Buku
Daftar kitab yang tidak selesai ditulis kemudian disempurnakan orang lain
Proses penulisan kitab atau sebuah karya memang tidaklah mudah. Butuh proses dan perjuangan panjang untuk dapat menuangkan segala ide dan kajian yang hendak ditulis. Proses itu tak jarang memakan waktu yang tidak sebentar.
Sebagian ulama ada yang menghabiskan bertahun-tahun hanya untuk menuliskan sebuah karya. Bahkan tak sedikit ulama yang belum sempat menuntaskan karyanya, akan tetapi sudah dijemput ajal. Karya setengah jalan itu, mau tidak mau tidak terurus. Sebagian ulama yang hidup setelahnya, ada yang kemudian berinisiatif untuk melanjutkan.
Berikut penulis kumpulkan beberapa kitab yang tidak selesai ditulis oleh penulis asalnya lantas dilanjutkan proses penulisannya oleh ulama setelahnya.
1. Majmu’ Syarh Muhadzab
Kitab al-Majmu’ Syarah Muhadzab ini merupakan salah satu karya monumental Imam An-Nawawi (w. 676 H). Kitab ini merupakan karya penting dan induk dalam khazanah mazhab Syafi’i. Kitab al-Majmu’ merupakan syarah atau penjelasan dari kitab al-Muhadzab karangan Imam al-Syirazi (w. 476 H).
Imam Nawawi menulis kitab ini dengan tekun dan penuh totalitas. Kajian yang ditulis oleh an-Nawawi begitu lengkap dan komprehensif. Bisa dibilang ketika seorang ingin mengetahui ensiklopedi hukum fikih syafii era klasik yang paling lengkap, maka al-Majmu’ Syarh Muhadzab ini adalah jawaban yang paling tepat. Bahkan Al-Isnawi dan Ibnu Al-Mulaqqin berkata:
ليته أكمله، وانخرمت باقي كتبه
“Andai saja beliau menyelesaikannya, dan (tidak masalah) lenyap semua kitab-kitab beliau yang lain.”
Akan tetapi sangat disayangkan, sebelum rampung menulisnya, An-Nawawi menjemput ajal terlebih dahulu. Sebenarnya sebelum meninggal An-Nawawi sudah berpesan kepada salah seorang muridnya Ibnul Athar jika kelak ia meninggal agar menyelesaikan kitab Majmu’ yang sedang ia tulis. Akan tetapi Ibnu Athar ternyata tidak sanggup menyelesaikan.
Baru sekitar satu abad setelahnya, kitab Majmu’ diteruskan oleh Taqiyuddin Al-Subki. Imam Subki memulai lanjutan kitab Majmu’; dari Bab Buyu’ (Akad Jual Beli). Imam Subki pun tidak bisa meneruskan banyak. Ia hanya menulis sekitar dua jilid lanjutan dari al-Majmu’. Setelah itu tak ada lagi ulama yang berani untuk meneruskan karya monumental Imam An-Nawawi tersebut.
Baru pada paruh abad ke-20 masehi, kitab tersebut kemudian dilanjutkan kembali proses penulisannya oleh Syekh Muhammad Najib al-Muthi’i (w. 1407 H) salah seorang ulama asal Mesir. Sehingga total kitab Majmu’ Syarah Muhadzab ditulis oleh tiga ulama’. An-Nawawi, Taqiyuddin As-Subki dan al-Muthi’i, akan tetapi tetap An-Nawawilah yang menulis paling banyak.
2. Tafsir Jalalain
Kitab ini mungkin sudah tidak akan asing lagi di telinga orang-orang pesantren. Karena memang kitab ini seakan merupakan standar wajib bagi santri yang ingin mengkaji kajian tafsir. Bahkan bisa dipastikan, di semua pesantren di nusantara tampaknya kitab tafsir yang satu ini pasti dikaji dan diajarkan.
Nama Jalalain dalam judul kitab tersebut merupakan representasi dari dua orang ulama yang menulis kitab ini. Jalal artinya adalah mulia sedangkan jalalain sendiri merupakan bentuk tasniyah (menunjukkan arti dua). Iya, memang kitab ini ditulis oleh dua ulama berbeda yang sama-sama memiliki gelar Jalaluddin. yang pertama adalah Imam Muhammad bin Ahmad Jalaluddin al-Mahalli dan yang kedua adalah Imam Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi. Oleh sebab itu kitab ini lebih sering disebut dengan sebutan Tafsir jalalain.
Imam Muhammad bin Ahmad al-Mahalli sendiri merupakan guru dari Imam Suyuthi. Keduanya merupakan sosok ulama besar pada masanya.
Dalam proses penulisan awal, Al-Mahalli sendiri tergolong mempunyai cara yang unik. Ia tidak menulis kitab tafsir tersebut mulai surat al-Fatihah, kemudian al-Baqarah sebagaimana lazimnya kitab tafsir ditulis. Akan tetapi beliau memilih menulis dari Surat al-Kahfi hingga surat an-Nash dan al-Fatihah. Dalam metode penulisan sendiri Al-Mahalli juga memilih metode corak tafsir yang singkat, ringkas dan mudah dipahami oleh masyarakat, tidak terlalu banyak menulis keterangan.
Namun, setelah menulis separuh karya tafsirnya tersebut, beliau tidak sempat menyelesaikannya. Al-Mahalli wafat pada tahun 864 H.
