Fatwa
Apakah Kasih Sayang Muslim Terbatas untuk Sesamanya Saja?
Apakah kasih sayang seorang muslim terbatas untuk sesama muslim saja? Demikian pertanyaan yang diajukan kepada Darul Ifta Mesir.
Mufti Lembaga Fatwa Mesir Dr. Ahmad Syauqi Allam menjawab sebagai berikut:
Allah swt. mengutus Rasulullah saw. sebagai rahmat untuk semesta alam. Dengan teladan yang telah ditunjukkan oleh beliau, wajib bagi setiap muslim untuk berinteraksi dengan sesama muslim dan non-muslim berlandaskan rahmat (kasih sayang).
Rahmat ini tidak hanya sebatas tinjauan pengajaran teori semata, atau pengetahuan filosofis. Lebih dari itu, ia merupakan manhaj (metode) kehidupan yang menyerukan perdamaian dan toleransi, serta penerapan riilnya yang dituangkan dalam beberapa aspek hidup damai antar umat beragama.
Allah swt. berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4)
Rasulullah saw. bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan.” (HR. Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak)
Sifat Rahmat Rasulullah
Rahmat Nabi Muhammad saw. bersifat umum dan menyeluruh bagi seluruh alam, tidak pandang ras, warna kulit, dan agama, bahkan rahmat beliau untuk seluruh manusia.
Beliau sendiri juga memerintahkan demikian, dan menjadikan rasa kasih sayang sebagai syarat untuk masuk surga. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا رَحِيمٌ»، قلنا: كلُّنا رحيمٌ يا رسول الله، قال: «لَيْسَتِ الرَّحْمَةُ أَنْ يَرْحَمَ أَحَدُكُمْ خَاصَّتَهُ؛ حَتَّى يَرْحَمَ الْعَامَّةَ، وَيَتَوَجَّعَ لِلْعَامَّةِ
“Demi Dzat yang mana jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, tidaklah masuk surga kecuali orang yang berbelas kasihan.” Kami (para sahabat) berkata: “Kami semua penyayang, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Bukanlah disebut penyayang, salah seorang dari kalian yang hanya menyayangi golongannya sendiri secara khusus, hingga ia berbelas kasihan pada semua orang.” (HR. Abd bin Humaid dalam Musnad-nya)
Dalam redaksi lain dari Anas bin Malik ra yang diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, beliau juga bersabda demikian.
Kasih sayang Rasulullah saw. dan akhlak beliau yang mulia merupakan metode kehidupan yang stabil, teguh, dan lurus, serta menjadi percontohan khususnya dalam kehidupan bersosial yang penuh kedamaian dan toleransi.
Semua itu tergambar jelas bagaimana kesabaran beliau menghadapi gangguan orang-orang munafik, bahkan beliau memaafkannya.
Baca juga: Hukum Menghadiri Jenazah Non Muslim
Seperti peristiwa yang dituturkan oleh Usamah bin Zaid ra. dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
Ketika di tengah perjalanan hendak menjenguk Sa’ad bin Ubadah ra, beliau melewati suatu majelis yang terdiri dari orang-orang muslim, orang-orang musyrik penyembah berhala, dan orang-orang Yahudi. Di antara mereka terdapat Abdullah bin Ubay bin Salul dan Abdullah bin Rawahah. Ketika melihat derap debu dari langkah kami, Abdullah bin Ubay bin Salul menutup hidungnya dengan kain selendangnya sambil berkata, “Janganlah kalian taburkan debu kepada kami.”
Lalu Nabi saw. memberi salam kepada mereka dan berhenti lalu turun.
Kemudian beliau mengajak mereka kepada Allah dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Namun Abdullah bin Ubay justru berkata, “Tidak adakah yang lebih baik daripada ini? Jika yang kamu katakan itu benar, maka janganlah mengganggu majelis kami, pulanglah dan bacakanlah itu kepada orang-orang yang datang kepadamu.”
Maka terjadilah adu mulut antara orang-orang muslim dengan mereka, hingga hampir terjadi perkelahian, namun Rasulullah saw. menenangkan mereka.
Kemudian beliau pergi ke rumah Sa’ad bin Ubadah dan menceritakan kejadian tersebut. Lalu Sa’ad berkata, “Maafkanlah dia wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah memberi anda kedudukan mulia ini, karena sebelumnya penduduk negeri ini sepat memakaikan mahkota dan surban kepadanya, namun Allah menggagalkannya dengan kebenaran yang diberikan-Nya kepadamu. Karena itu ia merasa iri dan suka berbuat ulah seperti itu.” Maka Rasulullah saw. pun memaafkannya.
Di antara bentuk sifat belas kasihan dan toleransi Rasulullah terpotret dalam seluruh peperangan yang sejatinya bukan agresi yang melampaui batas, namun dalam rangka menghalau musuh dan menyingkirkan kezhaliman.
Hal itu bisa terlihat bagaimana beliau memperlakukan para tawanan perang dengan baik, meskipun mereka berniat hendak memerangi Nabi saw. dan kaum muslimin.
Beliau tetap melindungi kehormatan manusia dalam kondisi perang sebagaimana beliau melindunginya dalam keadaan normal (damai), sehingga Islam menjadikan pemberian makan terhadap tawanan perang, perlindungan dari keburukan dan petaka sebagai di antara perbuatan mendekatkan diri kepada Allah.
Demikin itu sesuai firman Allah swt:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا فَوَقَاهُمُ اللهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, ayak yatim, dan orang yang ditawan, (sambil berkata): “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah mengharapkan ridha Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih darimu. Sungguh, kami takut akan (adzab) Tuhan pada hari (ketika) orang-orang berwajah masam penuh kesulitan. Maka Allah melindungi mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan mereka keceriaan dan kegembiraan.” (QS. Al-Insan: 8-11)
Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Tinggal di Pati. Pecinta kopi. Penggila Real Madrid.
Baca Juga
Apakah ahli waris wajib membayar hutang pewaris?
23 May 2024