Artikel

Potret sederhana epistemologi ilmu kalam sebagai pengetahuan ilmiah

23 Oct 2024 04:00 WIB
123
.
Potret sederhana epistemologi ilmu kalam sebagai pengetahuan ilmiah Kitab Syarh al-Mawawqif karya Sayyid Syarif al-Jurjani; salah satu referensi imu kalam

Islam bukanlah agama doktrin yang harus diterima tanpa sikap kritis. Islam adalah agama ilmu dan amal yang mendorong penganutnya berpikir analitis dalam menyikapi pernyataan dan keyakinan. Terdapat banyak ayat Al-Qur’an yang mendorong umat Islam untuk merenung dan berpikir analisis-kritis untuk memahami semesta. Salah satunya termaktub dalam surat Ali Imran: 190-191:

إن في خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب (190) الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السماوات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا.....

“Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam, terdapat tanda-tanda (kebesaranTuhan) bagi yang berpikir. Yaitu mereka yang mengingat Allah dalam keadaan duduk, berdiri, dan berbaring, dan memikirkan penciptaan langit dan bumi (mereka berkata) Tuhanku engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia”.

Dalam salah satu tafsir konvensional disebutkan bahwa yang dimaksud ulul albāb adalah orang-orang yang menggunakan akal sehatnya (untuk mencari kebenaran). Jika ulul albāb adalah orang yang menggunakan akal sehatnya maka tidak mungkin Al-Qur’an mengklaim ketuhanan Allah yang Esa hanya dengan doktrin. Terbukti ada beberapa ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang ketuhanan secara argumentatif; bukan narasi dan doktrin semata. Ayat-ayat ini seringkali muncul dalam konteks membantah klaim ketuhanan selain Allah. Salah satunya adalah yang terdapat di dalam surat Al-Anbiya: 22:

لو كان فيهما ألهة إلا الله لفسدتا

“Jika di bumi dan langit terdapat Tuhan selain Allah niscaya langit dan bumi akan hancur”

Ayat ini secara tidak langsung mengajak kita untuk berpikir kritis tentang keteraturan alam semesta, sesuatu yang teratur tidak mungkin terjadi secara tiba-tiba, pasti sudah ada yang merencanakan dan mengendalikan. Selanjutnya, jika yang mengendalikan adalah dua Tuhan maka akan membawa kehancuran. Sebab dualisme pengatur meniscayakan kontradiksi ide antara keduanya. Jika keduanya sepakat membagi wilayah yang perlu diatur -untuk menghindari persengketaan, maka hal itu menandakan bahwa keduanya tidak mampu mengatur semesta secara independen. Sedangkan poros ketuhanan adalah tidak membutuhkan yang lain. Artinya, Tuhan tidak butuh yang lain untuk mengatur semesta yang kompleks ini. Sebab, hal itu menandakan Tuhan tidak punya kuasa absolut, keadaan tersebut sama saja dengan manusia yang kemampuannya terbatas.

Dari introduksi di atas tidak aneh jika para ulama tradisional melihat bahwa Islam adalah agama yang berbasis ilmu. Tulisan ini hanya ingin menyajikan potret kecil tentang ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang memiliki batas-batas pengetahuan (epistemologi) di mana hal ini menandakan bahwa ilmu tersebut layak untuk dipelajari.

Ilmu sendiri dalam tradisi intelektual Islam dipahami sebagai nilai tertinggi dalam menemukan realitas. Sebagian ulama klasik secara spesifik menggambarkan ilmu sebagai sifat yang menjadikan pelakunya (‘alim) mampu menangkap makna-makna universal yang ril (sesuai kenyataan). Sifat ilmu yang “sesuai ril” pada gilirannya mengeliminasi dzan (dugaan), syak (keraguan), dan wahm (ilusi).

