Fatwa
Hukum bermain catur dan dadu dalam permainan ular tangga dan monopoli
Khilaf yang ada terkait hukum bermain catur dari hadits masyhur bahwa bermain catur lebih buruk dari bermain dadu, membuat masyarakat awam bertanya-tanya, apa hukum bermain catur? Lantas bagaimana hukum bermain ular tangga, monopoli atau permainan lain yang menggunakan dadu?
Syeikh Syauqi Ibrahim ‘Alam, mufti pemerintah Mesir, seperti yang dikutip dari situs resmi Darul Ifta Mesir menjelaskan, bermain catur diperbolehkan oleh mayoritas ulama baik ulama salaf (klasik) ataupun khalaf (kontemporer). Boleh dimainkan selama tidak mengandung unsur judi, atau unsur-unsur lain seperti hilangnya kehormatan diri, lalai dari menunaikan pekerjaan dan kewajibannya bahkan sampai meninggalkan ibadah.
Keputusan tersebut telah disepakati oleh para sahabat dan tabi’in, dan pendapat tersebut diikuti oleh para ahli fikih dan ahli hadits sehingga membentuk konsensus (ijma’). Tidak lain karena bermain catur merangsang otak, mengembankan intuisi untuk merancang strategi dan berbeda dari bermain dadu dengan uang yang cuma mengandalkan untung-untungan alias judi. Hukum judi, mutlak haram.
Penyebab larangan yang tertulis di banyak atsar dari para sahabat dan tabi’in bukan larangan mutlak, tetapi ada ‘illah (alasan) khusus, yaitu banyak pemain catur yang menunda sholat ketika adzan, malah sampai meninggalkan. Banyak juga yang mengucapkan kata-kata kotor atau cabut saat bermain. Tindakan tersebut jelas merusak مُرُوْءَةٌ (kehormatan) seseorang.
Sumber-sumber hukum agama yang tertulis di nash yang membolehkan bermain catur juga bukan berarti membolehkan secara mutlak, tetapi terbatas untuk legitimasi manfaat yang ada dalam permainan tersebut dan melarang dari hal-hal yang tidak berguna atau menjerumuskan si pemain ke kubang dosa.
Beberapa cabang olahraga bahkan memiliki banyak faedah dan manfaat dan tidak ada nash yang membolehkan atau melarangnya. Bermain catur juga sama. Selama tujuan bermain adalah untuk mengasah otak, mengembangkan analisa serta berpikir kritis dan strategis, sah-sah saja dimainkan tetapi tentu dengan tidak mencampurkan unsur-unsur yang dilarang syariat.
Imam Muhammad bin Ya’qub Fairuz Abadi ra. dalam bukunya, Tajbir al-Musyin fi at-Ta’biri bi al-Sin wa al-Syin (hal. 43, cet. Dar Qutaibah), menjelaskan bahwa catur dengan nama asli Chaturanga diciptakan pertama kali oleh Sissa bin Dahir al-Hindi sebagai persembahan untuk Raja Syihram. Saat itu, permainan dadu yang diperkenalkan oleh Ardashir bin Babik, raja pertama Persia, sudah mendarah daging di masyarakat India. Karenanya, permainan dadu yang dalam Bahasa Arab disebut نرد (nard) sering juga disebut sebagai نردشير (nardasyir), mirip dengan nama sang raja.
Setelah catur dikenal luas, permainan dadu mulai ditinggalkan. Raja bahkan memberikan instruksi agar catur terdaftar sebagai permainan nasional karena melihat efek ke masyarakat lebih baik daripada berjudi dengan dadu.
Imam al-Qadli Ayyad al-Maliki ra. (w. 544 H), dalam bukunya Ikmalu al-Mu’allim bifawaidi Muslim (jilid 7, hal. 202, cet. Darul Wafa), menyatakan bahwa beberapa ulama melihat catur dan permainan dadu dengan dua kacamata yang berbeda. Keduanya sama-sama menghasilkan kepuasan jika menang, tetapi permainan dadu hanya berdasarkan keuntungan belaka, sedangkan catur masih melibatkan usaha.
Ibn Qudamah ra. dari madzhab Hanbali (w. 620 H) dalam al-Mughni miliknya (jilid 10, hal. 151, cet. Maktabah Qahirah) menjelaskan,
ويفارق الشطرنجُ النردَ من وجهين: أحدهما: أن في الشطرنج تدبيرَ الحرب، فأشبه اللعبَ بالحراب، والرميَ بالنشاب، والمسابقة بالخيل. والثاني: أنَّ المعول في النرد ما يخرجه الكعبتان؛ فأشبه الأزلام، والمعول في الشطرنج على حذقه وتدبيره؛ فأشبه المسابقة بالسهام
“Catur berbeda dengan permainan dadu dari dua sisi: Pertama, catur adalah simulasi perang. Seolah-olah bermain dengan bayonet, menembak dengan busur atau berlomba dalam berkuda. Faktor hukum dalam permainan dadu adalah menebak apa yang muncul dari salah satu mata dadu, itu sama seperti mengundi nasib dengan anak panah. Sedangkan faktor hukum dalam permainan catur adalah strategi dan keterampilan, itu sama seperti lomba panahan.”
Ibn Hajar al-Haytami dari madzhab Syafi’i mengungkapkan hal senada dalam Tuhfat al-Muhtaj bi Syarhil al-Minhaj (jilid 10, hal. 216, cet. Dar Ihya al-Turats al-Arabiy):
وفارق الشطرنجَ: بأن معتمده الحسابُ الدقيق والفكر الصحيح؛ ففيه تصحيح الفكر، ونوع من التدبير. ومعتمدُ النَّرْدِ: الْحَزْرُ والتخمين المؤدي إلى غاية من السفاهة والحمق
“Catur melibatkan analisa dan pemikiran yang dalam. Permainan tersebut mengasah nalar untuk berpikir logis dan perhitungan strategi yang matang. Sedangkan dadu hanya bergantung ke spekulasi dan tebakan, keduanya menjerumuskan seseorang ke kedunguan dan kebodohan.”
