Syekh Asy-Sya‘rawi pernah mengatakan, “Kamu tidak akan pernah mendapatkan sesuatu yang sempurna. Yang akan kamu dapatkan hanyalah sesuatu yang kurang, lalu menjadi lengkap dengan keridhaanmu.”
Nasihat Syekh bernama lengkap Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi ini mengajarkan kita bahwa kepuasan tidak ditentukan oleh seberapa banyak yang kita dapatkan. Tetapi sejauh mana kita ridha. Ada sebuah kisah menarik terkait hal ini yang dialami sendiri oleh Imam ad-Du’at asal Mesir itu.
Syekh Sya’rawi mengisahkan bahwa pada satu hari bulan Ramadhan, beliau sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Satu jam sebelum Magrib.
Tiba-tiba seorang lelaki miskin yang biasa hadir di majelis pengajian beliau di masjid menghentikan langkah beliau. Pria itu menyalami Syekh dengan penuh harap. Beliau sampai terharu hingga membuat matanya berlinang.
Ia berkata, “Aku mohon, demi Allah, sudilah engkau berbuka puasa di rumahku hari ini.”
Beliau sungkan menolaknya. Lidah Syekh Sya’rawi kelu karena harapannya. Leher beliau seperti terasa terikat untuk mengiyakan keinginannya.
“Wajah yang menyebut nama Allah itu bersinar di hatiku,” ujar Syekh Sya’rawi.
Namun akhirnya beliau berkata, “Wahai saudaraku, keluargaku sedang menungguku dan keadaanku tidak memungkinkan, tetapi…” akhirnya beliau tidak tega menolak.
Syekh Sya’rawi akhirnya mengikuti lelaki itu menuju rumahnya. Beliau sendiri tidak tahu di mana rumahnya dan seperti apa keadaannya, sementara waktu menjelang berbuka sudah semakin sempit.
Setelah sampai, ternyata rumah laki-laki itu hanya terdiri dari sebuah kamar, dapur dan halaman kecil terbuka di atas atap yang dibelinya dari temannya. Ada pintu masuk sendiri dan tangga kayu sempit yang bahkan tidak kuat untuk dilewati dua orang sekaligus. Papan-papan kayunya seakan berteriak minta tolong karena rapuh dimakan usia dan kemiskinan.
Kebahagiaan tampak memenuhi hati lelaki itu. Ucapan terima kasih terus mengalir dari bibirnya.
Lelaki itu berkata, “Lihat, Sayyidi (tuanku), inilah rumahku. Aku juga tidak memiliki hutang satu qirys pun.” Qirys adalah pecahan kecil uang receh Mesir.
Dia melanjutkan, “Lihat, Sayyidi, matahari terbit di pagi hari menyinari kamarku dan tenggelam dari arah yang lain. Di sini aku membaca Al-Qur’an saat fajar dan sebelum Magrib. Istriku— duduk di jendela itu berdoa untukku.”
Syekh Sya’rawi menyimak kata-kata yang diucapkan laki-laki tersebut sembari menaiki tangga dengan hati-hati karena takut jatuh.
“Demi Allah, tuanku, aku merasa seperti tinggal di surga,” ujar laki-laki itu.
Tidak lama setelah sampai di kamar, Syekh Sya’rawi duduk, dan lelaki itu masuk menemui istrinya. Beliau mendengar percakapan lirih suami istri itu.
Lelaki itu berkata kepada istrinya, “Siapkan buka puasa, Syekh akan berbuka di rumah kita hari ini.”
Syekh mendengar istrinya menjawab, “Demi Allah, kita tidak punya makanan selain kacang ful. Waktu menuju azan Magrib tinggal setengah jam. Tak ada yang bisa kita masak. Kalaupun ada, waktunya tidak cukup!”
Percakapan lirih suami istri itu terdengar jelas oleh Syekh Sya’rawi. Setelah pria itu keluar kamar, beliau berkata, “Wahai saudaraku, aku akan berbuka di sini namun dengan satu syarat. Aku biasanya berbuka puasa dengan air dan kurma tepat saat azan Magrib, lalu aku tidak makan apa pun hingga setengah jam setelah azan, setelah aku mencerna kurma dan air, shalat, dan menyelesaikan wiridku. Sesudah itu, aku hanya makan ful yang dimasak dan kentang.”
“Baik, Sayyidi.” Jawab lelaki itu.
“Kalau begitu biarkan aku sekarang menyendiri bersama Tuhanku,” kata Syekh.
Akhirnya semua terjadi seperti yang diinginkan Syekh Sya’rawi. Beliau berbuka di rumah lelaki itu, lalu pamit pulang.
Syekh Sya’rawi berkata, “Aku memilih kentang karena itu adalah makanan orang-orang miskin, dan aku menduga di rumah mereka ada makanan ini.”
Syekh Sya’rawi keluar dari rumah itu dengan perasaan amat bahagia. Beliau mencintai dunia ini dari lisan lelaki itu yang tidak berhenti memuji dan bersyukur atas nikmat Allah, atas rumah yang Allah anugerahkan kepadanya, dan atas kehidupan indah yang selalu ia nyanyikan.
Beberapa hari kemudian, Syekh Sya’rawi diundang berbuka pausa bersama sekelompok tokoh terkemuka oleh salah seorang pedagang kaya. Dia seorang miliarder. Jabatannya mentereng. Termasuk orang terhormat.
Undangan itu digelar di sebuah kebun mewah berisi berbagai makanan lezat. Di tengahnya berdiri rumah yang hampir seperti istana. Di depannya ada kolam renang dan di sampingnya ada kandang kuda berisi kuda-kuda asli yang langka.
Selesai berbuka ketika hendak pulang, lelaki kaya raya itu berbicara empat mata dengan Syekh Sya’rawi. Dia mengeluhkan sempitnya hidup yang ia rasakan. Banyak masalah bisnis. Anak-anaknya sudah dididik. Istrinya banyak tingkat. Orang-orang di sekitarnya serakah. Dan masalah-masalah yang lainnya.
Dia curhat kalau dirinya sudah jemu dengan hidup ini dan berharap mati agar terbebas dari semua masalah.
Dua kisah yang bertolak belakang. Apa yang kita lihat dari kehidupan seseorang, kadang tidak sama dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Syekh mengenang, “Dari pintu rumah orang kaya itu hingga pintu mobilku, lelaki itu telah menghitamkan dunia di mataku. Dia menyesakkan dada dan nafasku.”
“Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas nikmat ridha,” ujar Syekh Sya’rawi setelah masuk mobil.









Please login to comment