Buku

Guyub Guyon Banser, Bagai Kepak Sayap Kupu-kupu

30 Dec 2021 02:56 WIB
1828
.
Guyub Guyon Banser, Bagai Kepak Sayap Kupu-kupu Kisah-kisah Banser yang Mendebarkan

Bermula dari laba.

Mesir membuka Terusan Suez, Inggris kepincut. Jazirah Arab milik Kesultanan Turki Ottoman, jadi rebutan para kolonialis, dan mereka bersatu mengeroyok wilayah tersebut. Salah satunya Perancis, yang mengirim panglima muda berusia belum genap 30 tahun, Napoleon Buonaparte.

Geopolitik dari Gurun: Membawa Laba, Mengundang Pedang

Ekspedisi d'Egypte. Kala itu, Napoleon sudah menempatkan pasukannya di Delta Sungai Nil di Mesir (yang saat itu dikuasai "dinasti" Mamluk), saat VOC bubar dan hengkang dari bumi Nusantara (tepatnya Batavia, sebagai kantor pusatnya). Tahunnya sama, 1799. Dua tahun setelahnya, pasukan Napoleon di Mesir berhasil diusir oleh Inggris.

Empat tahun sebelumnya (1795), Napoleon mengalahkan Belanda yang saat itu masih bernama Republik Batavia. Ia lalu menempatkan adiknya, Louis Napoleon, sebagai raja pertama dari Kerajaan Belanda (Koninkrijk der Nederlanden) sejak 5 Juni 1806. Raja Louise kemudian mengirim William Daendels untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, hanya tiga tahun (1808-1811). Jadi, perusahaan dagang VOC yang memiliki tentara, mata uang sendiri, bernegosiasi dengan negara lain hingga menyatakan perang,  sebenarnya adalah "negara" di dalam negara Kerajaan Batavia (salah kaprah bila menyebutnya  kerajaan Belanda).

Masuk ke 1800-an. Awal abad 19 dibuka dengan kenyataan: betapa murahnya nyawa manusia. Kolonialisme menari-nari di Asia dan Afrika. Pada masa yang sama, perlawanan terhadap kolonialisme juga berlangsung. Di Nusantara, dekade ketiga abad 19 mulai terjadi perlawanan "secara sporadis". Alasan utama perlawanan rakyat: karena penerapan cultuur stelsel yang mencekik kehidupan rakyat bumiputera.

Masa ini ada Pangeran Diponegoro yang mengayunkan pedang, sesudahnya rakyat Aceh yang mengangkat rencong. Di Hijaz (wilayahnya meliputi Jeddah-Mekkah-Madinah) perang rebutan wilayah dan kekuasaan melawan Ottoman—dengan ataupun tanpa menggandeng kekuatan asing (Inggris)—yang menyebabkan ribuan nyawa manusia melayang.

Awal abad 20, berdirilah Kerajaan Saudi Arabia modern pada 1901, yang dipagari ketat oleh ajaran Salafi Wahabi-nya Muhammad Abd Wahhab. Pada tahun yang sama, Ratu Juliana mensyahkan penerapan Politik Etis (alias politik "balas budi") di Hindia Belanda. Politik etis  membolehkan anak-anak priyayi pribumi menuntut ilmu di sekolah berbahasa Belanda. Tujuan terselubungnya: agar kantor dan perusahaan Belanda di daerah jajahannya ini, bisa  mendapat tenaga kerja murah yang bisa baca tulis dan berbahasa Belanda. Sebab Belanda tekor jika harus mendatangkan tenaker bule.

Dan perang masih marak. Jika kaum Wahabi yang puritan, sibuk memerangi sesama Islam pegiat ziarah kubur-tasawuf-tawasul-istighosah-yasinan-hingga maulidan di Saudi, di Nusantara para ulama tengah bangkit melawan dua hal. Pertama, menentang penghapusan mazhab a la Wahabi di Saudi, dan melawan penjajahan di Nusantara.

Dunia pelit senyum saat itu. Penghancuran makam Khadijah istri Nabi di Mekkah dan kubah makam Al-Baqi’ di Madinah oleh  kaum Wahabi, plus ukiran himne pujaan di makam Nabi, ditutupi cat oleh penguasa Wahabi, membuat para ulama di Nusantara bereaksi. Wahabi tak bisa didiamkan. Maka lahirlah Nahdatul Ulama (NU) pada 1924, atas ijin dan rahmat Allah SWT. Pada tahun yang sama, Kesultanan Turki Utsmani berakhir, berganti menjadi Republik Turki.

Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945) berlangsung susul menyusul. Selama itu pula, para penjajah Eropa ngotot rebutan jajahan, termasuk negara-negara Arab yang kaya minyak, mendapat perlawanan sengit dari penduduk Arab. Bukan bermaksud latah, tapi Nusantara juga bergolak oleh pertempuran melawan kolonialis.

C'est la vie. Satu kejadian pada suatu titik di belahan dunia, bisa berpengaruh ke bagian lain dunia. Ada yang menyebutnya butterfly effect, ada juga yang mengkategorikannya sebagai geopolitik.

Penumpang yang  "Nebeng" di Tikungan

Di Jazirah Arab, mulanya para pejuangnya menjadikan jihad Islam sebagai pemersatu melawan penjajah. Tapi belakangan, sekalian menyebarkan paham puritannya, alias fundamentalisme. Aliran Salafi Wahabi-nya Abd Wahhab yang terinspirasi Ibnu Taimiyah, diadopsi atau minimal  menginspirasi, lahirnya aliran-aliran beragam corak dalam Islam. Lahirlah  Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir (sekira 1928), Hizbut Tahrir (HT) di Palestina (sekitar 1948), menyusul kemudian Jama’ah Islamiyah di Pakistan (era 1990-an), Gerakan Salafi Jihadis di Irak dan Afganistan, serta Syi’ah di Iran.

Semua aliran di jazirah Arab itu, punya musuh yang sama: negara-negara kolonial. Namanya perang, jamak bila senjata dan bom mereka pergunakan. Namun, sejarah selalu mencatat adanya "penumpang gelap" dalam setiap perjuangan. Sebagian dari mereka punya mimpi lain: mendirikan khilafiyah atau minimal negara Islam, baik di negaranya sendiri maupun di negara lain. Penumpang gelap ini ingin mengganti pemerintahan sah di negara yang ditempatinya, dengan pemerintahan khilafiyah.

Indonesia tentu menolak. Indonesia ini adalah orkestra Bhinneka Tunggal Ika teramat merdu dan indah, yang dialunkan oleh 1.340 suku bangsa (BPS 2010). Perbedaan suku, agama, budaya, adalah kekuatan kita. Mosok semua budaya itu mau dihapuskan, lalu diganti menjadi satu budaya impor yang puritan zaman baheula? Baju semuanya sama: warna gelap dengan mode yang tertutup dari ubun-ubun, wajah kecuali mata, hingga telapak kaki?

Lalu keragaman kita dimatikan? Borobudur diledakkan, gua Leang-leang diratakan, menhir-menhir di Sumba dan Toraja dihancurkan? Orang Bali tak boleh menari dan bikin patung, orang Papua tak boleh upacara bakar batu? Yang tak mau sama dengan kaum fundamentalis, disebut kafir? Aparat negara dan hankam disebut thogut? Nanti dulu....!

Ketika aliran-aliran pemimpi khilafiyah itu tiba di Indonesia (sebelum dan sesudah Proklamasi RI pada 1945), tentu orang Indonesia yang berwawasan, akan menolak. NU berada di barisan terdepan, sebagai panutan rakyat Indonesia yang menolak paham fundamentalisme agama.

Sampai kini, penganut aliran fundamentalis agama, masih ada di sekitar kita, dan aktif menyebarluaskan pahamnya, dengan berbagai cara: dakwah dan pemaksaan, bahkan teror. Kita menyebut mereka sebagai kaum radikalis. Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso, Jamaah Islamiyah yang metamorfosisnya DI/TII Kartosuwiryo, serta Jamaah Ansharut Daulah (JAD) adalah contoh kelompok yang sudah sah menyandang cap teroris.

Guyon Guyub ala Banser

Lalu bagaimana kita melawan dan menghadang sepak terjang kaum radikalis ini? Tentu tak sekedar memberi pencerahan dan pemahaman agama yang benar, melainkan juga dengan memberi contoh beragama yang benar dan santun. Nadhief Shidqi sudah melakukannya, melalui buku perdananya: "Kisah-kisah Banser yang Mendebarkan".

Nadhief tidak menulis perang, tidak menulis kisah tragis. Ia menulis keseharian Banser, organisasi yang ia kenal sejak lahir. Banser yang lucu, lugu, loyal, dan bernafas dalam keragaman. Maka isi bukunya pun kisah-kisah lucu yang membumi, dan asli terjadi, dalam keseharian para Banser.

