Fatwa
Fatwa Ulama Hadramaut tentang Menikahkan Syarifah dengan Non-Sayyid
Telah beredar adat istiadat di Hadramaut, bahwa seorang Syarifah tidak boleh dinikahkan kecuali oleh Sayyid. Adat ini dinilai relevan dan sesuai dengan tuntunan syariat yang berlaku.
Pasalnya, ketika kita mengkaji ilmu Fiqh Munakahat, kita akan mendapati sunnah yang menghimbau adanya kesetaraan (kafa'ah) antara kedua calon pengantin, baik itu dari segi agama seperti iffah (keterjagaan dari maksiat), atau hirfah (mata pencaharian), aib nikah, merdeka, maupun nasab.
Mayoritas ulama seperti Syafi'iyah dan Hanabilah beranggapan bahwa kafa'ah adalah sunnah dalam pernikahan. Sedangkan menurut Hanafiyyah, kafa'ah adalah perkara yang wajib. Bagi mereka, kafa'ah atau kesetaraan dilihat dari segi agama, nasab dll. Beda halnya dengan Malikiyah yang berpendapat bahwa kafa'ah (kesetaraan) cukup ditinjau dari agama saja, tanpa harus memandang kepada perkara-perkara lain.
Dengan demikian, maka tak heran bila ulama Hadramaut begitu memelihara kafa'ah nasab. Lebih-lebih lagi mereka yang bernasab melantas kepada Rasulullah Saw, yang kerap dikenal sebagai ahlu bait Rasulullah Saw dan dijuluki Sayyid/ Syarif (untuk laki-laki) dan Sayyidah/ Syarifah (untuk perempuan).
Ahlu bait merupakan golongan orang-orang yang mendiami kedudukan eksotis di sisi Rasulullah Saw. Allah swt telah membenahi dan mensucikan hati mereka dari segala dosa dan kotoran hati. Rasulullah Saw mengintruksikan segenap umat-Nya untuk berkelakuan mengikuti jejak dan manhaj para ahlu bait, yang notabenenya adalah keturunan dari Sayyidina Ali dan Sayyidatina Fathimah binti Rasulullah Saw.
Mesti kita ketahui, kekangan ini hanya berlaku kepada Syarifah yang kepingin menikah dengan non-Sayyid. Namun, bila seorang Sayyid hendak menikahi non-Syarifah, maka kekangan ini akan terlepas dari belenggunya. Sebab, persoalan nasab akan menjalur kepada sang ayah, bukan kepada ibu (kecuali dalam beberapa masalah).
Sayyidi Syekh Dr. Muhammad bin Ali Ba'atiyah menukil perkataan Imam Suyhuti dalam kitabnya,
يتبــع الفرع في انتســـاب أبــــاه والأم في الـــــــــــــــــــرق والحـــــــريـــــــــة
"Keturunan itu akan mengikuti nasab ayahnya, dan akan ikut kepada ibu ketika ibunya berstatus isteri dan hamba sahaya (meski ayahnya merdeka) atau merdeka (meski ayahnya hamba sahaya)."
Ulama Hadramaut menetapkan fatwa ketidakabsahan pernikahan antara Syarifah dengan non-Sayyid, yang demikian itu semata-mata demi melindungi kelestarian nasab Rasulullah Saw agar tak terputus dan terus bersambung hingga hari kiamat.
Dalam kitab Umdatul Mufti wal Mustafti, Mufti Hadramaut Imam Jamaluddin Muhammad bin Abdurrahman Al-Ahdal menyebutkan,
لا يجوز لشريف تزويج بنته على غير شريف، فإن كانت بالغة ورضيت جاز له، فالكفاءة حق للمرأة والولي، وتكون بذلك مسقطة لكفاءتها.
"Tidak boleh bagi seorang Syarif (Sayyid) mengawinkan anak perempuannya (Syarifah) dengan selain Syarif, namun andaikata ia (Syarifah) telah baligh dan ridha, maka diperkenankan baginya melakukan hal tersebut. Karena persolaan kesetaraan (kafa'ah) merupakan hak bagi perempuan dan walinya, dan jika salah satunya menafikan perkara tersebut, hilanglah anjuran kesetaraan dalam pernikahan."
Selepas memafhumi ketidakabsahan pernikahan ini, maka seorang hakim pun tak berwenang untuk menikahkan Syarifah dengan non-Sayyid ketika sang wali perempuan tiada.
Imam Jamaluddin kembali menegaskan dalam kitabnya, jika hal itu (pernikahan Syarifah dengan non-Sayyid) berlangsung, maka ulama berkewajiban mencegah dan memisahkan mereka, tak boleh hanya berdiam diri, sebab itu akan melambangkan keridhaannya terhadap perzinaan.
Rasulullah Saw bersabda,
لا تنكحوا النساء إلا إلى الأكفاء. (رواه الطبراني) وفي رواية: ألا لا تزوج النساء إلا الأولياء، ولا يزوجن من غير الأكفاء.
"Janganlah kalian mengawinkan perempuan kecuali dengan orang yang sekufu (setara)." (HR. Thabrani). Dalam riwayat lain: "Tidaklah menikahkan seorang perempuan kecuali walinya, dan janganlah menikahkan mereka dengan orang yang tidak sekufu."
Berdasarkan konteks hadits, menerangkan bahwa kafa'ah (kesetaraan) dalam pernikahan merupakan anjuran Nabi Muhammad Saw. Oleh karenya, Imam Syafi'i, Ahmad, Sufyan, dan Abu Hanifah mencantumkan hukum kafa'ah dalam madzhabnya masing-masing. Kendati demikian, kafa'ah tidak termasuk syarat sahnya sebuah pernikahan.
Ibnu Hajar Al-Haitami pakar ulama fikih ternama madzhab Syafi'i berkata,
وهي معتبرة في النكاح لا لصحته مطلقا بل حيث لا رضاها من المرأة وحدها... إلخ.
"Dan (kafa'ah) dalam sebuah pernikahan tidak menjadi syarat sah nikah secara mutlak. Akan tetapi akan berubah sebagai syarat ketika sang perempuan tidak ridha (ketika tidak adanya kafa'ah). . . ."
Di dalam kitab Bugyatul Mustarsyidin, Mufti Tarim Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Husein Al-Masyur menyebutkan,
فلا أرى جواز النكاح وإن رضيت ورضي وليها، لأن هذا النسب الشريف الصحيح لا يسامى ولا يرام، ولكل من بني الزهراء فيه حق قريبهم وبعيدهم، وأنى بجمعهم ورضاهم.
"Saya tidak melihat kebolehan mengenai pernikahan (antara Syarifah dengan non-Syarif) meski dirinya (Syarifah) dan sang wali ridha atas perihal tersebut, karena kemuliaan nasab tidak boleh dicemari dan dikotori, dan setiap kerabat dekat atau pun jauh memiliki hak atas keturunan (Fatimah) Az-Zahra, yaitu adalah keridhaan terhadap apa yang ia (Syarifah) lakukan."
Sayyid Abdurrahman menuturkan kisah yang pernah berlaku di kota Mekkah, yaitu menikahnya non-Sayyid dengan Syarifah. Topik ini menjadi kontroversi dan tak luput dari kepedulian ulama Saadah Ba'alawi, yang condong tidak setuju. Sontak, mereka mengerahkan segala usaha dan upaya agar melepaskannya dari ikatan pernikahan.
Alhasil, mayoritas ulama yang notebenenya Saadah Ba'alawi memutuskan fatwa larangan terkait pernikahan antara Syarifah dan non-Sayyid. Meski begitu, syariat tetap melegalkannya ketika dilambari keridhaan dari Syarifah sendiri atau pun walinya, Namun para Salafussalih lebih memilih ketidakabsahan karena alasan tertentu.
Sebetulnya Ulama Hadramaut bermufakat meniadakan keabsahan pernikahan antara Syarifah dengan non-Sayyid, bukan dari aspek syar'i (jika keduanya memadati kriteria kafa'ah), namun dari aspek ahlak dan adab demi menjaga keabadian nasab.
Akan halnya bila pernikahan terlanjur berlaku atas dasar keridhaan dari pihak wanita (Syarifah) dan walinya, maka kaidahnya berganti mubah, namun selaiknya menghindari persoalan tersebut, sebab tidak disukai oleh Saadah Ba'alawi. Wallahu A'lam bis Showab. . .
Referensi:
- Bughyatul Mustarsyidin fi Talkhisi Fatawa Ba'du Aimmah Al-Mutaakhirin, karya Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyhur.
- Fatawa Tahummul Mar'ah wa Yaliihi Majmuatul Masail Yaktsuru Sualu Anha, karya Sayyid Abdullah bin Mahfudzh Al-Haddad.
- Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, karya Imam Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitami.
- Umdatul Mufti wal Mustafti, karya Sayyid Jamaluddin Muhammad bin Abdurrahman bin Hasan bin Abdul Baari Al-Ahdal.
- Zaadul Labib Syarh Matn Ghoyah wa at-Taqriib, karya Sayyidi Syekh Dr. Muhammad bin Ali Ba'atiyah.
Pernah nyantri di Daarul 'Uulum Lido Bogor. Sekarang meneruskan belajar di Imam Shafie Collage Hadhramaut Yaman. Suka membaca, menulis dan sepakbola.
Baca Juga
Apakah ahli waris wajib membayar hutang pewaris?
23 May 2024