Artikel
Alasan penempatan urutan bab dalam kitab fikih
Para fukaha atau ulama fikih ketika menulis kitab fikih, tidak sembarangan menempatkan setiap bab. Ada alasan dan faedah tersendiri di balik itu.
Imam al-Bulqini punya risalah menarik perihal sistematisasi urutan bab dalam kitab fikih.
Misalnya bab istinja' diletakkan setelah bab wudhu sebagaimana banyak kita temukan di kitab-kitab fikih. Hal itu menunjukkan bahwa istinja' bisa diakhirkan setelah wudhu, karena keabsahan wudhu tidak harus didahului dengan membersihkan najis.
Misal yang lain adalah penempatan bab libas (pakaian), biasanya para fukaha meletakkannya setelah bab salat khouf. Karena saat perang, di beberapa keadaannya, seseorang dibolehkan menggunakan pakaian sutera, maka para ulama merumuskan syarat dan ketentuannya setelah bab salat khouf.
Misal yang lain, penempatan bab nafkah di kitab nikah. Kita biasanya menemukan itu di akhir bab-bab nikah, yakni setelah semua dilema nikah seperti talak, khulu', zihar, lian, dll itu selesai dibahas. Mengingatkan bahwa walau pun terjadi beberapa dilema tadi, yang membuat akad nikah selesai, si istri tetap dapat beberapa nafkah, baik pisah bainunah atau roj'iyyah.
Dan seterusnya.
Secara umum, penempatan bab-bab fikih ini sesuai dengan rukun Islam. Rukun pertama, melafalkan dua kalimat syahadat. Karena bab ini sudah diwakili oleh kitab-kitab akidah, maka para fukaha tidak meletakkannya di kitab-kitab fikih, kecuali pengarang kitab Safinah an-Naja yang membahas bab ini di awal kitab fikihnya.
Kemudian rukun kedua, shalat. Karena salat butuh bersuci, para fukaha mengawali bab salat dengan bab thoharoh, kecuali pengarang fathul mu'in yang langsung memulai kitab fikihnya dengan bab salat. Dan seterusnya sampai rukun kelima, yaitu haji.
Kemudian, karena manusia tumbuh dewasa, ia butuh biaya hidup, maka ia perlu berusaha. Para fukaha kemudian membahas macam-macam interaksi dengan makhluk dalam fikih muamalah, beserta semua dinamikanya.
Setelah hamba tersebut sudah punya pemasukan, ia butuh pasangan. Para fukaha kemudian membahas akad nikah beserta semua polemik yang terjadi di dalamnya di bab nikah.
Kemudian, karena semua kebutuhan si hamba telah terpenuhi, biasanya muncul sifat-sifat angkuh untuk menzalimi hamba-hamba lemah, atau karena belum bisa memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang benar, hamba tersebut menempuh jalur yang dilarang, para fukaha kemudian meletakkan bab jinayat.
Di antara bentuk jinayah adalah kufurnya orang kafir, jika ia harbi maka wajib diperangi. Para fukaha kemudian membahas perinciannya di bab jihad.
Jika ia bukan harbi, ada solusi hudnah, jizyah, dan akad aman. Para fukaha membahas masing-masing itu di bab tersendiri.
Kemudian karena saat perang zaman dulu berkuda, maka para ulama biasanya meletakkan bab lomba pacuan kuda setelah bab jihad, karena tujuan kita melombakan pacuan kuda untuk berjihad.
Kemudian di akhir, agar semua sengketa di bab-bab sebelumnya itu berlangsung adil, para fukaha tidak lupa membahas bab qodho wa syahadah (peradilan dan kesaksian) setelahnya.
Adapun bab pembebasan budak, para fukaha ada yang meletakkannya di bab muamalah, dan ada yang membuatkannya bab tersendiri.
Imam Rafi'i menulis,
وكما ختمنا بكتاب العتق كتابنا، نرجو أن يعتق الله تعالى رقابنا من النار
“Sebagiamana kami menutup kitab ini dengan bab memerdekakan budak, kami berhadap semoga Allah memerdekakan kami dari api neraka.”
Mengetahui secara umum penempatan bab-bab ini, memudahkan kita merujuk sebuah permasalahan. Wallahu a'lam.
Mahasiswa Fakultas Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Asal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Suka mengkaji fikih.
Baca Juga
Hati-hati jika berbasa-basi
06 Oct 2024