Tanya Jawab
Hukum mengatasnamakan kurban untuk orang yang sudah meninggal
Salah seorang penanya berkata, "Apakah kurban boleh diatasnamakan untuk orang yang sudah meninggal?"
Maka kami akan simpulkan jawaban dari pertanyaan tersebut, sebagai berikut:
Mengenai ibadah kurban, ulama dan pakar-pakar ilmu fikih mendefinisikannya sebagai;
وهي اسم لما يذبح من النعم يوم عيد النحر وأيام التشريق تقربا إلى الله تعالى
Ialah suatu ibadah berupa: penyembelihan hewan ternak tertentu (sapi, kambing atau unta), yang dilaksanakan di hari Raya Ied Adha dan 3 Hari Tasyriq-untuk tujuan pendekat diri kepada Allah swt. (Busyro Al-Karim, 1/311).
Adapun hukum dari kurban ialah: Sunnah Muakkad bagi setiap kelompok keluarga, dan tidak menjadi wajib kecuali jika dinazarkan.
Dari deskripsi soal yang telah disebut, kami bisa simpulkan bahwa: Hukum berkurban dengan atas nama orang yang telah meninggal, seperti berkata, “Ini kurban dari Fulan ayahku yang telah meninggal dunia,” maka hukumnya menurut pendapat yang unggul adalah tidak boleh jika mayit tak sempat berwasiat untuk dikurbankan. Namun jika mayit sempat berwasiat untuk dikurbankan maka hukumnya boleh.
Al-Imam Ibn Hajar al Haitami dalam kitab (Tuhfat Al-Muhtaj, 8/144) menyatakan:
ولا تجوز ولا تقع أضحية (عن ميت إن لم يوص بها)
"Tidak diperbolehkan, niat berkurban atas mayit, jika ia tidak berwasiat atas kurban."
Dalam suatu riwayat dijelaskan:
أن علي بن أبي طالب كان يضحي بكبشين عن نفسه وكبشين عن النبي - صلى الله عليه وسلم - وقال: إن رسول الله - صلى
الله عليه وسلم - أمرني أن أضحي عنه فأنا أضحي عنه أبدا
"Sesungguhnya Sayidina Ali pernah berkurban 4 kambing, 2 untuk dirinya sendiri, serta 2 yang lain (diniatkan untuk Rasulullah saw. yang telah wafat), seraya berkata, 'Sungguh Rasulullah saw. telah menyuruhku untuk kurban atas namanya, maka aku akan berkurban atas namanya untuk selamanya (walau setelah wafatnya)." (Diriwayatkan oleh Imam Hakim dan Baihaqi).
Atas riwayat ini, ulama berdalih bahwa keabsahan kurban atas mayit tergantung dengan wasiat (perintah) dari mayit itu sendiri.
Akan tetapi, ada pendapat lain dari Imam Muhammad bin Ishaq as-Siraj (Guru Imam Bukhori) menjelaskan kebolehan berkurban atas nama orang yang telah meninggal meskipun mayit tersebut tak sempat berwasiat. Beliau beralasan: Kurban merupakan jenis sedekah kepada mayit, dan pahala dari sedekah kepada mayit pasti akan sampainya kepadanya.
أن محمد بن إسحاق السراج النيسابوري أحد أشياخ البخاري ختم عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أكثر من عشرة آلاف ختمة وضحى عنه بمثل ذلك
"Sungguh Syekh Muhammad bin Ishaq An-Naisaburi (salah seorang guru dari Imam Bukhori) beliau telah mengkhatamkan 10 ribu an hadits dari Rasulullah saw. serta berkurban dengan sejumlah bilangan tersebut untuk Nabi." (Nihayat Al-Muhtaj, 8/367).
Padahal, hal tersebut pastinya tanpa wasiat atau perintah dari Rasulullah saw. karena al-Imam Muhammad tak hidup di zaman Rasulullah saw.
Al-Imam Al-Qoffal memperingatkan kepada orang yang berkurban atas mayit, dalam tuturnya:
قال القفال: ومتى جوزنا التضحية عن الميت لا يجوز الأكل منها لأحد بل يتصدق بجميعها لأن الأضحية وقعت عنه فتوقف جواز الأكل على إذنه وقد تعذر فوجب التصدق بها عنه.
"Ketika seseorang meniatkan kurban untuk mayit, maka tak diperbolehkan baginya untuk mengambil sebagian daging kurban. Tetapi wajib baginya untuk menyedekahkan seluruhnya, dikarenakan kebolehannya bergantung pada izin mayit. Dan izin darinya (setelah matinya) tidaklah mungkin." (Nihayat Al-Muhtaj, 8/369).
Perlu diketahui, bahwa jika salah seorang dari anggota keluarga berkurban, sungguhlah pahala serta keutamaan kurban akan terciprat kepada keluarga yang lain.
وأنه لو ضحى واحد عن أهل البيت أجزأ عنهم من غير نية منهم
"Jika salah seorang dari keluarga, berkurban (dengan berniat atas pahalanya untuk keluarganya) maka sampailah pahala tersebut, walau keluarga yang lain tak ada niatan untuk berkurban." (Nihayat al-Muhtaj, 8/398).
Al-Imam Ibn Hajar menyimpulkan,
ولا يضحي أحد عن حي بلا إذنه ولا عن ميت لم يوص
"Tidak diperkenankan seseorang untuk berkurban atas nama orang yang masih hidup, tanpa disertai izin orang tersebut. Juga atas nama mayit (orang meninggal) tanpa disertai wasiat darinya." (Tuhfat al-Muhtaj).
Wallahu A'lam bis Showab
Alumni S1 Univ. Imam Syafii, kota Mukalla, Hadramaut, Yaman. Sekarang aktif mengajar di Pesantren Nurul Ulum dan Pesantren Al-Quran As-Sa'idiyah di Malang, Jawa Timur. Penulis bisa dihubungi melalui IG: @muhammadfahmi_salim