Para ulama lain baik klasik atau kontemporer bahkan dengan lugas menyatakan manfaat dari bermain catur.
Imam al-Khattabi ra. (w. 388 H) dalam Syarh Sunan Abi Dawud, Ma’alim al-Sunan (jilid 2, hal. 242, cet. Matba’ah al-‘Ilmiyyah), “…bermain catur mampu memperoleh wawasan dan membaca strategi musuh.”
Begitu juga dengan Abu Bakar al-Samarkandy dari madzhab Hanafi (w. 540 H) di Tuhfatu al-Fuqaha (jilid 3, hal. 345, cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), Imam al-‘Imroni dari mazhab Syafi’i di al-Bayan fi Mazhab Asy-Syafi’i (jilid 13, hal. 289, cet. Darul Minhaj) dan banyak ulama lain yang berpendapat sama.
Syeikhul Islam, Abu Hafs Umar al-Balqini ra. pernah mengomentari hal ini, “Tidak haram, beberapa ulama memang memakruhkan dan ada juga yang mengharamkan karena mereka mengambil apa yang tersirat dari nukilan nash yang ada. Pendapat yang bagus adalah ulama yang mengatakan bahwa jika tidak ada kerugian uang yang terlibat di dalamnya, tidak ada cacian atau umpatan yang keluar dari permainan tersebut, tidak melalaikan dari sholat, maka hukumnya tidak haram.”
Para salaf seperti sahabat, banyak yang bermain catur dan sepakat membolehkannya karenanyapantas disebut consensus (ijma’) para sahabat. Mereka yang membolehkan, seperti: Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Hasan bin Ali dan Abdullah bin Zubair.
Sedangkan dari golongan tabi’in, terdapat Sa’id bin Musib, Sa’id bin Jubair, Muhammad bin Sirrin, Urwah bin Zubair, Hisyam bin Urwah, Sulaiman bin Yasar, Hasan Bashri, Ja’far bin Muhammad, Ibnu Syihab dan Rabi’ah al-Adawea.
Di sini, Imam Mawardi dari mazhab Syafi’i juga mengomentari terkait hadits
Lantas bagaimana dengan permainan yang melibatkan dadu seperti ular tangga dan monopoli?
Mari kita lihat hadits masyhur dari Abu Musa al-Asy’ari ra., Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدِ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Barangsiapa yang bermain dadu, sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.” (HR. Abu Dawud)
Ada juga hadits lain dari Buraidah al-Islami ra, Nabi SAW bersabda,
مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدَشِيرِ فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَده فِي لَحْم خِنْزِير وَدَمه
“Barangsiapa yang bermain dadu seakan-akan ia mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi.” (HR. Muslim)
Syeikh Ahmad Syaltut, Sekjen Darul Ifta Mesir, menjawab pertanyaan di atas bahwa ulama yang mengharamkan bermain dadu secara mutlak karena mereka hanya melihat dari dzahir teks yang ada di hadits asy-syarif di atas.
Seperti dilansir dari El Balad, lebih lanjut Syeikh menukil pendapat seorang tabi’in, Sa’id bin al Musib,
بأنه يحرم اللعب بالنرد إذا كان مصاحبا للقمار، أو يضيع الصلاة وعدم مصاحبته للكلام الفاحش، وكذلك كان قول الشافعية
“Sesungguhnya haram bermain dadu jika ada unsur judi di dalamnya, atau sampai meninggalkan sholat dan berkata kotor selama permainan. Dan inilah perkataan para Syafi’iyyah.”
Syeikh menambahkan lagi, hukum bermain ular tangga dan monopoli bisa dikiaskan ke hukum bermain catur, selama di dalamnya tidak mengandung unsur judi.
Syeikh Muhammad Abu Sami’, kepala jurusan Fikih di al Azhar Kairo, sekaligus Sekjen Darul Ifta Mesir, juga berkomentar terkait permainan elektronik yang melibatkan dadu. Syeikh menjelaskan hanya dibolehkan jika ada unsur manfaat yang bisa diambil dari permainan tersebut. Permainan tersebut juga tidak boleh mengundang permusuhan dan pertikaian.
Di sini, Syeikh Ahmad Mamduh juga menjelaskan bahwa ada dua pendapat ulama terkait permainan yang melibatkan dadu. Pendapat pertama menyatakan, bermain dengan dadu apapun itu, haram hukumnya baik terikat judi atau tidak.
Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa larangan yang terdapat di hadits asy-syarif di atas bukan sebagai larangan mutlak tetapi terkait unsur qimar (mencari peruntungan) di dalamnya. Jika melibatkan unsur judi, haram hukumnya, tetapi jika sebaliknya, diperbolehkan dengan syarat.
Syeikh menambahkan, syarat tersebut adalah boleh dimainkan asal tidak melalaikan para mukallaf dari menunaikan kewajiban mereka baik kepada Allah SWT atau manusia, tidak melalaikan dari mengaji dan berdzikir serta tidak boleh mengundang pertikaian antar sesama. Tentu saja tidak boleh ada unsur judi di dalamnya karena ilat itulah yang menjadikannya haram. Wallahu a’lam bis shawab.
Santri Al-Azhar alumni Fakultas Hukum yang senang menertawakan dunia dan seisinya.
Baca Juga
Apakah ahli waris wajib membayar hutang pewaris?
23 May 2024