Esai
Fakta unik Grand Syeikh Al-Azhar dan integrasi Persaudaraan Kemanusiaan
Prof. Ahmad Thayib, atau yang lebih dikenal sebagai Grand Syekh Al-Azhar saat ini, merupakan salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dan otoritatif hampir di seluruh dunia Islam. Apa pun yang diperankan dan diperintahkannya sering kali mendapatkan respon yang cukup baik di kalangan umat Islam.
Hal tersebut menyadarkan saya pada suatu ‘fakta unik’ yang saya dapatkan dari latar belakang Grand Syekh Al-Azhar yang satu ini. Tidak seperti pada umumnya, meskipun beliau berangkat dari latar belakang akademis ‘akidah-filsafat’, namun hal tersebut tidak berpengaruh sedikit pun atas otoritas keagamaan yang dimilikinya.
Saya katakan demikian karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat muslim yang masih ‘memandang sebelah mata’ terkait dengan seseorang yang menyandang latar belakang ‘akidah-filsafat’. Jika dilihat dalam konteks Indonesia, doktrin ‘jangan belajar ilmu kalam terlalu dalam’ masih sering dijumpai di beberapa pesantren.
Kurang-lebih, itu salah satu alasan saya memberikan diksi ‘fakta unik’ pada artikel ini.
Fakta unik yang kedua masih berkutat pada latar belakang yang dimilikinya. Meskipun ia berangkat dari latar belakang akademis yang ngakidah dan milsafat, akan tetapi hal itu tidak membuatnya ‘memaksa’ terhadap sesuatu yang dilihatnya sebagai sebuah kebenaran. Ini karena, jika kita telisik kembali literatur-literatur ilmu kalam dan filsafat, pergulatan akan kebenaran merupakan hal yang tak berkesudahan bagi mereka. Para teolog saling beradu argumen dengan para filosof. Bahkan antar sesama teolog sendiri pertikaian tersebut cukup sukar untuk dihindari, seperti para Asy’ariyan dan Shi’ah misalnya.
Nah, kepribadian Grand Syekh yang begitu damai ini, dengan besarnya otoritas keagamaan yang ia miliki, ‘seharusnya’ bisa saja ia gunakan untuk menyebarluaskan doktrin akidah Asy’ariah. Akan tetapi, alih-alih memaksakan umat Islam untuk mengamini apa yang ia yakini, Grand Syekh justru lebih senang merangkul semua umat Islam dari berbagai mazhab akidah, bahkan perannya dalam perdamaian antar umat beragama di dunia cukup signifikan.
Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa peran beliau yang kerap kali melakukan perjalanan ke luar negri untuk menyebarkan surat perdamaian (risalah salam).
Sebagai contohnya, pada tahun 2018, Grand Syekh Al-Azhar pergi ke Istana Kepresidenan di Lisbon untuk bertemu dengan Presiden Portugal, Profesor Marcelo Rebelo de Sousa, yang menekankan bahwa dunia sangat bergantung pada suara kebijaksanaan dan moderasi yang diwakili oleh Al-Azhar, dan mengapresiasi upaya yang dilakukan Grand Syekh ini untuk memantapkan prinsip dialog dan penerimaan terhadap orang lain.
Grand Syekh Al-Azhar juga menuju ke ibu kota Mauritania, Nouakchott, dan memulai perjalanannya ke Dewan Tertinggi Fatwa, di mana ia diterima oleh Menteri Urusan Islam, Ahmed bin Daoud, dan Syekh Muhammad Al-Mukhtar bin Ambala, Presiden Dewan Tertinggi Fatwa yang menegaskan bahwa masyarakat Mauritania bangga dengan otoritas Al-Azhar yang mereka miliki, karena kunjungan Yang Mulia Imam Besar merupakan episode perjuangan Al-Azhar melawan pemikiran ekstremis dan penyebaran nilai-nilai agama yang moderat.
