Kisah
Bagaimana para ulama memuliakan buku?
Barangkali satu hal yang sangat identik dengan budaya ilmiah di kalangan ulama adalah bentuk penghormatan yang luar biasa terhadap sumber-sumber pengetahuan. Dalam hal ini adalah kepada buku atau kitab.
Jika buku dan kitab diyakini sebagai sebuah sumber otentik pengajaran keilmuan Islam, maka buku juga merupakan pusat dari elemen yang mesti diperhatikan. Sedikit agak beda dengan budaya-budaya lain, Islam mempunyai perhatian besar terhadap masalah adab dan penghormatan terhadap satu barang ini.
Penghormatan dan upaya memuliakan buku itu termanifestasi dalam setiap aktifitas para santri dan ulama setiap harinya. Itupun tidak hanya sebatas ketika sedang membawanya. Hal-hal di luar buku yang masih berhubungan dengannya pun sangat diperhatikan.
Contoh kecil adalah para ulama membiasakan untuk berwudhu sebelum memegang sebuah buku atau kitab. Karena dalam kepercayaan mereka, buku adalah sumber ilmu. Sedangkan ilmu digambarkan sebagai cahaya. Oleh sebab itu untuk memperoleh cahaya ilmu yang cemerlang, maka dibarengi dengan cahaya wudhu.
Hal ini banyak sekali dipraktekkan oleh para ulama. Seperti Imam Sarakhsi yang disebut Imam Az-Zarnuji dalm Ta’lim al-Mutaallim dalam semalam pernah berwudhu hingga 17 kali, karena untuk mempertahankan belajar dalam keadaan suci.
Imam al-Khulwani pun begitu, beliau pernah mengatakan:
إنما نلت هذا العلم بالتعظيم، فإنى ما أخذت الكاغد إلا بطهارة
“Hanya saya dapati ilmu ilmuku ini adalah dengan mengagungkan. Sungguh, saya tidak akan mengambil kertas belajarku kecuali dalam keadaan suci.”
Kemudian dalam urusan menyimpan dan bagaimana seharusnya buku itu dirawat pun para ulama sangat memperhatikan. Para ulama tidak pernah menulis atau membaca buku dan meletakkanyya diatas tanah secara langsung. Hal tersebut pernah disinggung Imam Badruddin Muhammad Ibnu Jamaah dalam sebuah kesempatan. Menurutnya Jika hendak menulis dalam sebuah buku, atau sekedar membaca buku, maka hendaknya tidak menaruh buku tersebut diatas tanah secara langsung. Baiknya diberi alas yang bisa menghalangi buku itu langsung berada di atas tanah.
Karena menurutnya ilmu itu mulia, sehingga seharusnya sumber-sumber ilmu yang berupa buku pun arus ditempatkan di tempat mulia.
Imam Ahmad bin Hanbal suatu ketika pernah ditanya oleh Abu Hatim Nuaim bin Naim.
“Bolehkah seseorang menaruh buku di bawah kepalanya?”
“Buku apa itu?”
“Hadis.”
“Kalau ia melakukan itu bertujuan khawatir jika bukunya dicuri orang lain, maka tidak apa-apa. Tapi kalau ia bertujuan sebagai bantal saja maka itu sungguh jangan pernah dilakukan!”
Oleh sebab itu para ulama begitu memperhatikan bagaimana kitab dan buku mereka disimpan. Sebagian ulama bahkan membedakan pena-pena yang mereka gunakan untuk menulis buku mereka. Contoh kecil adalah apa yang dilakukan oleh Syekh Abdul Karim Zadah al-Hanafi, salah seorang ulama mazhab Hanafi yang mempunyai dua pena. Satu pena khusus untuk menulis lafadz Allah dalam setiap buku yang ia tulis. Sedangkan pena yang lainnya ia gunakan untuk menulis tulisan-tulisan yang lain.
Dalam catatan lain dia pun tidak berani tidur di kawasan atau ruangan ia menyimpan bukunya. Karena ia tidak ingin melakukan aktivitas yang kurang berfaedah ditempat bukunya sebagai bentuk pemuliaannya terhadap ilmu.
Santri, Pustakawan Perpustakaan Langitan, suka menggeluti naskah-naskah klasik.
Baca Juga
Kasih sayang KH. Hasyim Asy’ari terhadap anjing
19 Aug 2024
Menyatu dengan ilmu
31 Jul 2024