Sebelum membahas lebih jauh kita patut bertanya kenapa ulama tradisional menekankan ilmu dalam wilayah faktual, dan menolak dugaan menjadi salah satu bagian ilmu? Jawabannya tentu kembali kepada Al-Qur’an. Sumber primer umat Islam inilah yang mendorong umat Islam untuk menolak dugaan sebagai bagian dari apa yang disebut ilmu. Dalam surat Yunus: 36, Allah berfirman:

.....إن الظن لا يغني من الحق شيأ

.....sesungguhnya dugaan tidak mengandung satupun kebenaran”

Ayat di atas secara tidak langsung melarang kita untuk mengikuti semua gagasan yang hanya dibangun dengan dugaan. Kata “syai`an” pada ayat tersebut tidak mengecualikan agama itu sendiri. Artinya, menerima agama sebagai keyakinan juga harus dibangun dengan argumen-argumen yang ketat dan akurat; bukan hanya dogma semata. Oleh karena itu tidak sedikit ulama kalam yang menyatakan bahwa beriman dengan cara taklid (mengikuti orang lain tanpa tau argumennya) tidak sah. Oleh karenanya iman di dalam literatur kala klasik ditafsiri sebagai pengetahuan tentang hakikat kebenaran yang dilandasi argumen-ergumen yang dipertanggung jawabkan.

Di dalam tradisi Islam sendiri ulama membedakan antara pengetahuan tentang nilai universal (‘ilmu) dan pengetahuan indrawi (idrak). Pembedaan tersebut guna memudahkan pelacakan sumber asal pengetahuan. Seperti yang dijelaskan Shadruddin asy-Syirazi dalam Dhawâbiṭ al-Ma’rifah al-Musmmâh Syarh Hidâyah al-Ḥikmah bahwa, poros ilmu (‘ilmu) adalah makna universal yang ditangkap oleh akal, sedangkan poros fakta (idrāk) adalah indra pengetahuan (iḥsâs). (Asy-Syairazi, 2008, hal. 139).  Sederhananya, ketika kita mengetahui bentuk tubuh orang lain yang penuh dengan materi fisik maka pengetahuan tersebut disebut idrāk, namun jika kita mampu mengrtahui bahwa yang terbalut di dalam fisik tersebut adalah mahluk hidup yang mampu berpikir maka pengetahuan ini disebut sebagai ‘ilmu.

Studi tentang pengetahuan yang disebut juga dengan nazhariyyāh al-ma’rifah (epistemologi) dalam tradisi keilmuan Islam sudah sangat masyhur. Di dalam literatur ilmu kalam versi nonarab (tharīqah al’ajam) biasanya studi epistemologi akan diletakkan pada pembahasan paling awal sebelum studi ontologi (alwujūd) dan metafisika umum (mencakup umūrul ‘âmmah dan al-maqūlāt).  Setelah selesai dari kajian epistemologi dan metafisik umum, kajian akan masuk pada inti objek ilmu kalam, yakni Allah, sifat-sifat-Nya, kenabian, dan informasi di luar nalar (al-ghaibiyyāt) seperti surga dan neraka. Kerangka susunan pembahasan tersebut didasari oleh kesadaran ulama klasik akan pentingnya batas-batas pengetahuan. Dengan hadirnya kajian tersebut ulama klasik ingin menunjukkan bahwa pengetahuan Islam bukan sebuah doktrin atau mitos yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Melainkan sebuah kerja intelektual dalam menemukan realitas kebenaran.

Ilmu Kalam dan Dinamika Metode Pengetahuan

Sebagai sebuah disiplin ilmu yang memiliki epistemologi, ilmu kalam tidak lahir dari ruang kosong. Melihat objek ilmu kalam yang kental dengan rasio dan wahyu pada dasarnya ilmu kalam berkembang sesuai penalaran logis yang tidak bertabrakan dengan wahyu. Hal ini berbeda dengan filsafat yang menekankan rasionalitas dalam segala lini. Meski begitu, interaksi budaya juga memiliki pengaruh dalam ilmu kalam. Sebelum masyarakat muslim klasik memiliki kontak dengan budaya Yunani kuno  para pakar kalam memiliki beragam metode untuk memperoleh pengetahuan dalam bidang akidah dan metafisika, diantaranya adalah dengan menggunakan prinsip logika alluzūm (relasi logis), qiyās asy-syāhid ‘alal ghā`ib (analogi dimensi fisik terhadap metafisik), as-sabr wa at-taqsīm (pembagian dan eliminasi), intifā` al-madlūl bin tifā` ad-dalīl (invalidnya pernyataan sebab invalidnya dalil).