Sepeninggal beliau, tidak ada yang berani meneruskan karya monumental tafsirnya tersebut. Ulama-ulama besar sezamannya pun tidak ada satupun yang berani meneruskannya.
Hingga pada Ramadhan tahun 870 H, salah seorang muridnya bernama Jalaluddin As-Suyuthi memberanikan diri untuk menyempurnakan mahakarya sang guru. Imam Suyuthi sendiri pada waktu itu terbilang masih sangat belia, umur 21 tahun. Akan tetapi karena kecakapan dan kedalaman ilmu yang dimiliki, Imam Suyuthi menyelesaikan mahakarya sang guru. Ajaibnya karya tersebut dapat Imam Suyuthi selesaikan hanya dalam hitungan 40 hari saja. Hebatnya lagi pola penulisan dan corak tafsir dari Imam Suyuthi sangatlah mirip dengan apa yang ditulis al-Mahalli.
Hingga kini kitab Tafsir Jalalain juga masih terus dikaji dan disyarah. Tercatat beberapa syarh yang menjelaskan dan mengupas isi Tafsir Jalalain adalah al-Futuhat al-Ilahiyah karangan Syaikh Sulaiman Jamal, kemudian ada Hasyiyah Shawi yang ditulis oleh Syekh Ahmad bin Muhammad As-Shawi al-Maliki.
3. Anwar al-Afkar fi Man Dakhala Jazirah al-Andalus Min al-Abrar
Adalah Ibnu Shaqr al-Anshari yang menulis kitab ini. Bernama lengkap Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Shaqr al-Anshary al-Khazraji (w. 569 H).
Menurut catatan Az-Zirkili dalam al-A’lam ia merupakan salah seorang ulama yang disegani di Andalusia. Ia juga dikenal sebagai Qadhi Andalus yang bermazhab Maliki. Ia sering berpindah tempat tinggal. Ia lahir di kota Almeria, kemudian berpindah di Granada. Nenek moyangnya sendiri sebenarnya berasal dari Zaragoza Spanyol. Dia sempat berpindah dan mengajar di Maroko. Di sana ia juga termasuk sosok yang mempengaruhi pemikiran filsuf muslim, Ibnu Thufail yang notabene juga merupakan muridnya.
Kitab al-Anwar al-Afkar fi Man Dakhala Jazirah al-Andalus Min al-Abrar sendiri merupakan salah satu karyanya di bidang tarajim atau historiografi Islam di Andalusia. Namun karya tersebut belum sampai sempurna, ia terlebih dahulu meninggal dunia. Kitab tersebut kemudian diteruskan oleh salah seorang putranya bernama Abdullah.
4. Al-Dalail fi Syarhi Ma Aghfalahu Abu Ubaid wa Ibnu Qutaybah min Gharib al-Hadits
Jika dibandingkan tiga kitab sebelumnya, proses penyelesaian karya ini terbilang cukup unik. Karena kitab ini justru dengan pola sebaliknya. Tidak kitab karya guru kemudian disempurnakan oleh murid. Tidak juga kitab ayah yang kemudian dipungkasi oleh anaknya. Kitab ini justru merupakan kitab yang dimulai proses penulisannya oleh anak. Kemudian karena sang anak menjemput ajalnya terlebih dahulu, kitab tersebut kemudian diambil alih oleh sang ayah untuk dituntaskan.
Sang ayah bernama Tsabit bin Hazm (w. 313 H) sedangkan anaknya bernama Qasim bin Tsabit bin Hazm (w. 302 H). Keduanya merupakan dua sosok ahli hadis di Andalus, tepatnya di daerah Saraqust atau sekarang lebih dikenal dengan nama Zaragoza. Ad-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’ bahkan menyebut Tsabit bin Hazm dengan gelar al-Hafidz. Sebuah sematan kehormatan untuk seorang pakar hadits yang telah menghafalkan ratusan ribu hadits. Ia tercatat juga merupakan murid dari Imam an-Nasa’i, pemilik kitab kompilasi hadis masyhur Sunan An-Nasa’i.
Keduanya, baik ayah ataupun anak merupakan dua sosok yang sangat kompak dalam ilmu. Mulai kecil hingga beranjak dewasa, Qosim selalu diajak untuk berkelana mencari serta menyebarkan ilmu hadis. Karena hubungan ilmiah yang intim tersebut tak heran jika Qosim sudah mewarisi DNA kecerdasan dan kealiman sang ayah sejak kecil. Tidak hanya itu, keduanya konon dipercaya merupakan sosok yang pertama kali membawa Mu’jam al-Ain—sebuah kitab kamus bahasa Arab karangan Khalil bin Ahmad al-Farahidi—di tanah Andalusia.
Kitab Al-Dalail fi Syarhi Ma Aghfalahu Abu Ubaid wa Ibnu Qutaybah min Gharib al-Hadits pada mulanya ditulis dan diinisiasi idenya oleh sang anak; yakni Qasim. Kitab tersebut berisi kumpulan hadis-hadis yang tidak disebut oleh Ibnu Qutaibah dan Abu Ubaid dalam kitabnya.
Akan tetapi belum sempat kitab tersebut terselesaikan, ajal Qasim sudah menjemput lebih cepat. Qasim meninggal di usia yang masih belia pada tahun 302 H. Akhirnya kitab tersebut disempurnakan dan diselesaikan oleh sang ayah.
Santri, Pustakawan Perpustakaan Langitan, suka menggeluti naskah-naskah klasik.