Artikel
Azan untuk Seruan Jihad Sangat Tidak Wajar dan Cederai Kesucian Shalat
Telah beredar secara viral dalam dunia maya tentang azan shalat yang diubah jadi ajakan jihad dengan tambahan hayya ‘alā al-jihād. Disinyalir azan tersebut dilakukan dengan dalih bela Habib oleh beberapa anggota atau simpatisan Front Pembela Islam (FPI) sebagaimana pengakuan Wakil Sekretaris Umum FPI Aziz Yanuar.
Aziz Yanuar mengkomentari bahwa kejadian demikian ini merupakan hal yang wajar melihat bagaimana pimpinan mereka diperlakukan secara tidak adil sebab tidak sepaham dengan pemerintah. Pernyataan Yanuar ini tentu bahaya dan perlu diluruskan.
Pertama, dalam menghadapi penguasa atau pemerintah.
Nabi saw. telah bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Dari Ibn Abbas ra., dari Nabi saw., beliau bersabda, “Barangsiapa membenci tindakan (kebijakan) yang ada pada penguasanya, maka hendaklah dia bersabar. Karena siapa saja yang keluar dari (ketaatan) terhadap penguasa sejengkal saja, maka dia (jika) mati (akan mati) sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah.” (HR. Bukhari)
Begitu juga hadits yang lain yang, Nabi saw. bersabda:
السَّمْعُ والطَّاعَةُ علَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيما أحَبَّ وكَرِهَ، ما لَمْ يُؤْمَرْ بمَعْصِيَةٍ، فإذا أُمِرَ بمَعْصِيَةٍ فلا سَمْعَ ولا طاعَةَ
“Mendengar dan taat adalah kewajiban setiap muslim, (baik perintah penguasa tersebut) adalah hal-hal yang dia sukai atau dia benci, selama penguasa tersebut tidak memerintahkan pada kemaksiatan. Jika penguasa tersebut memerintahkan pada kemaksiatan, maka tidak ada (kewajiban) mendengar dan taat (dalam perintah maksiat tersebut).” (HR. Bukhari)
Baca juga: Kesantunan Berbahasa dan Kecerdasan Penuturnya
Hadits yang lain juga menceritakan bagaimana bersikap pada penguasa:
دَعانا النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَبايَعْناهُ، فقالَ فِيما أخَذَ عَلَيْنا: أنْ بايَعَنا علَى السَّمْعِ والطَّاعَةِ، في مَنْشَطِنا ومَكْرَهِنا، وعُسْرِنا ويُسْرِنا وأَثَرَةً عَلَيْنا، وأَنْ لا نُنازِعَ الأمْرَ أهْلَهُ، إلَّا أنْ تَرَوْا كُفْرًا بَواحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فيه بُرْهانٌ
“Nabi saw. berdakwah kepada kami dan kami pun berbaiat kepada beliau. Maka Nabi saw. mengatakan di antara poin baiat yang beliau ambil dari kami yaitu Nabi saw. meminta kepada kami untuk mendengar dan taat kepada penguasa, baik (perintah yang) kami bersemangat untuk mengerjakannya atau kami tidak suka mengerjakannya, baik (perintah itu) diberikan kepada kami dalam kondisi sulit (repot) atau dalam kondisi lapang, juga meskipun (penguasa tersebut) mementingkan diri sendiri (misalnya; dia mengambil hak rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri atau untuk orang terdekatnya), dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemegangnya (maksudnya, jangan memberontak). Kecuali jika kalian melihat kekafiran nyata (tampak terang benerang) yang dapat kalian buktikan di hadapan Allah Ta’ala (kelak) bahwa itu adalah kekafiran.” (HR. Bukhari)
Selain tiga hadits di atas masih ada beberapa hadits lain yang dapat kita jadikan dalil akan kewajiban patuh pada penguasa atau pemerintah Muslim.
Artinya, bahwa kita seyogyanya tidak memprovokasi dan mengajak pada khalayak untuk berontak pada pemerintah kita, terlebih tidak ada bukti nyata akan kekafiran pemerintah kita dan tidak kita temukan perintah kemaksiatan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Kedua, tentang menggubah lafal azan untuk ajakan jihad.
Mengubah lafal azan yang tidak ada relevansinya dengan shalat adalah suatu yang tidak wajar dan perbuatan mengada-ada. Tidak ada satupun Hadits dan Atsar yang menyontohkan mengubah lafal azan selain untuk kepentingan shalat itu sendiri.
Misalnya mengubah Hayya alā al-Salāh (mari kita shalat) diganti dengan Sallū fī Buyūtikum (shalatlah di rumah kalian), Hayya alā al-Falāh (mari kita menuju keberuntungan) dengan Sallū fī Rihālikum (shalatlah di tempat kalian masing-masing).
Baca juga: Mosul, Kota Kejayaan Irak yang Hancur di Tangan ISIS
Sebagaimana hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الحَارِثِ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ : ” إِذَا قُلْتَ : أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، فَلَا تَقُلْ : حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ ، قُلْ : صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ
Dari Abdullah b. Abbas ra., bahwa Rasulullah saw. berkata kepada seorang Muadzin saat terjadi hujan lebat , “Apabila engkau selesai mengucapkan ‘Ashhadu an Lā Ilaha Illallāh, Ashhadu Anna Muhammad Rasūlullāh’, maka janganlah engkau ucapkan ‘Hayya ’Alā shalāh’. Tapi ucapkanlah ‘Sallū fī Buyūtikum’ (shalatlah di rumah kalian).” (HR. Bukhari)
Juga dalam Shahih Muslim yang diriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar:
أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِى آخِرِ نِدَائِهِ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِى السَّفَرِ أَنْ يَقُولَ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ
Ibnu Umar ra. pernah azan untuk shalat di malam yang dingin, anginnya kencang dan hujan, kemudian dia melafalkan di akhir azan, Alā Sallū fī Rihālikum, Alā Sallū fī al-Rihāl’ (Shalatlah di tempat kalian, shalatlah di tempat).
Kemudian beliau mengatakan,”Sesungguhnya Rasulullah saw. biasa menyuruh Muadzin, apabila cuaca malam dingin dan berhujan ketika beliau safar untuk mengucapkan, ’ Alā Sallū fī Rihālikum’ [Shalatlah di tempat kalian masing-masing].” (HR. Muslim)
Dapat disimpulkan bahwa azan jihad yang dikumandangkan oleh para simpatisan atau anggota FPI adalah suatu yang tidak hanya mencederai kekeramatan dan kesucian shalat namun juga berseberangan dengan maksud disyariatkannya ibadah azan itu sendiri. Tentu ini bukan hal yang dapat dikatakan wajar, ini sangat tidak wajar dan tidak seharusnya dilakukan.
Seandainya lafal azan boleh diganti dengan suatu hal yang tidak berkaitan dengan shalat misalnya jihad, tentu para sahabat atau Nabi saw. sendiri menyuruh Muadzin untuk melafalkannya saat azan pada shalat Khauf atau saat shalat sebelum peperangan, misal azan saat shalat jama’ahnya para pasukan Muslim sebelum maju ke medan perang Uhud, Tabuk, Khaibar dan lainnya.
Baca juga: Negara Islam Menurut Grand Syekh Al-Azhar
Dalam perang yang mana benar-benar memenuhi makna jihad seperti itu saja tidak ditemukan Hadits atau Atsar yang menceritakan penggubahan lafal azan menjadi ajakan untuk jihad, nah ini yang dalam kondisi damai dan mudahnya kita umat Muslim melaksanakan ibadah kok beraninya menggubah lafal azan atas dasar bela pemimpinnya yang mungkin bisa jadi salah secara hukum atau tidak.
Kita kembaikan saja pada wasiat dan arahan Nabi saw. di atas agar kita bersabar kalau memang ada unsur kriminalisasi yang tidak sepatutnya dilakukan oleh pemerintah pada beliau, Habibana Rizieq b. Shihab.
Kita juga semestinya senantiasa berusaha untuk taat pada kebijakan pemerintah selagi tidak benar-benar nyata bahwa pemerintah kita mengajak pada kemaksiatan. Sebagaimana hadits di atas, perlu bukti nyata dan kuat akan kekafiran pemimpin sebelum kita jihad melawannya.
Kord. Akademik Ma'had Jami'ah UINSA Surabaya dan Tim Aswaja Center Sidoarjo.
Baca Juga
Adakah dusta yang tidak berdosa?
23 Nov 2024