Artikel

Hari Santri Nasional 2021: Tribakti Santri, Terbukti dan Teruji

23 Oct 2021 09:50 WIB
1408
.
Hari Santri Nasional 2021: Tribakti Santri, Terbukti dan Teruji Para santri sedang khidmat berdoa bersama dalam apel Hari Santri 2019. (Foto: Tirto)

Tribakti terdiri dari dua kata: tri dan bakti. Jika kita merujuk ke KBBI, “tri” merupakan kata yang selalu terikat dengan kata lain, maknanya adalah “tiga”. Sedangkan “bakti” memiliki dua makna:

Pertama, pernyataan tunduk dan hormat; perbuatan yang menyatakan setia (kasih, hormat, dan tunduk). Misal, “bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, atau bakti anak kepada orang tuanya.” Dua contoh ini yang termaktub dalam KBBI.

Kedua, memperhambakan diri; setia. Seperti perkataan santri, “sebagai tanda bakti kepada nusa dan bangsa, saya akan berusaha berprestasi sebaik-baiknya.” Contoh ini juga tertuang di KBBI, tapi sudah dimodifikasi sedikit.

Jadi, “tribakti santri” yang saya maksud adalah sebuah perkataan, pernyataan, dan perbuatan mereka yang selalu berorientasi dalam tiga aspek; (1) hormat kepada kedua orang tua, (2) kesetiaan kepada negara, dan 3) ketundukan kepada agama. Tribakti ini merupakan representasi dari sifat yang dimiliki seorang santri. Dan ihwal ini bukan hanya ujaran belaka, melainkan sudah terbukti dan teruji. Mari kita perbincangkan satu persatu.

Hormat kepada Kedua Orang Tua

Bagi santri sejati, berbakti kepada kedua orang tua, merupakan prinsip dasar yang terbangun di pesantren.

Mereka paham betul bahwa status tersebut harus dan bahkan wajib dimiliki seorang santri. Kenapa? Selain prinsip tersebut memang selalu didengungkan oleh para kiai dan ustadz, al-Qur’an sendiri dengan tegas menyatakan bahwa berbakti kepada kedua orang tua merupakan kewajiban seorang anak. Allah taala berfirman:

 وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا وَبِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْجَارِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْجَارِ ٱلْجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلْجَنۢبِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa [4]: 36)

Ayat ini tegas mengatakan bahwa berbuat baik kepada orang tua adalah perintah-Nya. Sebagian mufasir mengartikan “berbuat baik” dengan cara memuliakan dan berbakti kepada kedua orang tua. Apalagi, setelah mereka beranjak tua, tubuh mereka mulai melemah, kualitas keberbaktian harus ditingkatkan. Allah taala berfirman:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’ [17]: 23)

Sejatinya, ayat ini juga perihal keberbaktian kepada kedua orang tua, senada dengan QS. An-Nisa 4: 36. Namun, ada contoh yang spesifik, sebagaimana teruraikan ayat di atas.

Kiranya uraian ini cukup untuk membuktikan bahwa santri merupakan manusia paling berbakti kepada kedua orang. Karena, mereka memang dididik untuk berbakti.

Kesetiaan kepada Negara

Tidak ada sejarahnya santri melawan kepada negara. Silakan runut baik-baik sejarah. Apakah Anda pernah mendengar ada pesantren berontak kepada NKRI, santri melawan pemerintah? Saya rasa tidak akan ada. Bahkan, para santrilah yang berperan penting dalam proses kemerdekaan NKRI. Oleh karena itu, jangan khawatir dengan ke-nasionalisme-an para santri.

Di samping itu, mereka paham konsep kenegaraan. Mereka diajarkan oleh para kiai bahwa NKRI ini adalah negara yang paling sesuai dengan konteks ke-Indonesia-an. Tidak ada yang  bertabrakan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Bahkan, sudah sangat Islami. Mereka juga tahu bahwa menentang pemerintah yang sah adalah hal yang dilarang dalam agama Islam. Seorang muslim harus taat kepada perintah: Allah taala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa [4]: 59)

Abu Hurairah, Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, serta mayoritas ulama manafsirkan bahwa yang dimaksud “ulil amri” adalah pemerintah.

Oleh sebab itu, santri, selain sangat religius, mereka juga sangat nasionalis. Dan ihwal ini sudah teruji. Bukan hanya di ucapan, melainkan juga di lapangan. Sebagaimana sejarah telah membuktikan. Hubbul Wathan Minaliman.

Ketundukan kepada Agama

Dalam konteks ini, saya tidak akan mengulas panjang-lebar. Alam sudah manjadi bukti bahwa santri memang dikader untuk tunduk kepada agama. Artinya, siapa pun tahu bahwa santri adalah seorang yang sangat agamis. Saya hanya ingin berkisah. Kisah Syaikhana Muhammad Khalil Bangkalan dan santrinya yang sangat tunduk kepada beliau.

Ada satu santri. Dia telah nyantri beberapa tahun kepada Syaikhana Muhammad Khalil. Selama beberapa tahun tersebut, dia tidak pernah belajar satu huruf ilmu pun. Dia hanya berkhidmah kepada beliau. Semua kebutuhan Syaikhana Khalil dia yang melaksanakannya.

Suatu hari, Syaikhana Khalil bertanya kepada  si santri tersebut.

“Wahai khādim, apakah kamu sudah salat Asar?”

“Tidak,” jawab dia.

“Kenapa,” tanya beliau.

Si santri yang menjadi  khādim menjawab, “Saya tidak bisa bacaan salat, kiai”

Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu bisa membaca fatihah?”

“Tidak bisa, kiai.”

“Baca zikir bisa?” Tanya lagi Syaikhana Khalil.

Si santri menjawab, “Saya hanya bisa zikir yang saya suka.”

“Zikir apa?”

Si santri menjawab dengan bahasa Madura, “Bétoh sépolo ikalak sangak kareh sittong Allāh Akbar.”

Beliau pun berkata, “Ya sudah, kamu salat dan baca zikir itu di hatimu.”

“Iya, kiai,” jawab si santri.

Saat Syaikhana Khalil pergi umrah, beliau lupa dengan sendal yang terbuat dari kayu (paccak: Madura) yang biasa dipakai setiap hari, tidak dibawa. Milhat sendal yang masih ada di dalém (rumah) kiai, si khādim tersebut bergumam dalam hatinya, “Duh, kedua sendal ini lupa.”

Kemudian, dia membaca zikir yang biasa dibaca saat salat. Tiba-tiba, dia berada di samping Syaikhana Khalil. Dia berkata, “Wahai kiai, njenengan melupakan kedua sendal ini.”

Beliau pun heran, lalu bertanya, “Bagaimana kamu bisa datang ke Makkah?”

“Wahai, kiai. Saya membaca zikir yang biasa saya baca, dan tiba-tiba sudah ada di sini.” Begitulah jawabannya.

Setelah itu, dia memberikan kedua sendal tersebut. Lalu dia kembali ke pesantren dengan membaca zikir itu lagi.

Dari kisah ini, saya melihat dari sisi relasi ketundukan kepada seseorang guru merupakan bukti nyata bahwa santri tidak perlu ditanyakan ketundukannya kepada agama. Sederhananya, kepada kiai saja tunduk, apalagi kepada agama. Di kalangan santri, ini  dikenal dengan nama “qias aulawi”.

Semoga bermanfaat, sekian!

Syifaul Qulub Amin
Syifaul Qulub Amin / 12 Artikel

Alumni Pondok Pesantren Nurul Cholil, Demangan Barat, Bangkalan, Madura. Sekarang aktif menjadi kontributor sekaligus editor di Website PCNU Bangkalan. Penyuka tumpukan buku dan kitab gundul. Lagi fakus menulis buku dan merambuti kitab gundul (menerjemah).

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: