Tanya Jawab
Hukum mencium istri ketika berpuasa
Dalam satu kesempatan saya ditanya oleh seorang teman yang kebetulan sudah berumah tangga. Pertanyaan yang disodorkan adalah, “Bagaimana hukum mencium istri sendiri, sementara kita sedang berpuasa?"
Saya menjawabnya sederhana. Pertama, pada hakikatnya, puasa itu menghindari segala hal yang dapat membatalkan. Salah satu perkara yang membatalkan puasa adalah ejakulasi (inzal) baik disebabkan karena persentuhan kulit maupun bersenggama walaupun tanpa ejakulasi.
Sementara mencium istri bukanlah termasuk perkara membatalkan puasa. Akan tetapi, karena berciuman dapat membangkitkan syahwat (nafsu), mengakibatkan ejakulasi, dan bisa menyeret seseorang menuju interaksi seksual maka pembahasan hukumnya tidaklah sederhana.
Perihal ciuman ini, para ulama menggolongkannya ke dalam perkara yang dimakruhkan dalam puasa, apabila dapat membangkitkan syahwat. Dan pendapat yang kuat, hukum makruh yang berlaku ketika mencium istri dalam keadaan berpuasa adalah makruh tahrim (apabila dilakukan maka pelakunya mendapat dosa).
Mengutip Syekh Muhammad al-Zuhaili, seorang ulama fikkh terkemuka di era kontemporer asal Suriah sekaligus adik kandung dari Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya bertajuk Al-Mu’tamad fi al-Fiqh asy-Syafi’i menyatakan;
تكره القبلة للصائم كراهة تحريم اذا كانت تحرك الشهوة للرجل والمرأة، لتعريض الصوم للإفساد، فإن لم تحرك الشهوة فهي مكروهة، والأولى تركها.
“Mencium (istri) ketika dalam keadaan berpuasa serta dapat menimbulkan syahwat (nafsu) antara keduanya (suami dan istri), maka hukumnya adalah makruh tahrim. Hal ini dikarenakan bisa membahayakan (membatalkan) terhadap puasa. Sebaliknya, apabila tidak sampai menimbulkan syahwat dihukumi makruh saja. Akan tetapi, meninggalkan perkara ini lebih utama atau lebih baik”. (Muhammad al-Zuhaili, Al-Mu’tamad fi al-Fiqh asy-Syafi’i, hal. 185)
Sementara itu, jika mencium istri bisa sampai mengakibatkan ejakulasi, seketika puasanya menjadi batal. Sebab, hal ini sama dengan istimna (yakni mengeluarkan air mani secara sengaja walaupun tanpa bersanggama atau onani).
ولو قبَّل امرأة فأمنى، ولم يخرج المني، فلا يفطر.
“Apabila mencium istri merasa aman dan tidak sampai mengeluarkan air mani, maka tidak membatalkan puasa”. (185)
Dari sini bisa dipahami, bahwa hukum mencium istri ketika sedang berpuasa ditafsil (perinci). Pertama, apabila sampai menimbulkan syahwat maka dihukumi makruh tahrim. Kedua, jika tidak menimbulkan syahwat hukumnya hanya makruh. Ketiga, kalau sampai mengakibatkan keluarnya air mani, seketika puasanya menjadi batal dan wajib mengqada (mengganti puasa).
Lantas bagaimana dengan Nabi Muhammad yang pada saat itu dalam keadaan berpuasa, tetapi beliau mencium istrinya (Sayyidah Aisyah). Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwa
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُنِي وهو صائم. لما روت عائشة رضي الله عنها قالت:
Menarik, dalam memahami hadis ini Syekh Muhammad al-Zuhaili mengajukan satu argumentasi dari Sayyidah Aisyah yang bernada agak menantang:
وأيُّكم إرْبَه (نفسه وشهوته) كما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يملك إربه
“Bagaimana kalian mampu menjaga diri dan syahwat, sebagaimana Nabi mampu menjaga syahwatnya?!”
Karena bagi al-Zuhaili, Nabi Muhammad merupakan seseorang yang mampu menjaga diri dan syahwatnya. Sementara kita, sudah dipastikan tidak akan mampu menjaganya. Dengan demikian, sebagai bentuk kehati-hatian sebisa mungkin hal ihwal dihindari ketika dalam keadaan berpuasa walaupun terhadap istri sendiri. Wallahu a’lam.
Alumnus Ma'had Aly PP Nurul Jadid, Paiton, kini mengajar di PP Zainul Huda, Arjasa Sumenep. Juga penikmat kajian keislaman dan filsafat.