Selain itu, Grand Syeikh juga pernah dijadwalkan untuk mengunjungi Inggris, di mana beliau diterima setibanya di Bandara Heathrow oleh Justin Welby, Uskup Agung Canterbury. Grand Syeikh mengawali kunjungannya dengan bertemu dengan Ratu Elizabeth II, Ratu Inggris , di Kastil Windsor yang bersejarah, di mana Grand Syekh membuka jendela dialog dengan semua orang untuk mengkonsolidasikan nilai-nilai perdamaian dan hidup berdampingan, sementara Ratu Inggris memperjelas bahwa dunia sangat bergantung pada pemimpin agama sepertinya untuk mempromosikan perdamaian dunia.
Setelah itu, Grand Syeikh berangkat ke Eropa, khususnya ke kota Bologna di Italia, untuk menghadiri konferensi “Agama, Budaya dan Dialog”, di mana Grand Syeikh menyampaikan pidato pada acara utama. Ia menekankan bahwa Al-Azhar mengajarkan siswanya nilai-nilai menghormati budaya masyarakat dan larangan menyerang mereka. Dan bahwa terorisme yang meneror orang yang tidak bersalah tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang beriman pada agama.
Setelah partisipasinya dalam konferensi tersebut, Grand Syeikh menuju ke ibu kota Italia, Roma, di mana ia bertemu dengan Presiden Italia, Sergio Mattarella yang menegaskan bahwa Imam Tayeb mewakili simbol besar dialog dan perdamaian di dunia, dan bahwa fotonya dengan Imam Besar Paus Vatikan memiliki pengaruh yang cukup besar, sementara Grand Syeikh mengakhiri kunjungannya ke Italia untuk bertemu dengan Paus Fransiskus, Paus Vatikan.
Paus mengungkapkan kebahagiaannya pada pertemuan persahabatan dengan “saudara dan sahabatnya”, yang mewujudkan teladan sebagai ulama yang toleran dan moderat, peduli terhadap permasalahan dan penderitaan masyarakat miskin, tertindas, dan terlantar. Hal tersebut mewakili hakikat ajaran agama yang diturunkan untuk kebaikan dan kebahagiaan umat manusia, serta mendorong mereka untuk mempunyai rasa kasih sayang dan simpati satu sama lain.
Hal inilah yang diupayakan oleh Grand Syeikh sebagai representasi Al-Azhar Al-Sharif, dengan bekerja sama dengan Gereja Katolik, gereja-gereja Barat dan Timur, lembaga keagamaan lainnya, guna menghidupkan kembali budaya dialog dan perkenalan antar pemeluk agama serta untuk mengkonsolidasikan prinsip perdamaian dan hidup berdampingan secara damai, hingga Paus Fransiskus menyampaikan kepada dunia dari Abu Dhabi pada tanggal 4 Februari 2019 terntang Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian dan Hidup Berdampingan di Dunia. Dokumen ini ditandatangani oleh Grand Syeikh Al-Azhar dan Paus Gereja Katolik.
Dokumen tersebut menegaskan hal berikut:
- Ajaran agama yang benar menyerukan untuk berpegang teguh pada nilai-nilai perdamaian dan menjunjung tinggi nilai-nilai saling kenal, persaudaraan, dan hidup berdampingan.
- Bahwa kebebasan adalah hak bagi setiap umat manusia: berkeyakinan, berpikir, berekspresi, dan mengamalkan, dan bahwa pluralisme dan perbedaan agama, warna kulit, jenis kelamin, ras, dan bahasa adalah hikmah dari kehendak ilahi, yang dengannya Tuhan menciptakan manusia, dan menjadikannya sebagai prinsip tetap yang menjadi dasar hak kebebasan berkeyakinan, kebebasan berbeda, dan kriminalisasi dalam memaksa orang untuk menganut cabang agama atau budaya tertentu, atau memaksakan gaya peradaban yang tidak diterima orang lain.
- Keadilan yang berdasarkan belas kasihan merupakan jalan yang harus ditempuh untuk mencapai kehidupan bermartabat, yang di dalamnya setiap manusia mempunyai hak untuk hidup.