Saya mengenal penulis yang saya sapa Gus Nadhief ini. Ia punya jabatan sebagai Ketua Anshor Rembang. Jadi Gus Nadhief kompeten untuk mengisahkan keseharian Banser.

Awalnya, ia menulis buku ini karena kerinduannya pada tawa canda Banser, yang menurutnya terkikis arus politik sejak sepuluh tahun ini. Bukan berarti dalam kurun satu dekade ini, Banser jarang bercanda dan pelit senyum. Bukan gitu. Tapi ia melihat bahwa kesan yang ditampilkan Banser pasca Gus Dur tiada, kok jadi kelihatan serius amat?

Padahal, sejatinya Banser bukanlah kelompok menyeramkan, yang doyan  mengepruk sesama anak bangsa, tapi beda agama maupun paham. Meski Banser siap melawan, jika ada pihak yang berniat merobohkan Pancasila, mengubah bentuk negara Indonesia, dan mengganggu persatuan Indonesia. Itu yang saya tahu.

Buku "Kisah-kisah Banser yang Mendebarkan" terbitan Sanad Media Pustaka ini, disajikan renyah, ringan, tapi "dalam". Dari cover bukunya, orang sudah bisa mesem pada pandangan pertama. Karikaturnya mewakili keceriaan Banser NU. Dan isinya, harus diakui bahwa Gus Nadhief adalah penulis cerdas, jujur pada tulisannya, dan  penuh kejutan. Contohnya pada tulisan bertajuk  Ndan Basyir 13.

Saat itu Ndan Basyir memberikan kata sambutan dalam sebuah acara. Kata Ndan Basyir, "Menjadi Banser adalah menjadi penjaga keanekaragaman. Menjadi Banser adalah menjadi penjaga toleransi. Saya bersyukur, Banser Rembang bisa menjadi teladan dalam hal ini. Buktinya, dari sekian banyak Banser di seluruh pelosok Kabupaten Rembang, sudah saya cek, ternyata yang Muslim cuma satu." (Hal.33)

Cerdas!

Penulis yang gandrung pada Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari dan terkesan oleh Jejak Langkah-nya Pram ini, sangat pandai menggambarkan karakter Banser, tanpa memaksakan gambaran, apalagi menyanjung-nyanjung. Ia menulis, tapi seperti bercerita langsung di depan pembaca bukunya. Contohnya pada tulisan berjudul Ndan Basyir 7.

Ketika dua preman itu bilang, "Kamu jadi Banser, apa kurang kerjaan? Ke sana kemari pakai seragam, cuma jadi pelayan Kyai. Sudah begitu, tidak dibayar. Kamu itu goblok apa goblok?" Ndan Basyir tetap tenang, sambil menjawab, "Saya itu antara goblok yang satu dan goblok yang satunya lagi." (Hal.17)

Buku ini bagai Kepak Sayap Kupu-kupu

Namun, buku ini tak sekedar mengembalikan pandangan dunia, bahwa Islam bukanlah agama yang sangar dan keras. Sebagai penjunjung persatuan Indonesia, saya mengapresiasi buku ini sebagai cara kita untuk menghadang aliran-aliran pemecah umat. Bila selama ini saya beranggapan, "Mengapa hanya pihak pro radikalisme yang aktif melakukan penetrasi melalui literasi, untuk mengubah pemahaman umat menjadi radikal?" Kini saya mendapat jawabannya. Buku karya Gus Nadhief ini bukan sekedar oase yang jernih, layak diminum dan dikonsumsi siapapun.

Lebih dari itu, buku Kisah-kisah Banser yang Mendebarkan ini adalah kepak sayap kupu-kupu. Satu hal "kecil" yang dilakukan Gus Nadhief, kelak akan membesar dan bermanfaat bagi bangsa ini. Amiiiinnn...

Maka, bukan tak mungkin, buku ini bakal diasumsikan negatif oleh pihak-pihak yang pro radikalisme. Tapi tidak apa. Toh buku ini bukan advertise yang berupaya membujuk orang untuk jatuh sayang pada Banser. Apalagi membujuk orang untuk mendaftar jadi Banser.

Jakarta 2021

Maria Dominique
Maria Dominique / 1 Artikel

Penulis buku militer.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: