Artikel
BerIslam Tanpa Beban
Menjadi seorang muslim adalah anugerah. Tanpa harus meminta, Allah telah memberi keyakinan secara gratis kepada manusia melalui keyakinan orang tuanya. Walaupun terkadang keyakinan yang seperti itu merupakan ‘warisan’ yang bersifat turun-temurun dari leluhur.
Mengenal Islam dari leluhur mempunyai kelebihan dan kekurangan. Di antara kelebihannya adalah mengetahui kewajiban sebagai muslim dari laku keseharian keluarga, teman dan tetangga. Shalat menjadi hal biasa yang dilaksanakan baik sebagai makmum dengan orang tua dan terkadang bareng dengan rekan sejawat di masjid.
Ngaji rutin juga dilakukan serempak. Jika hafalan Al-Qur’annya sebatas Juz’amma, maka semuanya akan merasa cukup jika sudah hafal Juz’amma. Jika binnadhar Al-Qur’an menjadi pamungkas, maka setelah itu sudah tidak ada ngaji lagi. Hal lumrah yang dilakukan anak-anak sampai umur SMP. Jika masuk ke jenjang SMA, seperti sudah tidak ada kewajiban untuk mendalami lagi kitab suci Al-Qur’an.
Adapun di antara kekurangannya yaitu laku dan corak keislaman yang ditampilkan menjadi Islam yang didaku paling benar. Lainnya dianggap keliru. Hal ini yang membahayakan. Karena Islam ‘warisan’ bersifat temporal. Belum memiliki akar yang kuat. Dibutuhkan ilmu untuk memperkokoh pondasi keimanan seperti ini.
Al-Qur’an dan hadis sudah memberikan garis supaya umat Islam tidak mudah terjebak dalam mengatasi masalah ini. Namun kesulitannya adalah mereka yang tidak memahami agama dengan ilmu juga sulit menggunakan dalil-dalil dari kedua sumber tersebut. Apalagi harus memahami lebih mendetail dan mempraktekkannya dalam keseharian.
Solusi mudah dalam mengentaskan kerisauan dalam keberisalaman seperti ini adalah tidak membebani umat Islam dengan beban yang berat. Misalnya Allah mengisyaratkan hal ini melalui potongan ayat dalam surat Al-Baqarah ayat 185:
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
.”..Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...”
Rasulullah pun demikian. Mengetahui umatnya yang beraneka ragam, beliau memberikan penjelasan yang bijak dalam berislam melalui hadisnya, “Sesungguhnya agama itu mudah. Dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkannya (tambah berat dan sulit). Oleh karena itu, luruskanlah, dekatilah, dan berilah kabar gembira! Minta tolonglah kalian pada waktu pagi-pagi sekali, siang hari kala waktu istirahat, dan awal malam.”
Dalam hadis lain, beliau menegaskan, “Apabila aku perintahkan kepada kalian untuk mengerjakan suatu perkara, maka laksanakanlah itu semampu kalian.”
Kedua dalil ini mengindikasikan bahwa Islam merupakan agama yang mudah, tidak memberatkan dan solutif atas problema umat. Jika dalilnya dirasa terlalu panjang, sulit dilafadzkan maupun dihafalkan, maka yang perlu diingat adalah bahwa Islam itu mudah. Ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan hadis. Cukup seperti itu saja.
Ibadah dalam Islam Tidak Membebani
Allah tidak membebani seorang hamba melainkan sebatas kemampuannya. Contohnya shalat 5 waktu. Kewajiban ini paling afdhal dilaksanakan awal waktu di masjid secara berjamaah. Jika tidak, ada solusi mengerjakannya di rumah secara munfarid. Jika tidak bisa berdiri, bisa dilaksanakan dengan duduk, berbaring dan bahkan hanya dengan mengerdipkan mata saja. Semua tahapan ini adalah rukhshah (dispensasi) bagi umat Islam.
Apalagi di masa pandemi, ada rukhshah-rukhsah yang sebelumnya belum pernah dikerjakan semisal shalat Jumat yang boleh diganti dengan shalat dhuhur di rumah, para tenaga medis diperkenankan tayamum saat akan mengerjakan shalat, penggunaan masker saat shalat dan masih banyak lagi perubahan pola ibadah sejak pandemi Covid-19 menyerbu dunia.
Sebab tujuan sebenarnya dari shalat bukan untuk membebani, namun kelapangan dalam hidup menerima Islam. Sebagaimana Nabi bersabda: “Engkau akan menemukan orang mukmin yang dadanya dilapangkan Allah untuk menampung Islam. Ia shalat dengan nyaman, tenang, lapang dada dan penuh kecintaan pada shalat....”
Begitupula dengan kewajiban lain seperti puasa di bulan Ramadhan. Mereka yang lahir di keluarga muslim akan dilatih sejak kecil. Mulai puasa Manuk Podang yaitu ikut sahur tapi pagi-pagi sarapan, puasa Bedug yaitu ikut sahur, makan saat dhuhur tiba dan turut berbuka puasa saat adzan maghrib berkumandang dan puasa Godhong Pring (isuk-siuk nyonggo piring) yaitu pagi-pagi sudah membawa piring untuk makan. Puasa-puasa ini dilakukan sebagai stimulan agar mereka kuat berpuasa saat sudah baligh.
Bagi yang sadar akan kewajiban puasa saat sudah dewasa dan ingin berlatih puasa seperti ini juga diperbolehkan. Khususnya mereka yang muallaf. Puasa merupakan kewajiban yang berat karena harus menahan lapar dan dahaga mulai shubuh hingga maghrib. Kurang lebih 14 jam di Indonesia.
Dengan latihan-latihan semacam ini, mereka yang telah terbuka hatinya dan mendapatkan hidayah Islam agar tidak merasa keberatan dalam mengerjakan kewajiban-kewajiban ini.
Dalam suatu perjalanan, Rasulullah pernah menegur orang yang berpuasa namun dikasihani orang-orang di sekelilingnya. Ketika itu, Rasulullah sedang melakukan perjalanan. Beliau menyaksikan orang-orang ramai mengerumuni seorang lelaki yang dipayungi. Kemudian ia bersabda: “Ada apa ini?” Mereka menjawab: “Dia sedang berpuasa.” Beliau kemudian bersabda: “Tidak baik berpuasa dalam perjalanan (yang menyulitkan).”
Shalat dan puasa merupakan ibadah rutin. Keduanya menjadi laku masyarakat muslim dan membentuk tradisi keberagamaan. Rutinitas ini yang terkadang dijadikan teropong untuk melihat baik dan tidaknya seorang muslim. Di mana ada beberapa minoritas yang tidak tercover dalam bingkai rutinitas ini. Padahal sejatinya Islam berorientasi pada kemudahan dan kesederhanaan, baik dalam berfikir, berperilaku maupun dalam beribadah. Wallâhu A’lam.
Mengenyam pendidikan agama di Ta'mirul Islam Surakarta dan Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai pengajar di Fakultas Syariah IAIN Salatiga dan Guru Agama di SMAN 1 Parakan Temanggung.
Baca Juga
Adakah dusta yang tidak berdosa?
23 Nov 2024