Artikel
Catatan Kecil Seputar Islamisasi Pengetahuan
Jika benar yang dimaksud oleh Syed Naquib al-Attas dari Islamisasi Pengetahuan adalah apa yang selama ini dipahami kebanyakan orang di sini, bahwa ilmu-ilmu “sekuler” perlu diislamkan, di mana cara praksisnya adalah ditambahkan Islamic Worldview, kemudian dicangkokkan label Islam di belakangnya seperti ekonomis Islam, kedokteran Islam, akuntansi Islam, dan seterusnya, maka saya pribadi tidak yakin maksud beliau demikian, melihat rekam jejak kealiman beliau.
Namun jika benar maksudnya seperti di atas, maka saya ingin mengatakan, bahwa hal ini salah kaprah secara metodologis. Pandangan seperti ini tak berangkat dari kedalaman epistemologi ilmu yang kuat.
Apa sebabnya? Karena sebuah kaedah yang disepakati semua ilmuwan Islam di semua kitab-kitab muktamad menyatakan bahwa:
تختلف العلوم باختلاف الموضوعات
“Ilmu menjadi berbeda karena perbedaan topiknya.”
الموضوع هو ما يبحث في العلم عن أحواله الذاتية
“Topik adalah keadaan-keadaan esensial yang dibahas dalam suatu ilmu.”
Simpelnya, hal yang membedakan satu ilmu dari ilmu-ilmu lainnya adalah karena topik yang dibicarakan kedua ilmu itu berbeda. Jika topiknya sama, dua hal itu bukan dua ilmu yang berbeda. Bisa jadi berbeda beberapa pembahasannya, tapi perbedaannya bukan hal esensial sehingga tak mencapai level menjadi ilmu mandiri.
Saya pribadi sedikit memahami, bahwa yang digadang-gadang orang sebagai Islamisasi Pengetahuan, kemudian menyodorkan ilmu-ilmu semacam Ekonomi Islam, Kedokteran Islam dan seterusnya, itu hanya marketing saja. Agar orang-orang tertarik mempelajarinya, maka disematkanlah label yang berbeda. Masalahnya, beberapa kalangan akademis meyakini betul bahwa Ekonomi dan Ekonomi Islam, misalnya, itu dua ilmu berbeda yang saling mandiri. Dan ini kecelakaan metodologis bagi saya.
Beberapa tahun yang lalu, Darul Ifta’ al-Mishriyyah menyelenggarakan seminar seputar perbankan. Di sana, para alim ulama dari Lembaga Fatwa Mesir itu menyebut dengan jelas, bahwa tidak ada yang namanya Ekonomi Islam. Yang ada adalah ilmu ekonomi dan fikih. Namun tak ada Ekonomi Islam. Alasannya seperti yang saya sebutkan di atas.
Jika beberapa kawan tak sepakat dengan keterangan saya ini, coba sekarang sodorkan kepada saya kurikulum ekonomi Islam yang diajarkan di kampus dan universitas. Kita bandingkan, sejauh mana pembahasan itu berbeda dibanding ekonomi konvensional pada umumnya. Saya yakin tak ada perbedaan esensial. Hanya penambahan satu dua bab, perubahan beberapa nama istilah dengan maksud dan mekanisme yang sama.
Suatu ketika saya menghadiri seminar Komisaris Bank Panin yang diselenggarakan di KBRI Kairo Mesir. Beliau juga penasehat BMT Sidogiri. Beliau yang pakar ilmu ekonomi itu dengan jelas mengatakan, bahwa ekonomi Islam yang diajarkan di kampus-kampus adalah ekonomi itu sendiri. Letak perbedaan, kebanyakan ada di nama istilah saja. Tapi mekanisme, core idea dan prakteknya sama.
Ini salah satu contoh saja, tentang ilmu yang dianggap sebagai ilmu baru bercorak islamisasi pengetahuan.
Intinya, jika itu hanya strategi marketing agar orang mempelajari beberapa hukum syariah terkait ekonomi, saya setuju. Tapi menganggap bahwa ada dua ilmu yang berbeda secara epistemologis hanya dengan salah satunya berlabel Islam, maka jelas saya keberatan.
“Dan ilmu itu sebenarnya tak berkelamin agama.”
Nama lengkapnya Muhammad Nora Burhanuddin, Lc. MA. Seorang cendekiawan muda muslim lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Selain disibukkan mengajar dan mengisi seminar, juga menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah PCINU Mesir.
Baca Juga
Wibawa Nabi melebihi ketampanannya
02 Oct 2024