- Dialog, pemahaman, dan penyebaran budaya toleransi, penerimaan terhadap orang lain, dan hidup berdampingan di antara masyarakat akan berkontribusi dalam membendung banyak masalah sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan yang melanda sebagian besar umat manusia.
- Dialog antar umat beriman berarti berkumpul dalam ruang luas yang berisi nilai-nilai spiritual, kemanusiaan, dan sosial yang sama, dan menginvestasikannya dalam menyebarkan moral dan kebajikan yang lebih tinggi yang diserukan oleh agama, dan menghindari kontroversi yang tidak ada gunanya.
- Melindungi tempat ibadah, termasuk kuil, gereja, dan masjid, adalah kewajiban yang dijamin oleh semua agama, nilai-nilai kemanusiaan, serta konvensi dan norma internasional, dan setiap upaya untuk menyerang tempat ibadah, dan menargetkannya dengan penyerangan, pengeboman, atau pembongkaran. merupakan penyimpangan yang jelas dari ajaran agama, dan jelas merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.
- Terorisme penuh kebencian yang mengancam keamanan masyarakat, baik di Timur atau Barat, dan di Utara dan Selatan, dan menghantui mereka dengan ketakutan, kengerian, dan antisipasi terhadap kemungkinan terburuk, bukanlah produk agama, namun hal ini merupakan akibat dari akumulasi kesalahpahaman teks-teks agama dan kebijakan-kebijakan kelaparan, kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, dan kesombongan.
- Konsep kewarganegaraan didasarkan pada persamaan tugas dan hak yang membuat setiap orang dapat menikmati keadilan. Oleh karena itu, kita harus berupaya untuk mengkonsolidasikan konsep kewarganegaraan penuh dalam masyarakat kita.
- Hubungan antara Timur dan Barat merupakan kebutuhan yang paling utama bagi keduanya, dan tidak dapat digantikan atau diabaikan, agar keduanya dapat memperkaya diri dari peradaban lain melalui pertukaran dan dialog budaya.
- Mengakui hak perempuan atas pendidikan, pekerjaan, dan menjalankan hak-hak politiknya merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak, dan juga perlunya upaya untuk membebaskan mereka dari tekanan sejarah dan sosial yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keimanan dan martabat mereka.
- Bahwa hak-hak dasar anak atas pengasuhan, gizi, pendidikan dan pengasuhan keluarga merupakan kewajiban keluarga dan masyarakat, dan harus diberikan dan dipertahankan, dan tidak boleh ada anak di mana pun yang dirampas hak-hak tersebut;
- Melindungi hak-hak orang lanjut usia, orang lemah, orang berkebutuhan khusus, dan kelompok rentan merupakan kebutuhan keagamaan dan kemasyarakatan yang harus dipenuhi dan dilindungi dengan peraturan perundang-undangan yang tegas dan penerapan konvensi internasionalnya.
Dari beberapa hal yang telah disebutkan di atas, pelajaran yang dapat diambil dari Grand Syeikh al-Azhar Syekh Ahmad Tayib dan perannya adalah tentang bagaimana mengedepankan perdamaian dan kemaslahatan umat manusia, serta meminimalisir pertikaian yang terjadi di kalangan umat beragama.
Tentu ini bukan berarti meleburkan sesuatu yang menurut kita benar. Akan tetapi, ini lebih kepada menghargai entitas “yang lian”. Apa yang telah diupayakan Grand Syeikh al-Azhar dalam hal ini merupakan sebuah terobosan baru yang belum pernah diupayakan oleh para Grand Syekh al-Azhar sebelumnya. Hal ini merupakan uswah hasanah bagi para pemimpin agama baik di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional
Alumni Al-Azhar Mesir, Prodi Akidah-Fiksafat. Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam International Indonesia.
Baca Juga
Ajaran Rasulullah Tentang Kemanusiaan
25 Sep 2024