Scroll untuk baca artikel
Talaqqi Akbar
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Ulama Al-Azhar Syekh Muhanna: Jalan Tasawuf Setiap Orang Berbeda-beda

Avatar photo
82
×

Ulama Al-Azhar Syekh Muhanna: Jalan Tasawuf Setiap Orang Berbeda-beda

Share this article
Ulama Besar Al-Azhar Syekh Muhanna: Jalan Tasawuf Setiap Orang Berbeda-beda
Muhadharah ammah bersama Ulama Al-Azhar Syekh Muhammad Muhammad di PP Assalafiyyah Terpadu II Mlangi, DIY.

Ulama besar al-Azhar, Prof. Dr. Syekh Muhammad Muhanna menyampaikan bahwa setiap orang memiliki jalan tasawufnya sendiri. Perbedaan jalan tasawuf ini tergantung pada tabiat dan kondisi masing-masing orang yang berbeda-beda.

“Perbedaan jalan tasawuf ini adalah sebuah keniscayaan sebagaimana ilmu fikih yang mengenal mazhab yang berbeda-beda,” ucap Syekh Muhammad Muhanna, dalam Muhadharah Ammah tentang tasawuf yang digelar di PP Assalafiyyah Terpadu II, Mlangi, Sleman, Yogyakarta, di bawah asuhan Dr. KH. Irwan Masduqi, Lc. M.Hum.

Syekh Muhanna mengutip kaidah ke-60 dalam kitab Qawaid at-Tasawuf karangan Syekh Ahmad Zarruq, yang berbunyi:

تعدد وجوه الحسن يقضي بتعدد الاستحسان وحصول الحسن لكل مستحسن

“Keanekaragaman bentuk kebaikan menghasilkan keanekaragaman pandangan terhadap apa yang dianggap baik, dan kebaikan itu dapat dicapai oleh setiap orang yang menganggapnya baik.”

Keragaman Jalan Tasawuf

Menurut Syekh Muhanna, karena tabiat setiap orang berbeda-beda, dan juga kondisi spiritual (ahwal) mereka, maka tidak aneh jika kita melihat banyak jalan dalam tarekat tasawuf.

Secara spesifik, Syekh Ahmad Zarruq menjelaskan detail dalam kitab Qawaid at-Tasawuf sebagai berikut:

  1. Bagi orang awam dan biasa, tasawuf yang tepat untuknya adalah seperti yang dijelaskan oleh Imam al-Muhasibi dalam kitab-kitabnya.
  2. Bagi seorang fakih yang telah menguasai ilmu fikih, tasawuf yang tepat untuknya adalah seperti yang dipaparkan oleh Ibnu al-Haj dalam kitabnya, al-Madkhal.
  3. Bagi seorang abid (ahli ibadah), tasawuf yang tepat untuk diamalkannya adalah apa yang diuraikan oleh al-Ghazali dalam kitabnya, Minhaj al-Abidin.
  4. Bagi seorang nasik (ahli amal yang mengejar keutamaan), tasawuf yang tepat untuknya adalah seperti yang tertuang dalam kitab Qut al-Qulub karangan Abu Thalib al-Makki.
  5. Bagi ahli logika, tasawuf yang sesuai dengan dirinya adalah seperti yang dirumuskan oleh Ibnu Sab’in dalam kitab-kitabnya.
  6. Bagi para ahli teologi, tasawuf yang sesuai dengan keadaannya adalah seperti yang dikatakan oleh Abu Hasan asy-Syadzili.

“Hendaknya setiap orang melihat tasawuf sesuai dengan latar belakang dan keadaan mereka masing-masing.” Kata Syekh Muhanna menukil pernyataan Syekh Ahmad Zarruq.

Kaidah di atas, menurut Syekh Muhanna, menjelaskan alasan mengapa jalan dalam tasawuf itu beragam dan tidak tunggal. Orang yang mengingkari keniscayaan adanya keragaman dalam jalan tasawuf, sesungguhnya tidak memahami hakikat tasawuf sama sekali.

Tasawuf dalam Piramida Makrifat

Yang tidak kalah penting, Syekh Muhanna juga menyampaikan bahwa tasawuf sesungguhnya adalah pokok dari setiap ilmu syariat. Dalam hadis Jibril yang begitu masyhur, dijelaskan bagaimana Nabi menjawab tentang apa itu Iman, Islam dan Ihsan.

Ilmu-ilmu usuluddin berputar di sekitar orbit Iman yang berisikan rukun yang enam. Ilmu-ilmu fikih dan usul fikih berputar di sekitar Islam yang berisikan rukun yang lima. Adapun ilmu tasawuf berputar di area Ihsan.

“Itulah posisi tasawuf dalam piramida makrifat,” tegas Syekh Muhanna.

Syekh Muhanna mencontohkan bahwa dalam istilah fikih dikenal yang namanya taharah, dan salah satu bentuknya adalah menghilangkan najis yang ada pada tubuh dan pakaian. Beliau bertanya balik, “Sejak kapan makna taharah disempitkan untuk ilmu fikih saja?”

Lalu beliau menjelaskan bahwa taharah dapat dimaknai dalam pendekatan fikih, teologi dan tasawuf. Secara fikih, taharah adalah membersihkan diri dan pakaian dari najis yang sekiranya merusak keabsahan ibadah. Secara akidah, taharah adalah membersihkan iman dari kemusyrikan dengan meyakini apa yang harus diyakini dari rukun yang enam. Adapun secara tasawuf, taharah adalah membersihkan jiwa dari segala apa pun selain Allah sehingga hanya tertuju pada-Nya semata.

“Masalah taharah harus disampaikan secara lengkap, dari aspek lahir, batin dan sirr. Jangan dibatasi pada urusan fikih saja!” tegas beliau.

Kontributor

  • Abdul Majid

    Guru ngaji, menerjemah kitab-kitab Arab Islam, penikmat musik klasik dan lantunan sholawat, tinggal di Majalengka. Penulis dapat dihubungi di IG: @amajid13.

Talaqqi Akbar