Buku

Bedah Kitab Ghoyatul Muna syarh Safinatun Naja bersama Syekh Muhammad bin Ali Baatiyah di Bangil Pasuruan

29 Nov 2022 06:55 WIB
2384
.
Bedah Kitab Ghoyatul Muna syarh Safinatun Naja bersama Syekh Muhammad bin Ali Baatiyah di Bangil Pasuruan Syekh Muhammad bin Ali Ba'athiyah saat bedah kitab Ghayatul Muna di Bangil Pasuruan.

Sayyidi Syekh Dr. Muhammad bin Ali Ba'atiyah menjadi pembicara dalam seminar ilmiah bertajuk "Bedah kitab Ghoyatul Muna' syarh Safinatun Naja'" di Masjid Baitul Ghoffar ponpes Daarul Lughah wadda'wah, Bangil Pasuruan, Jawa Timur pada Kamis (24/11/2022).

Rangkaian seminar ini diadakan untuk menyambung kembali sanad keilmuan madzhab Syafi'i di Indonesia dengan Hadramaut. Seminar yang digawangi oleh pihak Rabithah Atha wal Irfan (RAWI) ini bekerja sama dengan ponpes Dalwa. Kegiatan ini menjadi wujud peran ulama Hadramaut dalam melestarikan visi dan misi para ulama salaf.

Seminar kali ini melibatkan rektor IAI Dalwa yaitu Habib Dr. Segaf Baharun. IAI Dalwa merupakan sebuah perguruan tinggi Islam yang digagas oleh Habib Hasan Baharun ulama kharismatik pendiri ponpes Daarul Lughah wadda'wah. Juga dihadiri oleh Habib Ali Zainal Abidin dan Habib Ali Ridho Baharun yang menjabat sebagai mudir pondok Dalwa 2 & 3. Tak luput segenap jejeran dewan guru dan santri ikut serta mengikuti kegiatan ini.

Kitab Ghoyatul Muna' merupakan kitab fikih syarah dari matan Safinatunnaja' yang dikarang oleh Syekh Dr. Muhammad bin Ali Ba'atiyah. Kitab ini mendapat sambutan luas masyarakat di berbagai negara layaknya Yaman, Mesir, Arab Saudi, Jordania, Indonesia dll.

Faktor yang menjadikan kitab ini istimewa ialah bahasa yang disajikan mudah dicerna oleh setiap kalangan, juga dilengkapi dengan dhowabith serta masail dalam ilmu akidah dan ibadah.

Membuka seminar kali ini, Sayyidi Syekh menjelaskan bahwa mayoritas umat Islam di dunia sedang ditimpa keterbelakangan, yaitu minimnya minat baca. Fenomena semacam ini adalah hal yang riskan, bahkan berakibat fatal dan menjalar kepada kebobrokan umat di masa mendatang.

"Orang-orang Barat ketika berpergian, entah itu naik pesawat atau pun kapal laut, saya selalu dapati mereka membaca buku. Tidak halnya dengan keadaan umat muslim zaman sekarang, seakan mereka enggan membaca satu kata pun. Padahal wahyu yang pertama diturunkan adalah surah Iqro' (bacalah)." Ujarnya.

Beranjak pada pendahuluan kitab Ghoyatul Muna', Sayyidi Syekh meminta segenap hadirin mengkaji kembali materi yang tercantum di dalamnya terkait dengan adab dan akidah. Pasalnya, di sana disebutkan persoalan kedua orang tua Nabi saw.

"Semestinya seseorang tak hanya mengedepankan ilmunya saja tanpa disertai adab, tak sadarkah kita betapa banyak universitas di luar sana yang mengeluarkan para doktor namun malah tak beradab dengan menyebut orang tua Nabi di neraka, hal semacam ini tidaklah benar."

Kemudian beliau menambahkan, bahwa di zaman seperti ini seyogiyanya umat muslim berlega hati dengan munculnya pembaharu Islam seperti Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki yang kerap berjuang membentengi akidah ahlu sunnah wal jama'ah.

Adapun rujukan dalil yang dijadikan penopang oleh kelompok yang memiliki keterbelangkan intelektual ialah,

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: أن رجلا قام إلى النبي صلى الله عليه وسلم، فقال: أين أبي؟ قال: ((في النار)) فلما قفى دعاه، فقال صلى الله عليه وسلم: ((إن أبي وأباك في النار)).

