Artikel
Dinamika Normalisasi Arab Saudi-Israel dan Pudarnya Harapan Kemerdekaan Bangsa Palestina
Dinamika Normalisasi Arab Saudi-Israel dan Pudarnya Harapan Kemerdekaan Bangsa Palestina
Pada tanggal 20 September 2024, NU Online mengunggah sebuah video di akun instagram miliknya. Video tersebut menampilkan cuplikan kalimat Putra Mahkota Mohamed Bin Salman (MBS) yang menolak usulan normalisasi hubungan dengan Israel, kecuali dengan syarat adanya pengakuan kemerdekaan Palestina. Netizen memberikan reaksi beragam di kolom komentar. Ada yang menilainya sebagai sandiwara belaka. Ada juga yang berharap langkah ini menjadi bukti nyata untuk nasib rakyat Palestina.
Sebenarnya, rencana normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel sudah diusahakan Amerika sejak Juli lalu. Tanggapan Arab Saudi dua bulan lalu tidak berbeda dengan sekarang, seperti diberitakan VOV (07/02/2024). Sementara itu Kompas.id mengutip laporan The New York Times dan The Wall Street Journal meberitakan bahwa, selain menetapkan syarat terkait Palestina, Arab saudi juga menambahkan sejumlah sejumlah syarat lain terkait kekuatan regionalnya, seperti akses teknologi nuklir, izin pembelian senjata tercanggih AS, hingga teknologi mutakhir.
Sebelum isu normalisasi Arab-Israel mencuat, ada tiga perjanjian damai yang ditengahi oleh tiga presiden AS: Jimmy Carter melalui perjanjian Camp David antara Mesir-Israel tahun 1978, Bill Clinton lewat perjanjian Oslo antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO)-Israel tahun 1993, dan Donald Trump dengan Abraham Accords antara Uni Emirat Arab dan Bahrain—disusul Maroko dan Sudan—dengan Israel tahun 2020.
Dari tiga perjanjian damai tersebut, fakta lapangan tidak membuktikan implikasi nyata bagi Bangsa Palestina. Hingga hari ini Palestina masih belum menjadi negara merdeka. Kita masih menerima laporan tentang warga Palestina yang menjadi korban kekejaman tentara zionis. Tentara zionis selalu berkelah bahwa yang mereka targetkan adalah kelompok Hamas. Padahal, fakta menyebutkan hal yang sebaliknya. Perjanjian damai tersebut hanya menjadi menguntungkan kepentingan regional Negara masing-masing.
Keuntungan Normalisasi Bagi Israel
Hubungan formal dengan negara penjaga dua kota suci (Mekkah dan Madinah) tentu memberi keuntungan tersendiri bagi Israel. Selama ini Arab Saudi selalu dipandang sebagai salah satu sentral kekuatan negara muslim -khususnya wilayah Timur Tengah. Jika usaha normalisasi ini berhasil maka bukan hal mustahil bagi Negara-Negara Arab, khususnya, dan neagara muslim, umumnya, untuk membuka hubungan diplomatik yang resmi dengan Israel.
Terlebih pengaruh Arab Saudi pada peta politik Timur Tengah yang sudah seperti Bapak bagi Negara-Negara Arab lainnya. Arab Saudi dalam beberapa tahun lalu sudah mendoktrin negara-negara tetangganya dengan jargon persatuan: kita adalah satu (bahasa) dan satu kekuatan. Mungkin kita juga masih bisa mengingat memori 2017 saat Arab Saudi membolkade Qatar yang diikuti hampir semua Negara Arab. Arab Saudi hadir bak pelindung bagi Negara Arab Timur Tengah. Dia sudah seperti pahlawan yang menyatukan visi-misi di tengah kelompok yang masih tercerai berai.
Dilihat dari peta politik kawasan, normalisasi ini akan sangat menguntungkan Israel dalam melumpuhkan Iran sebagai musuh bebuyutan mereka. Artinya, normalisasi akan menjadikan Israel sebagai koalisi terbaik bagi Negara Timur Tengah, sedangkan Iran yang notabenenya negara muslim akan dipersepsikan sebagai ancaman stabilitas politik kawasan. Sejak munculnya peristiwa Arab Spring Iran sendiri sudah dipersepsikan sebagai ancaman karena peranannya dalam mendukung gerakan oposisi di beberapa Negara Timur Tengah. Namun, persepsi ini sempat redup dengan normalisasi Arab Saudi dan Iran yang ditengahi China beberapa waktu lalu.
Normalisasi dan Dampaknya Bagi Perjuangan Bangsa Palestina
Di satu sisi, normalisasi dengan persyaratan terkait Palestina terlihat menjadi angin segar bagi nasib perjuangan Bangsa Palestina. Sebab, adanya persyaratan tersebut menandakan perhatian Arab saudi dengan masa depan Bangsa Palestina. Tetapi, di sisi yang berbeda normalisasi ini -tanpa disadari- bisa menjadi media untuk mengaburkan suara rakyat Plaestina.