 

Setelah adanya kontak budaya antara Islam dan Yunani kuno para pakar kalam -khususnya mulai era Al-Ghazali- mulai mengoreksi metode-metode lama dan menggantinya dengan logika deduktif (ilmu mantik).  Perlu digaris bawahi bahwa ilmu mantik tidak diterima dengan mentah oleh pakar ilmu kalam klasik. Mereka melakukan verifikasi terlebih dahulu hingga menjadikannya sebagai salah satu metode dalam mendapatkan pengetahuan kalam dan metafisik. Dimulai dari Al-Ghazali yang berusaha menghapus maklumat-maklumat keyakinan Yunani kuno yang terdapat di dalam ilmu mantik hingga Sayyid Syarif al-Jurjani dan Saduddin Taftazani yang menyempurnakan materi-materi ilmu mantik. Sehingga bisa disimpulkan bahwa, ilmu mantik yang dijadikan metodologi ilmu kalam adalah ilmu mantik hasil pengolahan logikawan muslim, bukan mantik yang masih murni hasil pikiran Aristoteles dan peradaban Yunani.  

Salah satu metode lama yang pernah dikoreksi oleh ulama kalam klasik adalah qiyās al-ghā`ib ‘alā asy-syāhid. Pada periode awal kodifikasi ilmu kalam metode ini diberlakukan tanpa kriteria, sederhananya metode ini belum mencapai fase kedewasaan sehingga masih memperlihatkan lemahnya konklusi. Generasi asy’ariyah selanjutnya -seperti Amidi dan Al-Ghazali- mengoreksi metode ini dengan berbagai argumen logis sehingga mencapai simpulan bahwa metode qiyās al-ghā`ib ‘ala asy-asyāhid dapat dijadikan pegangan dengan catatan ‘illah (indikator kesamaan) harus mu`atstsirah (efesien). Jika ‘illah tersebut masih sebatas asumsi -meski asumsi kuat- maka hasil dari qiyās al-gā`ib tidak dapat diterima.

Salah satu contoh kasusnya, dalam literatur asy’ariyah awal sifat sama’(Maha Mendengar), bashar (Maha Melihat), dan kalam (Maha Berbicara) masih dibangun dengan metode qiyās al-ghā`ib ‘alā asy-syāhid sebagai metode primernya. Generasi asy’ariyah berikutnya melihat masalah ini sangat problematis. Mereka berupaya merevisi bangunan awal hingga mencapai kesimpulan bahwa, argumen yang paling kuat dalam membangun tiga sifat tersebut adalah dalil naqli (teks wahyu), bukan logika yang dibangun dengan metode qiyās al-ghā`ib ‘alā asy-syāhid. Meski begitu literatur maturidi sudah sejak awal membangunnya dengan wahyu.

Logika induktif sempat manjadi salah satu metode yang diperagakan ulama klasik dalam mencari pengetahuan dalam disiplin ilmu kalam. Namun, Al-Ghazali membatalkan metode tersebut seetelah melihat dua kelemahan: pertama, karakter logika induktif dalam menarik kesimpulan umum dari kasus-kasus khusus bagi Al-Ghazali tidak bisa membawa simpulan yang meyakinkan karena masih membuka ruang anomali, kedua logika induktif yang dibangun dengan pengamatan alam fisik masih membuka ruang perbedaan dengan alam metafisik. Sebagai contoh kecil, salah satu hal yang dianggap sempurna bagi manusia adalah berkeluarga, tetapi hal itu justru menghancurkan ketuhanan. Artinya, yang sempurna di alam fisik belum tentu sempurna di alam meta fisik.

Integralisasi Rasio, Fakta Empirik, dan Wahyu

Secara umum, sumber pengetahuan di dalam tradisi intelektual Islam ada tiga: wahyu, rasio (akal), dan fakta indrawi (empirik). Islam mengakui semua sumber pengetahuan tanpa mendiskrisitkan salah satunya karena Al-Qur’an sendiri yang menafikan fakta perintah di luar kemampuan manusia (taklīf mā lā yuaq) seperti disampaikan di dalam Al-Baqarah:

لا يكلف الله نفسا إلا وسعها (البقرة: 286)

Memaksakan semua pengetahuan harus empirik sama saja dengan memerintahkan sesuatu di luar batas kemampuan manusia. Oleh sebab itu ulama klasik tidak menolak fakta atau rasio, mereka berusaha untuk menggabungkan antara ketiganya. Di mata ulama klasik masing-masing sumber pengetahuan memiliki perannya tersendiri, dan tidak boleh saling intervensi. Di dalam ilmu kalam sendiri data empirik masih dibutuhkan di beberapa tempat, seperti digunakan untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Salah satu teori pembuktian keberadaan Tuhan yang masyhur di kalangan mutakallim awal adalah teori huduts (kebaruan)semesta.

