Artikel
Hari Santri dan Kerancuan Trikotomi Geertz
Saya tetap mengucapkan Selamat Hari Santri Nasional, meski penuh dengan catatan. Ada banyak pertanyaan yang bergulir di benak saya sebagai bagian dari komunitas santri sekaligus sebagai bagian dari suku Jawa.
Semua pertanyaan yang problematis itu pada akhirnya bermuara pada satu pertanyaan, santri itu siapa?
Untuk menjawab satu pertanyaan ini mungkin jika dijawab dengan tulisan akan menghasilkan satu buku tebal. Namun tulisan tidak terlalu serius ini hanya akan menampilkan akar masalah dari trikotomi santri-priyayi-abangan dalam perspektif dan aproach antropologis-sosiologis ala Clifford Geertz.
BACA:
-
Hari Santri Harus Disyukuri dengan Perjuangan
-
Syekh Ali Jum’ah: Bolehkah Seorang Santri Terjun ke Dunia Politik?
Kita mulai keruwetan ini dari tahafut at-ta'rif (kerancuan definisi) santri di era modern. Kalau diperketat definisi santri yaitu hanya mereka yang secara intens mengaji di pondok pesantren, mengkhatamkan berbagai kitab, hafal berbagai matan, memiliki guru seorang kyai, dan sanad ilmunya bersambung sampai ke para ulama klasik dan Rasulullah, nantinya gelar santri menjadi eksklusif. Efeknya yang bukan santri nanti jadi minder kalau mau bergaul dengan yang santri. Akan muncul pemisahan kelas sosial seperti yang digaungkan Geertz di tengah masyarakat kita. Pertanyaan selanjutnya, apakah di era modern ini pengkelasan sosial berdasarkan "kesantrian" seseorang masih relevan? Apakah kelas sosial seperti ini akan bermanfaat bagi kehidupan berbangsa? Atau malah memperburuk keadaan negara kita yang sudah porak-poranda secara sosial akibat pilpres?
Kalau diperluas definisi santri yaitu siapa saja yang berakhlak seperti santri maka dia itu santri, nanti orang-orang yang tidak memiliki keilmuan standar santri bisa mengaku-aku sebagai santri. Nanti kalau mereka terkenal bisa kemudian ngaku-ngaku jadi Gus atau Kyai, padahal baca Al-Qur'an saja masih bletat-bletot, apalagi baca kitab. Ini berimbas pada citra negatif Islam di masyarakat luas. Orang yang tidak pernah mondok, baca kitab tak mampu, hanya modal ikut merayakan HSN, dia kemudian ngaku-ngaku santri dan ceramah di mana-mana. Ya kalau benar ceramahnya. Kalau tidak? Bisa tidak karu-karuan kan? Bisa berabe nih.
Pembagian santri dan bukan santri ini sebenarnya gagasan seorang orientalis dan antropolog Amerika bernama Clifford Geertz yang sebagian besar hidupnya digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia umumnya. Dalam bukunya The Religion of Java, Geertz membagi struktur sosial masyarakat Jawa menjadi tiga.
Yang pertama varian "santri" yaitu orang-orang yang berada di lingkungan pesantren, mengaji ilmu agama, dan hidup secara relijius khas Islam. Secara kultur, mereka juga punya kecenderungan mengambil sebagian budaya Arab dan mencampurnya dengan budaya Jawa.
Yang kedua varian "priyayi". Mereka adalah orang-orang penting Jawa, tokoh-tokoh masyarakat Jawa, orang-orang kaya, orang-orang pemerintahan, dan dekat dengan keluarga keraton. Mereka bisa dibilang orang-orang ningrat yang berdarah biru. Mereka juga secara kental memakai budaya Jawa namun di kelas yang lebih tinggi. Lingkup pergaulan mereka juga terbatas pada kalangan pengusaha, pejabat, dan orang-orang berdarah biru atau ningrat.
Yang ketiga adalah varian "abangan". Varian ini adalah mereka masyarakat kecil biasa yang tidak intens mempelajari Islam atau bahkan tidak mengenal ajaran Islam, cenderung mengamalkan ajaran "kejawen" secara intensif, masih mengamalkan ritual-ritual mistis kejawen, dan mereka tidak dekat dengan keluarga pesantren. Mereka terdiri dari kelompok buruh, petani, pedagang kecil, nelayan, dan berbagai kelompok-kelompok masyarakat yang tidak masuk kategori priyayi dan santri.
Pembagian Geertz ini tidak sepenuhnya salah, namun tidak sepenuhnya benar. Apa yang dia paparkan dalam The Religion of Java menurut penulis justru merupakan pandangan sempit seorang yang bukan "Jawa" terhadap orang-orang Jawa yang struktur sosialnya lebih kompleks daripada yang dia paparkan. Jika Geertz memang menghabiskan waktu untuk penelitian di Jawa secara khusus, ada kemungkinan Geertz tidak jujur dalam menyampaikan penelitiannya. Dia tidak mau menampilkan kultur NU sebagai pembanding dalam paparan penelitiannya. Jika Geertz mau jujur dalam penelitiannya, dia seharusnya mengakui adanya kompleksitas struktur sosial masyarakat Jawa yang tidak bisa disederhanakan dalam pembagian trikotomi santri-priyayi-abangan.
Jika kita melihat NU sebagai organisasi masyarakat yang mengakar pada masyarakat Jawa khususnya hingga ke bagian struktur paling dasar dari sistem sosialnya, kita akan melihat bahwa santri itu memiliki makna sangat kompleks dan tidak sederhana. Namun begitu aplikasi dari santri dalam dunia keilmuan juga sangat ketat.
Bagi warga Nahdliyyin tentu ucapan Hadratusy Syeikh Hasyim Asy'ari sangat melekat di dalam benak mereka, "Siapa saja yang mau mengurusi NU akan saya akui sebagai santri saya, dan akan saya doakan agar Khusnul Khatimah." Ucapan ini jika ditinjau secara antropologis akan memiliki interpretasi yang sangat rumit. Pengakuan "santri" dari Mbah Hasyim tentu memiliki makna sosial dan juga makna ilmiah.
Pengakuan "santri" dari Mbah Hasyim kepada siapa saja yang mengurusi NU menunjukkan bahwa NU adalah organisasi inklusif yang terbuka pada seluruh struktur sosial yang ada di Indonesia. NU menembus sekat-sekat yang dibuat Geertz, bahkan meruntuhkannya. Tidak ada lagi priyayi tidak pula abangan. Setiap warga Nahdliyyin yang aktif mengurus Jam'iyyah Nahdlatul Ulama dia adalah santri. Tidak peduli dia seorang pejabat, pengusaha, kalangan pesantren, petani, pedagang kecil, buruh harian, tukang becak, tukan sayur, tukan ojek, tukang bangunan, insinyur, sarjana, profesor, atau mungkin orang-orang yang putus sekolah sekalipun dia tetap diakui santri selama jadi warga NU.
Apa yang dinyatakan Geertz dalam The Religion of Java seharusnya menyertakan pembandingnya berupa gambaran umum kultur masyarakat NU yang telah dibangun oleh para pendiri NU. Geertz seharusnya jujur dalam penelitiannya bahwa di dalam NU ada sistem "penyantrian" yang bukan menjadi sekat ekslusif dari mereka yang tidak terlibat dalam pendidikan pesantren. Jauh sebelum Geertz mempopulerkan trikotominya, NU sejak 1926 sudah meruntuhkan sekat-sekat sosial yang bisa menimbulkan masalah dan konflik masyarakat di Indonesia. Indonesia bisa rukun dalam perbedaan karena ajaran-ajaran inklusifisme dari para kyai-kyai dan ulama-ulama Nusantara.
BACA:
Akhirnya, kalau pun kita merayakan hari santri, tapi kita harus tahu bahwa "santri" yang diharapkan oleh para ulama dan kyai Nusantara bukan sekedar santri secara ideologis saja, namun juga santri secara sosial. Hari Santri juga bukan momen dikotomi antaa kalangan pesantren dengan non-pesantren. Justru sebaliknya, Hari Santri seharusnya jadi momen terbukanya "pintu-pintu" pesantren untuk masyarakat luas. Para kyai yang setiap hari disowani masyarakat dari berbagai kalangan, seharusnya diteladani oleh para santri yang membuka diri pada lingkungan. Santri harus bisa menjadi jembatan antar kelompok masyarakat. Pada akhirnya nanti, santri harus jadi perangkul semua umat beragama yang ada di Indonesia, membuka cakrawala toleransi, dan menciptakan masyarakat yang inklusif.
Selamat Hari Santri Nasional, semoga saya yang bodoh dan nakal ini masih diakui jadi santrinya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy'ari. Amin.
Banyumas, 22 Oktober 2021.
Alumni Universitas al-Azhar Mesir. Suka menerjemah kitab-kitab klasik. Sekarang tinggal di Banyumas Jawa Tengah.
Baca Juga
Adakah dusta yang tidak berdosa?
23 Nov 2024