadahnya. Dan di situ, manusia kehilangan arah.

‎Kita menyaksikan bagaimana sebuah bangsa hancur bukan karena perbedaan akidah, tapi karena kerakusan untuk berkuasa. Kekerasan yang terjadi di Sudan adalah genosida yang lahir bukan dari kesalahan menafsirkan Tuhan, melainkan dari keputusan untuk menghapus Tuhan sepenuhnya dari nurani politik.

Kontributor

  • Mabda Dzikara

    Alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang aktif menjadi dosen di IIQ Jakarta.