Abul Hasan al-Asyari sendiri menggunakan teori ini dalam karyanya Alluma’. Tendensi pertama teori kebaruan adalah fakta-fakta indarwi yang menangkap benda-benda kosmik ada setelah tiada seperti manusia yang sebelumnya tiada kemudian dilahirkan dan ada. Fase kehidupan manusia; peremajaan ada setelah masa kekanakan, penuaan stelah peremajaan, dan hinnga akhirnya hilang ditelan takdir kematian. Fakta-fakta ini dipadukan dengan logika deduktif bahwa setiap yang baru pasti ada yang menciptakan.

Salah satu faktor yang mendorong lahirnya teori huduts sendiri adalah Al-Qur’an yang membicarakan kebaruan alam semesta di banyak tempat. Demikain ulama klasik berusaha memberikan peran kepada rasio, fakta, dan wahyu sesuai porsinya masing-masing. Wahyu sebagai motivator dan pendorong lahirnya pengetahuan, rasio bekerja menganlisa dan menyusun data-data faktual. Sedangkan logika menyusunnya sesuai arahan Al-Qur’an. Meski begitu ada beberapa masalah akidah yang tidak dapat digabungkan dengan fakta empirik dan logika. Ia murni dibangun dari teks keagamaan saja, seperti persoalan di luar nalar (al-ghaybiyyât) yang salah satunya membahas tentang keberadaan malaikat. Bagi ulama kalam kasus demikian tidak bisa dibagun dengan data-data faktual, namun hal ini merupakan sebuah pengetahuan yang bersumber dari teks keagamaan.

Teks keagamaan sendiri diyakini benar sebagai konsekuensi iman kepada Tuhan. Artinya, iman terhadap keberadaan Tuhan berarti iman kepada utusan-Nya dengan meyaksikan mukjizat secara langsung. Dan mukjizat adalah bagian dari peristiwa di luar kemampuan nalar manusia yang menandakan keberadaan zat yang lebih kuasa dalam melakukan sesuatu, dan hal itu berakibat iman kepada wahyu yang disampaikan utusan Tuhan. Sebuah hal yang problem jika meyakini Tuhan tapi menolak keberadaan utusan Tuhan yang didukung dengan mukjizat. Jadi, meski fakta empirik dan logika tidak menjadi sumber pengetahuan, namun keduanya masih punya andil di wilayah yang berbeda sebagai sumber pengetahuan permasalahan lain yang saling berhubungan.  

Sejatinya, kajian tentang epistemolohi ilmu kalam sebagai pengetahuan ilmiah tidak berhenti sampai di sini. Namun, tulisan singkat ini hanya ingin menyajikan potret ringan yang menggambarkan bahwa ilmu kalam merupakan ilmu yang layak dikatakan ilmiah sebab dibangun dengan sumber dan metode yang dapat dipertanggung jawabkan. Sekian.   

 

Daftar Pustaka:

Al-Asy’ari, Abul Hasan Ali, Al-Luma` fī ar-Radd ‘alā ahl az-Zaigh wa al-Bida’ (Kairo: Majlis Hukama al-Muslimin, 2022 M)

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhamad bin Muhamad bin Ahmad, Mi’yārul ‘Ilm, (Jeddah: Darul Minhaj, 2016 M).   

Al-Jurjani, As-sAyyid asy-Syarif Ali bin Muhammad, Syarh al-Mawāqif, dicetak dengan Matn al-Mawāqif karya Adhudhuddin Abdurrahman al-Iji, Hasyiyah Siyālkūtiy karya Abdul Hakim as-Siyalkouti, dan Hasyiyah al-Calabi karya Hasan al-Jalabi, (Kairo: Al-Maktabah al-Azhariyyah li al-Turats, 2011 M)

Ad-Dasuqi, Muhamad bin Ahmad bin Arafah, Hāsyiyah ad-Dasūqiy ‘alā Ummil barāhīn, (Kairo: Darul Bashair, 2009 M).

Asy-Syairazi, Shadruddin Muhammad, Dhawābit al-Ma’rifah al-Musammāh Syarh Hidāyah al-Hikmah, (Kairto: Maktabah ats-Tsaqafah ad-Diniyah, 2008 M)

 

Hadi Abdul Fattah
Hadi Abdul Fattah / 9 Artikel

Santri asal Cirebon. Penikmat kopi, kebijaksanaan, dan Syair Arab. Dapat dihubungi melalui IG: @hadi_abd.fattah

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: