Tanya Jawab
Haruskah istri ikut membayar kafarat jika mau diajak enak-enak sama suami saat puasa Ramadhan?
Sudah maklum bahwa berhubungan badan pada siang hari Ramadhan bisa membatalkan puasa, bahkan diwajibkan membayar kafarat, jika dilakukan dengan sengaja.
Ulama berbeda pendapat, jika ia dalam keadaan lupa saat berhubungan. Versi Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, pasutri yang berhubungan badan saat puasa dan dalam keadaan lupa, maka ia tidak perlu qadha dan membayar kafarat.
Adapun menurut Imam Malik, ia hanya wajib qadha (mengulang puasa pada hari lain), tanpa membayar kafarat. Sedangkan versi Imam Ahmad dan Ahlu Al-Dzahiriyyah, keduanya wajib membayar kafarat dan qadha, meskipun ia dalam keadaan lupa. (Bidayat Al-Mujtahid Juz II h. 65)
Hanya saja terjadi perbedaan lagi di kalangan ulama terkait kewajiban membayar kafarat bagi istri yang berkenan dijimak (disetubuhi) pada siang hari bulan puasa.
Menurut Abu Hanifah dan Ashabnya, serta Imam Malik dan Ashabnya, wanita wajib membayar kafarat juga. Lain halnya dengan Imam Syafi’i dan Abu daud, yang mengatakan bahwa perempuan tadi tidak wajib membayar kafarat.
-
Ternyata ulama beda pendapat tentang hukum memakai handuk setelah mandi
-
Ketika mandi sendiri, haruskah menutup aurat?
-
Ijazah Habib Zein Smith agar tidak mimpi basah ketika tidur
Mengapa para ulama bereda pendapat? Ibnu Rusyd menjelaskan:
وَسَبَبُ اخْتِلَافِهِمْ: مُعَارَضَةُ ظَاهِرِ الْأَثَرِ لِلْقِيَاسِ، وَذَلِكَ أَنَّهُ - عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ - لَمْ يَأْمُرِ الْمَرْأَةَ فِي الْحَدِيثِ بِكَفَّارَةٍ، وَالْقِيَاسُ أَنَّهَا مِثْلُ الرَّجُلِ إِذْ كَانَ كِلَاهُمَا مُكَلَّفًا.
“Perbedaan ini dilatar belakangi oleh kontradiksi lahiriah atsar dengan qiyas. Sebab Rasulullah Saw dalam hadits (pasal kafarat bagi pasutri yang bersetubuh di siang bulan puasa) tidak memerintahkan perempuan untuk membayar kafarat. Sedangkan jika dianalogikan, seharusnya perempuan tadi wajib bayar kafarah juga, sebab ia dihitung sebagai mukallaf, atas dasar berkenannya dia disetubuhi oleh suami pada siang bulan puasa.” (Bidayat Al-Mujtahid, Juz II h. 67)
Mazhab Hanafi dan Maliki, lebih memilih metode istinbat berupa qiyas, sehingga memandang perempuan (istri) juga memiliki unsur kemauan dalam berjimak. Sedangkan mazhab Syafi’i dan Daud, memakai metode istinbat berupa nash hadits di mana Rasulullah saw dalam hadits pasal kafarat, tidak memerintahkan perempuan membayar kafarat. Keduanya tidak membebankan perempuan membayar kafarat, meskipun ia dalam keadaan mau, ketika bersetubuh dengan suaminya. Wallahu a'lam.
Asal dari Pasuruan. Sekarang menempuh studi program Double degree di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada program studi PAI dan Fikih Muqaran dan tinggal Wisma Ma’had Aly UIN Malang.