Dari Anas bin Malik ra berkata: "Ada seseorang menghadap ke Nabi saw seraya bertanya: Di manakah ayahku? Lantas Nabi menjawab: di neraka. Dan ketika orang tersebut hendak pergi, Nabi pun menoleh kepadanya dan berkata: Ayahku dan ayahmu ada di neraka."

Riwayat lain ialah ketika Nabi meminta izin kepada Allah swt meminta ampunan untuk ibundanya Aminah binti Wahab, dan di saat itu pula Allah tidak mengizinkannya lalu menurunkan wahyu,

ما كان للنبي والذين آمنوا أن يستغفروا للمشركين.

"Tidaklah bagi seorang Nabi juga orang-orang yang beriman memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik." (At-Taubah: 113)

Berdasarkan keyakinan seperti itulah para tokoh aliran pemikiran itu mengklaim bahwa orang tua Nabi berada di neraka. Padahal, akidah yang benar tidak seperti itu. Kritik dan celaan mereka didasari kedengkian dan sentimen, tidak didasari analisis dan penelitian ilmiah.

Membantah tuduhan di atas, Sayyidi Syekh mengklarifikasi dengan menukil tanggapan Sayyid Muhammad Al-Maliki, dengan menyebut bahwa dalil yang mereka ambil merupakan dzanniyat tsubut (asumsi yang keliru). Tentunya hal ini bisa dipatahkan dengan dalil lain yang memiliki derajat Qathiyyah tsubut (dalil yang akurat) yaitu,

وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا.

"Dan Kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul." (Al-Isra': 15)

Berdasarkan dalil tersebut, makin jelas bahwa kelompok yang mengklaim orang tua Nabi di neraka telah keliru dan tak jujur dengan hatinya sendiri. Sebab, orang tua Nabi hidup di antara zaman Nabi Isa dan Nabi Muhammad Saw, dan siapa saja yang hidup di zaman tersebut termasuk ahlu fatrah (terbebas dari adzab).

Dalam kitab Fathul Mu'in, Imam Abu Bakar Syatha menyebutkan,

اجماع المسلمين على أن موضع قبر رسول الله  أفضل الأرض، وذلك لتشرفها بكونه  فيها.

"Para ulama muslim telah sepakat bahwa tempat dimakamkannya Rasulullah saw adalah sebaik-baiknya tempat, demikian itu karena sosok mulia yang berada di dalamnya."

Ketika Nabi berpindah ke surga, maka surga pun akan ikut mulia dengan kehadirannya, dan jarak antara makam Nabi dengan surga merupakan wujud dari taman-taman surga yang memiliki keutamaan dan keistimewaan.

Secara logika, tanah pun akan ikut mulia dengan hadirnya jasad Nabi yang terkubur di dalamnya. Lantas, bagaimana dengan kondisi perut seorang wanita yang telah mengandungnya selama 9 bulan, bagaimana dengan keadaan tulang sulbi yang menyimpan benih Nabi selama bertahun-tahun, apakah tega bila kita menyebutnya berada di neraka? Tentu tidak, karena setiap yang berakal pun tak akan mengucapkannya.

Di penghujung acara, Sayyidi Syekh berharap, semoga mereka yang terus menyibukkan pikiran masyarakat dengan segala gagasan dan ijtihad dalam perkara ini agar sadar dan bertaubat. Alih-alih mereka selalu sibuk memikirkan berbagai persoalan yang tidak mengandung manfaat dan lebih banyak memicu perselisihan dan memunculkan dendam satu sama lain.

Jika kita hendak meneliti berbagai persoalan yang diperselisihkan kelompok itu dan membandingkannya dengan pandangan jumhur ulama, Sayyidi Syekh mengajak umat muslim untuk mencermati dalil, kelurusan, dan kekuatannya berdasarkan dalil dan bukti yang jelas.

Usai seminar diselenggarakan, Sayyidi Syekh memberikan Ijazah sanad keilmuan umum dan khusus yang diperolehnya dari Habib Ahmad Mashyur Al-Haddad, Sayyid Muhammad Roysad Assegaf dll kepada seluruh jama'ah yang hadir. Tuturnya, hal semacam ini merupakan sunnah para ulama salaf yang patut dilestarikan.

Faisal Zikri
Faisal Zikri / 69 Artikel

Pernah nyantri di Daarul 'Uulum Lido Bogor. Sekarang meneruskan belajar di Imam Shafie Collage Hadhramaut Yaman. Suka membaca, menulis dan sepakbola.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: