Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Mengisyaratkan al-Quran: Ekspresi Cinta Muslim Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara pada Kalam Illahi

Avatar photo
154
×

Mengisyaratkan al-Quran: Ekspresi Cinta Muslim Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara pada Kalam Illahi

Share this article
Mengkespresikan al-Quran dengan isyarat adalah bid’ah yang tidak hanya diperbolehkan tetapi dianjurkan.
Mengkespresikan al-Quran dengan isyarat adalah bid’ah yang tidak hanya diperbolehkan tetapi dianjurkan.

Di ruang publik hari ini, betapapun ada yang meremehkan pentingnya menghafal al-Quran dengan nada yang skeptis, faktanya al-Quran tetap dibaca, dihafalkan, dan dikaji di berbagai tempat. Al-Quran diperlakukan dengan berbagai ekspresi oleh berbagai kalangan lintas budaya dan oleh beragam usia.

Bagi saya ini lebih dari cukup membuktikan bahwa al-Quran meski sebagai teks, ia menjelma, dalam kadar tertentu, melampaui teks itu sendiri. Dalam bahasa yang sedikit akademik, ini merupakan resepsi atau bentuk respon dan tanggapan pembaca atas suatu teks yang mereka terima. Munculnya berbagai tanggapan atas teks tentu tidak lepas dari otoritas dari teks tersebut yang memiliki kewenangan untuk mempengaruhi pembacanya.

Tidak mengherankan jika kemudian para pembaca memiliki penerimaan yang berbeda disebabkan oleh keragaman cakrawala (horizon) dan wawasan serta pandangan hidup mereka. Ada yang meresponnya dengan sederhana ada pula yang menanggapi dengan bentuk yang kompleks. Terkadang penerima teks hanya membaca ulang apa yang ia baca, ada pula yang melampui itu, seperti menafsirkan atau bahkan merubah teks ke dalam berbagai bentuk ekspresi tindakan (performa).

Dalam bahasa Rudolph T. Ware (2014) mungkin tidak meleset jika menyebut fenomena ini dengan istilah the walking Quran. Dalam penelitiannya di Afrika Barat, khususnya Senegal, Gambia, dan Mauritania ia melihat bahwa pembacaan dan pembelajaran al-Quran yang dijembatani oleh institusi pendidikan, secara tidak langsung membawa pola dan karakter yang khas. Al-Quran yang dipelajari menjadi simbol identitas beragama yang hidup.

Ramadhan tahun 2025 ini, perhatian saya teralihkan oleh praktik ‘mengekspresikan’ Al-Quran dengan bahasa isyarat oleh teman-teman kita Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara (PDSRW). Ekspresi tersebut merupakan respon dari Muslim minoritas atas kitab sucinya, di tengah keterbatasan yang mereka miliki. Sebagai tambahan informasi, kondisi teman-teman PDSRW tidak sama. Mereka memiliki kemampuan mendengar dan berbicara dengan kadar yang berbeda-beda. Ada yang masih dapat menggunakan sisa fungsi pendengarannya dan ada pula yang tidak dapat sama sekali mendengar sehingga tidak mengenal bahasa ibu secara oral. Mereka hanya menggunakan bahasa isyarat sebab itu yang mereka kenal sejak kecil dan menjadi media komunikasi.

Dalam memenuhi hak berislam dan membaca al-Quran secara lebih khusus mereka punya cara sendiri. Teman-teman PDSRW ini sebenarnya, sama seperti kita, yang membutuhkan asupan spiritualitas. Dalam sudut pandang psikologi agama mungkin sesuai bahwa dorongan beragama merupakan naluri bawaan (gharīzah) yang tidak dapat ditolak. Keberagamaan seseroang akan mengalami berbagai fase pertumbuhan dan perkembangan, dari anak-anak hingga dewasa. Tentu saja masing-masing orang dalam kadar dan level yang berbeda-beda. Perbedaannya terletak pada pemaknaan tentang apa makna hakiki dari beragama. Ada yang memaknainya dengan spiritualitas, ada pula yang menilainya sebagai religiusitas yang identik dengan sekat-sekat formal institusi agama. Apapun maknanya dimensi transenden itu melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, mengabaikan hak berislam para PDSRW telah menyalahi kodrat yang semestinya harus mereka peroleh.

Sayangnya, sudah terbilang lama, mungkin karena luput dari perhatian publik atau karena konstruksi budaya, yang menjadikan hak beragama mereka seperti terabaikan. Padahal, jumlah Muslim Tunarungu di Indonesia sebanyak 4,5 juta (BPS RI: 2022). Atas nama keterbatasan, hak beragama mereka dianggap gugur alias tidak kena beban taklīf. Selain itu, stigma negatif masyarakat menjadikan mereka semakin terisolir dan rentan mendapatkan perlakuan yang tidak adil.

Dalam konteks membaca dan mempelajari al-Quran kini mereka sudah mulai berangsur mendapatkan perhatian meskipun terbilang lebih akhir di bandingkan dengan para Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (PDSN) dengan Braille yang sudah diterbitkan masal sejak tahun 1973. Dalam beberapa tahun terakhir, program pembelajaran al-Quran bagi PDSRW sudah mulai bermunculan. Sebagai contoh Kementerian agama melaui Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran pada tahun 2024 telah menerbitkan al-Quran bahasa Isyarat. Berbagai Lembaga Pendidikan al-Quran bagi Difabel juga bermunculan di daerah-daerah. Situasi ini merupakan jawaban atas berbagai suara dan kebutuhan yang disampaikan oleh para PDSRW.

Usaha pengajaran dan Pendidikan al-Quran bagi PDSRW sejatinya telah banyak dilakukan oleh gerakan akar rumput. Buktinya, sebelum diterbitkan Al-Quran Isyarat Kementerian Agama, ada beragam metode yang telah dirumuskan oleh para aktifis dan penggerak komunitas difabel. Mereka menyusun berbagai metode pembelajaran berdasarkan kebutuhan yang mereka temukan di masyarakat. Munculnya berbagai metode seperti Ibtisamah Mulia dan Abatasa adalah bukti eksistensi resepsi mereka atas al-Quran. Selain itu lembaga-lembaga seperti Majelis Ta’lim Tuli Indonesia, Pesantren Abata Temanggung, Pesantren Tuli Darul A’shom, Iqro Deaf Community Tasikmalaya, dan beberapa lainnya ikut menyumbang lahirnya berbagai metode pengajaran sekaligus upaya mandiri oleh masyarakat.

Berkenaan dengan teknis penggunaan isyarat al-Quran ini, secara singkat bertumpu pada metode kitabah (tulisan) dan tilawah (bacaan). Kedua metode sama-sama mengalihrupakan huruf atau bacaan Al-Quran menjadi simbol tangan khusus berdasarkan huruf hijaiyyah beserta harakatnya. Perbedaanya jika kitabah mengacu pada alih rupa masing-masing huruf dan tanda baca sedangkan tilawah mengalihrupakan bunyi yang dihasilkan dari bacaan. Cara mengajarkan bacaan al-Quran isyarat ini dengan cara memvisualisasi huruf-huruf hijaiyyah sesuai huruf atau bunyinya menggunakan simbol jari dan tangan. Teman-teman aktifis di Malaysia menyebutnya dengan Kod Tangan Quran. Secara karakter simbol tangan untuk bacaan al-Quran ini dikembangkan dari Arab sign language (Bahasa arab isyarat) yang diakui secara internasional.

Pada Ramadhan ini sebagai upaya menunjukkan eksistensi mereka dan dukungan berbagai khalayak, tadarrus al-Quran berbahasa isyarat mulai diselenggarakan baik oleh komunitas PDSRW ataupun para aktifis penggerak. Saya menemukan dua kegiatan semacam ini diinisiasi oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran Kementerian Agama Indonesia dan juga Pusat Penyelidikan Ibnu Ummi Maktum University Sains Islam Malaysia (USIM).

Umumnya, bayangan kita tentang tadarrus al-Quran adalah lantunan suara bacaan Al-Quran merdu sesuai dengan ketentuan makhārijul hurūf dan tajwid tetapi apa yang dilakukan para PDSRW tidak demikian. Al-Quran diekspresikan tanpa suara. Ekspresi isyarat non-suara dalam membaca dan memperlihatkan bacaan al-Quran ini menurut saya melampaui penjelasan kelisanan dan keberaksaraan (oraity and literacy) yang dituturkan oleh Walter J. Ong (1982). Ekspresi kode isyarat ini memuat unsur peneriman dalam bentuk alih rupa bahasa tulis ke dalam visualisasi simbol atau kode-kode sekaligus interpretasi. Saya katakan interpretasi sebab para PDSRW juga menginterpretasikan bacaan Al-Quran. Bahkan dalam kadar tertentu, al-Quran yang diekspresikan dengan isyarat ini tidak hanya alih rupa bacaan tetapi juga menyelami makna dengan memperhatikan terjemah sederhana dari al-Quran sesuai dengan kemampuan mereka. Teman-teman aktifis di Penyelidikan Ibnu Ummi Maktum USIM menyebutnya dengan terjemah mesra. Tujuannya terjemah ini untuk membantu PDSRW memahai apa yang dibaca. Tentang terjemah mesra ini akan saya tulis dalam kesempatan tersendiri.

Ekspresi khas atas kitab suci oleh teman teman PDSRW ini membangunkan kita dari tidur Panjang bahwa Al-Quran itu bagi siapa saja. Menurut saya membaca Al-Quran tidak harus bersuara sebab ekspresi atas al-Quran dapat diwujudkan dalam bentuk yang paling sederhana bahkan dalam bentuk yang mungkin saja pada zaman Nabi Muhammad tidak ada. Mengkespresikan al-Quran dengan isyarat adalah bid’ah yang tidak hanya diperbolehkan tetapi dianjurkan. Jika memang demikian, menyitir hadis nabi popular tentang imbalan bernilai ibadah membaca al-Quran yang dihitung tiap-tiap huruf, maka makna kontekstualnya hari ini, menggerakkan tangan sebagai bentuk isyarat bacaan al-Quran juga pasti bernilai ibadah.

Membersamai mereka yang mengekspresikan kecintaan pada Kalam Illahi dengan cara yang khas dan unik ini sudah semestinya menjadi gerakan bersama sebab ia merupakan warna indah yang lain dari Islam kita.

Kontributor

  • Rizqa Ahmadi

    Santri Njoso. Pernah sekolah di Universitas Al-Azhar, Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, UIN Sunan Ampel Surabaya, dan Australian National University (ANU) Canberra. Sekarang bekerja di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.