Arab Saudi bukan negara pertama yang mengajukan syarat pengakuan Palestina sebagai negara merdeka dalam menerima rencana normalisasi diplomatik dengan Israel. Pada tahun 2020 Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain sudah lebih dahulu melakukan normalisasi dengan syarat yang sama. Tetapi, konsistensi UEA-Bahrain perlu dipertanyakan saat terjadi penyerangan Masjid Al-Aqsa. Persyaratan yang diajukan UEA-Bahrain faktanya tidak berdampak positif untuk keamanan dan stabilitas Palestina. UEA-Bahrain juga tidak terlalu vokal menyuarakan kemanusiaan saat terjadi genosida tentara pendudukan Israel terhadap rakyat Palestina.
Tentunya, jika normalisasi ini sampai terealisasi, kita patut bertanya kepada Timur Tengah tentang nasib Bangsa Palestina ke depan. Agar persyaratan terkait Palestina tidak hanya menjadi stimulus untuk kepentingan nasional mereka. Alih-alih memperjuangkan nasib Bangsa Palestina, yang terjadi justru menambah penderitaan Palestina. Sedangkan negara-negara terkait mendapat jaminan keamanan regional dan kepentingan nasional mereka.
Normalisasi yang merubah Israel dari lawan menjadi kawan juga bisa memberi dampak lebih ekstrim di masa depan bagi Bangsa Palestina. Isu Palestina pada akhirnya hanya dianggap sebagai isu sektoral; bukan menjadi prioritas mereka. Semua tindakan ilegal Israel, karena sudah dianggap kawan dekat, terhadap rakyat Palestina hanya dipandang sebagai konflik internal. Lebih jauh ke depan, keputusan normalisasi meniscayakan distorsi sejarah yang mengubah identitas Israel dari tokoh berwajah antagonis menjadi protagonis.
Melihat peta politik Timur Tengah sekarang Negara-Neagara Arab terlihat terpolarisasi -setidaknya- menjadi tiga poros: pro Amerika yang direpresentasikan Bahrain, Mesir, Yordania, Maroko dan UEA; poros kontra hegemoni Amerika yang direpresentasikan Suriah, Hizbullah-Lebanon, Irak, dan Houthi-Yaman; dan poros kritis terhadap hegemoni Amerika yang direpresentasikan Qatar. Terlepas dari intrik kepentingan regional atau ideologi sekterian, faktanya yang paling vokal dalam menyuarakan kemanusiaan bagi Bangsa Palestina adalah poros kontra Amerika.
Terwujudnya normalisasi diplomatik antara Negara Arab dan Israel akan menambah daftar faktor polarisasi yang lebih kompleks lagi. Sebab konflik antara Neagara Arab yang pro dan kontra Amerika pada akhirnya akan menambahkan faktor ideologi sekterian (syiah-sunni) yang masih subjektif ke dalam ruang konflik. Kondisi ini bukan hanya menyulitkan Bangsa Arab untuk memulihkan kondisi kawasan. Dalam konteks yang lebih luas, faktor ideologi sekterian bisa berimbas terjadinya perpecahan di seluruh dunia Islam, memandang pengikut dua sekte tersebut tersebar tidak hanya di kawasan Timur Tengah.
Polarisasi ini, pada akhirnya, tidak hanya melemahkan persatuan Bangsa Arab, persaudaraan umat Islam pada skala internasional akan terhempas angin perpecahan. Jika kondisi ini terwujud ke pemukaan Israel akan lebih leluasa melakukan aksinya untuk merampas hak rakyat Palestina. Umat Islam -dalam skala internasional- yang notabenenya saudara seiman dengan mayoritas Bangsa Palestina akan melupakan penindasan ini karena fokus dengan konflik internal mereka. Suara kemanusiaan untuk rakyat Palestina -secara lebih umum- akan berkurang dan mungkin bisa hilang.
Alhasil, penting bagi Negara-Negara Arab dalam mempertimbangkan rencana normalisasi dengan Israel. Perlu strategi politik yang matang untuk membendung hegemoni Amerika-Israel agar Negara Timur Tengah tidak tercerai di masa mendatang, dan agar Palestina yang sering dijadikan isu sentral dalam fenomena normalisasi benar-benar merasakan dampak nyata.
Santri asal Cirebon. Penikmat kopi, kebijaksanaan, dan Syair Arab. Dapat dihubungi melalui IG: @hadi_abd.fattah
Baca Juga
Wibawa Nabi melebihi ketampanannya
02 Oct 2024