Buku
Hikmah Turunnya Syariat Menurut Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi
Setiap umat Muslim tentu tidak lagi mempersangsikan bahwa Allah Swt menciptakan setiap sesuatu di dunia berdasarkan hikmah atau faedah yang luar biasa.
Semua perkara yang ada di sekitar kita, sekalipun secara kasat mata tak berguna karena kecil atau remeh, sejatinya tidak lepas dari keberadaan hikmah yang tersimpan. Hal ini disinyalir dalam firman Allah dalam surat Ali-Imran, ayat 191, yang berbunyi:
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَا طِلًا
"Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia."
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dalam kitab Tafsir Jalalain menjelaskan perihal ciptaan Allah yang secara kasat mata tidak memiliki hikmah atau faedah, sejatinya terkandung sebuah hikmah berupa sempurnanya qudroh (kekuasaan) yang dimiliki-Nya. Logikanya sederhana, hewan yang sangat kecil mampu hidup dan berkembang biak walaupun dalam keadaan dan kondisi yang sangat kecil.
Begitu pula syariat Islam yang sifatnya universal serta komperhensif, tentunya tidak terlepas dari hikmah yang tersirat dan tersurat. Meski kita tahu dalam kajian ushul fikih bahwa hikmah tidak menjadi penyebab—atau kerap dikenal dengan illat—terbangunnya hukum syariat, akan tetapi keberadaan hikmah dalam syariat-syariat yang dibawa oleh sang revolusioner dunia, Rasullullah Saw sangatlah urgen diketahui. Oleh karena itu, tulisan ini cukup mewakili dalam hal pengulasan terkait hikmah dari pensyariatan ajaran-ajaran yang ada dalam agama Islam.
Baca juga: Mata Uang Dinar dan Dirham Bukan Produk Syariat Islam
Syekh Ahmad Ali Al-Jurjawi seorang ulama Al-Azhar berkaliber internasional dalam kitab monumentalnya, Hikmatu at-Tasyri' wa Falsafatuhu menjelaskan, bahwa hikmah di balik turunnya syariat-syariat samawi itu terdiri dari empat macam.
Pertama, bertujuan untuk mengetahui Allah, mentauhidkan, mengagungkan dan mensifati-Nya dengan semua sifat sempurna atau sifat-sifat wajib dan jaiz, serta menjauhkan dan mensucikan-Nya dari sifat-sifat yang kurang atau sifat-sifat mustahil.
Pada hakikatnya hikmah-hikmah di atas terakomodir dalam satu cabang ilmu yang paling pokok, yaitu ilmu kalam atau yang lebih dikenal menurut kalangan pelajar dan santri dengan istilah ilmu tauhid.
Di antara tujuan mempelajarinya adalah memahami makna hakikat dari ketuhanan yang hanya dimiliki oleh Allah Yang Wajib Keberadaan-Nya. Dengan memahami makna ketuhanan, tentu kemudian akan melahirkan sebuah pemahaman bahwa Allah adalah Dzat Yang Mahasempurna, dan bersifat dengan sifat-sifat yang sempurna pula, berupa sifat-sifat wajib dan jaiz, serta terjauhkan dan suci dari sifat-sifat yang kurang atau tidak sempurna, berupa sifat-sifat mustahil.
Kedua, bertujuan untuk mengetahui serta mengimplementasikan dalam keseharian tata cara mengerjakan ibadah yang mengandung nilai-nilai pengagungan kepada Sang Pencipta alam semesta dan salah satu bentuk mensyukuri nikmat-nikmat-Nya.
Tujuan atau hikmah ini merupakan representasi dari tujuan disyariatkannya ibadah-ibadah badaniah atau ibadah-ibadah yang bersifat jasmani serta ibadah-ibadah maliyah atau lebih dikenal dengan ibadah-ibadah yang bersifat material. Dua macam ibadah ini terakomodir penjelasannya didalam disiplin ilmu fikih.
Hal ini dapat kita ilustrasikan dalam sujud yang kerap kali kita lakukan di dalam shalat. Sujud merupakan salah bentuk penghambaan sejati seorang makhluk kepada Pencipta. Sebab, dengannya dia mampu mengagungkan-Nya sebagai Tuhan sejati tanpa ada satu pun yang menandingi-Nya, serta menganggap hina dirinya sebab dia yakin bahwa tak ada daya dan kekuatan yang murni berasal dari dirinya melainkan sejatinya digerakkan oleh Allah. Sehingga, dengan sikap tersebut dia bisa terus bersyukur dengan cara lebih semangat melakukan sujud sebagai bukti penghambaannya.
Baca juga: Filsafat Islam, Keotentikan dan Hukum Mempelajarinya
Ketiga, bertujuan untuk memotivasi umat manusia, terutama yang beragama Islam agar ikut berpartisipasi dalam memperjuangkan kemulian agama Islam dalam bingkai amar makruf nahi munkar, berperilaku dan berperangai mulia seperti perangai yang diteladankan Rasulullah Saw serta bersikap dengan sikap-sikap yang mengangkatnya ke derajat-derajat tinggi dan mulia, seperti menjaga muruah atau kewibaan, menjalankan amanah, bersabar, dan hal-hal lain yang tidak terluputkan dari pembahasan akhlak-akhlak yang terpuji.
Keempat, bertujuan untuk meminimalisir, menghentikan, serta memberantas perilaku dan sikap yang berlawanan dengan norma-norma atau tatanan-tatanan agama dan sosial, dengan cara menerapkan sanksi-sanksi sepadan yang memiliki potensi menjadikan pelakunya jera dengan apa yang telah dia lakukan.
Hal ini ditujukan agar terjadi kesejahteraan dalam kehidupan dan keamanan dalam berinteraksi sosial, supaya tercipta masyarakat yang makmur nan sentosa serta terbangun negara yang baldatun toyyibatun wa robbun ghofur.
Sekian hikmah disyariatkannya ajaran-ajaran yang ada di agama Islam, menurut Syekh Ahmad Ali Al-Jurjawi, menunjukkan bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang sia-sia tanpa ada manfaat guna.
Staf pengajar di Pondok Pesantren Assa'idiyah Kokop Bangkalan. Mahasiswa aktif semester 1 STAI Al-Hamidiyah, nyantri di PP Roudlotut Tholibin kota Probolinggo dan PP Sidogiri Pasuruan.