Esai
Ajaran Islam untuk Membumikan Cinta dan Kedamaian
Islam, sesuai namanya, berakar kata al-silm berarti damai, dan selamat. Dalam bentuk fi’il (kata kerja): Aslama yuslimu islâm berarti berbuat damai, menyelamatkan, dan masuk Islam, menyerahkan diri secara total pada Agama Tauhid untuk keselamatan dunia dan akhirat.
Islam sebagai agama (al-Dîn) membawa misi rahmatan lil ‘alamin (menebarkan kedamaian, ketenteraman dan kasih sayang bagi umat manusia dan semesta alam).
Al-Quran, firman Allah Taala, sumber utama ajaran Islam, dimulai dengan ayat Bismillâhir rahmânir rahîm, mengajarkan agar kita memulai sesuatu kebaikan dengan menyebut nama Allah, Bismillâh. Bahwa Allah Yang Maha Rahman dan Rahim, Pengasih lagi Penyayang.
Ayat ini menegaskan bahwa dalam memulai dan melakukan setiap pekerjaan apa pun, yakni perbuatan yang baik, harus mengingat keagungan Allah Taala sebagai Sang Penebar kasih sayang.
Kata Bismillâh hakikatnya mempunyai dua makna sekaligus, yaitu mengingat keagungan Allah, yang merupakan ekspresi (ungkapan) tentang esensi (hakikat) iman itu sendiri. Iman mensyaratkan kepercayaan dan keyakinan pada keesaan Tuhan, dan memahami sifat Tuhan sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Artinya keagungan Tuhan tersebut dijelaskan dalam sifat-Nya yang mengajarkan kasih sayang dan kerahmatan.
Ayat ini mengajarkan kita untuk membumikan kasih sayang sebagai ekspresi iman. Juga agar kita menciptakan kedamaian dan ketenteraman dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dunia ini.
Oleh karena itulah membunuh jiwa tanpa hak (alasan kebenaran) diharamkan dalam Islam. Allah Taala berfirman:
“Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS. Al-Isrâ’: 33)
Yang dimaksud dengan alasan yang benar, adalah seperti kisas (membunuh sebagai balasan hukuman yang setimpal terhadap kejahatan pembunuhan), terorisme maupun kejahatan narkotika.
Pada ayat lainnya, yaitu QS. Al-Furqân ayat 68-70 terdapat penegasan bahwa orang yang melakukan pembunuhan bukan karena alasan yang benar maka mendapat hukuman yang berat, azab dan kenistaan di hari kiamat, akibat kejahatannya itu.
Hadis atau Sunnah, yakni sabda Nabi Muhamamd SAW, tindak tanduk beliau dan persetujuan beliau, sebagai sumber utama kedua ajaran Islam setelah Al-Quran menjelaskan pengertian orang muslim yang benar (lebih utama). Rasulullah SAW bersada:
“Seorang muslim yang benar keislamannya ialah apabila orang-orang muslim selamat (merasa damai) dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasai, dari Ibnu Umar ra., dan at-Tirmidzi dari Abu Hurairah ra.)
Dalam redaksi Imam al-Bukhari yang lain, diriwayatkan dari Abu Musa bahwa para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, Islam manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Yaitu (Islamnya) sesorang yang orang-orang muslim lainnya selamat (aman) dari gangguan lisan dan tangannya.”
Dalam riwayat at-Tirmidzi, diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari bahwa Nabi SAW ditanya, “Orang-orang muslim manakah yang lebih utama?” Nabi menjawab, “Orang muslim yang benar keislamannya ialah apabila orang-orang muslim selamat (merasa damai) dari gangguan lidah dan tangannya.”
Dalam riwayat at-Tirmidzi yang lain disebutkan: “Dan orang mukmin yang utama itu adalah orang yang bilamana manusia merasa aman darah (nyawa) mereka dan harta mereka.”
Sunnah (Hadis) Nabi SAW, dalam riwayat at-Tirmidzi memerintahkan manusia agar menebarkan kedamaian, ketenteraman, menjalin dan mempererat tali silaturahim dan memberi makan orang yang membutuhkan. Inilah amalan yang diajarkan Islam untuk mengantarkan kita, pelakunya masuk ke dalam surga.
Dalam menegakkan ajaran Islam, ada konsep tentang amar makruf nahi munkar, yakni menyeru kepada kebaikan dan melarang kemungkaran. Mengenai amar makruf nahi mungkar, Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudzri tentang amar makruf nahi munkar dengan tangan, lisan, dan hati, dijelaskan secara baik oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani al-Hasani.
Menurut beliau, amar makruf-nahi munkar itu dilakukan sesuai dengan kompetensi atau kecakapan atau kewenangan masing-masing orang.
Nahi munkar dengan tangan atau senjata dilakukan oleh penguasa atau aparat berwenang.
Nahi mungkar dengan lisan (ucapan), nasehat, ceramah, pidato bijaksana, dilakukan oleh ulama, dan kaum intelektual.
Sedangkan nahi munkar dengan hati (yaitu pengingkaran dengan hati terhadap suatu kemungkaran) dilakukan oleh orang biasa (orang awam).
Jadi, dakwah dan jihad Islam yang benar adalah ajakan atau seruan untuk mengamalkan ajaran Islam dengan cara hikmah dan bijaksana, mau‘izhah hasanah (petuah yang baik) dan perdebatan yang fair dan proporsional. Bukan amar makruf nahi mungkar dengan cara-cara kekerasan, memerangi, membunuh dan menyiksa.
Secara jelas kaidah fikih menegaskan: dar’ al-mafâsid muqaddamun ‘alâ jalb al-mashâlih, menolak kemafsadatan lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan. Juga kaidah al-mashlahah al-‘âmmah muqaddamatun ‘alâ al-mashlahah al-khâshshah (kemaslahatan publik lebih diprioritaskan daripada kemaslahatan privat). Kaidah ini merupakan derivasi atau turunan dari kaidah fikih al-dharâru yuzâlu, madarat harus dihapus, yang didasarkan pada hadis Nabi SAW, lâ dharara walâ dhirâr, tidak boleh berbuat kerusakan pada diri sendiri dan/atau orang atau pihak lain, tanpa alasan yang dibenarkan (hak).
Bahkan Islam juga memerintahkan manusia untuk mempererat tali persaudaraan, melalui silaturahim. Silaturahim secara luas bermakna bekerjasama dalam kebaikan, dan berbuat untuk kemajuan bersama, tanpa mengenal perbedaan agama dan keyakinannya.
Dalam konteks umat seagama, sesama orang mukmin, umat Islam adalah bagaikan satu bangunan, yang saling menopang sehingga bangunan itu berdiri kokoh. Maka, orang yang memutuskan tali silaturahim disabdakan oleh Nabi, ia tidak akan masuk surga (“lâ yadkhul al-jannata qâthi‘”, HR. al-Bukhari).
Apalagi orang yang berbuat anarkhis, terorisme, bahkan serangan dan pemunuhan sadis adalah perbuatan yang sangat zalim dan terkutuk. Secara syar’i, tentu tidaklah ia akan masuk surga, karena unsur membunuh dengan sengaja terhadap nyawa manusia tanpa alasan yang hak (benar), melebihi pemutusan tali silaturahim.
Wacana, aksi dan dukungan terhadap ISIS dalam konteks Indonesia, bertentangan dengan empat dasar landasan atau pilar kebangsaan kita (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945).
Keempat landasan/pilar kebangsaan ini, ditinjau dari perspektif Islam, adalah bentuk kesepakatan (kalîmatun sawâ’, common platforms) yang wajib dijunjung tinggi, ditegakkan dan dipatuhi oleh umat Islam dan umat lainnya sebagai warga negara Indonesia (WNI).
Dasarnya ialah Hadis Nabi SAW: “Perjanjian/persepakatan boleh dilakukan di antara orang-orang Islam kecuali perjanjian atau persepakatan mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan orang-orang Islam (orang-orang mukmin) wajib menegakkan persepakatan mereka kecuali persepakatan mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. at-Tirmidzi dan Abu Daud)
Atas dasar ini, segala wacana, sikap dan tindakan yang mengarah pada pengabaian keempat landasan atau pilar kebangsaan tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari pengingkaran terhadap kalîmatun sawâ’ (common platforms), yang hukumnya haram. Dengan cara ini, kita dapat berperan besar dalam menciptakan tatanan kehidupan yang harmonis dan bermartabat dalam tingkat lokal, nasional bahkan internasional.
Semoga kita, keluarga kita, masyarakat dan bangsa kita dan umat Islam diberi pertolongan oleh Allah Taala menjadi orang-orang yang mendapat hidayah dan inayah (pertolongan)-Nya menjadi pribadi-pribadi, masyarakat, bangsa dan umat yang menebarkan kedamaian, yang dengan itu pula akan mengantarkan kita memperoleh ridha Ilahi. Amin.
Pengasuh
Pesantren Progresif Madania Tangerang, Pengurus Lembaga Pentashih Buku dan
Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI MUI).
Baca Juga
Ajaran Rasulullah Tentang Kemanusiaan
25 Sep 2024