Kisah
Kalau sibuk belajar, kapan waktu cari jodoh?
Abul Wafa Ibnu Aqil Al-Hanbali (431-513 H) terkenal sebagai samudera dalam keilmuan. Di antara sekian banyak karyanya, sebuah mega-ensiklopedia berjudul Al-Funûn.
Ini ensiklopedia Islam terlengkap yang memuat pembahasan tafsir, fikih, nasehat, ushuluddin, ushul fikih, nahwu, bahasa, syi’ir, sejarah, hikayat, faidah-faidah penting, inspirasi-inspirasi pikiran Ibnu Aqil dan rekaman dialog-dialognya dengan sesama tokoh intelektual.
Besar kitab ini lebih dari 400 jilid sebagaimana diceritakan Imam Ibnul Jauzi. Imam Al-Dzahabi dalam kitab Tarikh-nya berkata: “Tidak pernah disusun di dunia kitab yang lebih besar daripada Al-Funûn karya Ibnu Aqil ini.”
Sayangnya naskah ensiklopedia ini telah hilang. Dan hanya ditemukan dua jilid saja dari manuskripnya, yang tersimpan di Prancis. Pernah diterbitkan dengan tahkikan orientalis Amerika keturunan Lebanon, bernama George Abraham Al-Maqdisi.
Bayangkan, bagaimana tekunnya Imam Ibnu Aqil memanfaatkan waktu dalam hidupnya sehingga dapat menghasilkan karya sebesar itu!
Imam Abu Tohir Al-Silafi seorang muhaddits dan musnid besar yang sebaya dengannya menuturkan, “Tidak pernah mataku melihat seorang yang lebih hebat dari pada Abul Wafa Ibnu Aqil Al-Faqîh. Tiada seorang yang mampu mengalahkannya berdebat saking keluasan ilmu, ketajaman presentasi, kefasihan lisan dan kekuatan argumentasinya.”
Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitab Dzail Al-Thabaqât Al-Hanâbilah menukilkan cerita Ibnu Aqil tentang dirinya sendirinya, “Allah menjagaku di waktu muda dengan memberi semacam ‘Ishmah. Allah membenamkan seluruh perhatian dan kecintaanku semata-mata kepada ilmu. Tidak pernah sekalipun aku bermain-main, atau bergaul dengan selain penuntut ilmu sepertiku. Walaupun saat ini aku sudah berusia 80 tahun, semangat ini tidak berbeda dengan ketika aku 20 tahun. Di usia ini tak sedikit pun daya berpikir, daya hafa dan daya penglihatanku berkurang. Hanya kekuatan badan saja yang melemah.”
Meski memiliki keluasan ilmu dan kecerdasan menyala-nyala, Ibnul Jauzi menceritakan Ibnu Aqil sangat sederhana dalam kehidupan. Sebab ia selalu menginfakkan apa yang ia miliki, dan sangat bersabar dengan setiap musibah yang ia hadapi.
Kalau memang sesibuk itu dengan keilmuan dan dengan kondisi perekonomian yang sederhana, bagaimana Ibnu Aqil bertemu dengan jodohnya?
Abu Al-Muzhaffar cucu Ibnul Jauzi dalam kitab biografinya berjudul Mir’âtu Al-Zamân menukilkan kenangan Ibnu Aqil bertemu dengan jodohnya:
Dalam perjalanan pulang dari menunaikan ibadah haji, di tengah jalan aku memungut sebuah kalung permata dengan tali berwarna merah. Ketika aku mencari-cari pemiliknya, tetiba ada seorang kakek tua buta yang mengumumkan kehilangan kalung miliknya. Ia membuat sayembara imbalan 100 dinar bagi yang menemukan.
Karena deskripsinya sesuai dengan yang aku temukan, aku pun segera mengembalikan kalung itu kepadanya. Dia sangat bahagia menemukan kembali kalung istimewa itu.
"Ambillah 100 dinar ini, wahai anak muda." Kata sang kakek sambil menyodorkan.
Aku menolak menerima dan segera pergi mengarah ke Syam untuk menziarahi Baitul Maqdis.
Ketika pulang ke Bagdad, aku kehabisan perbekalan dan sudah sangat lapar. Aku kemudian transit di Aleppo Suriah dan beristirahat di sebuah masjid di sana.
Karena kebetulan baru masuk Ramadhan, aku dipersilahkan untuk menjadi imam. Aku pun mengimami shalat tarawih.
Penduduk setempat memberikan aku makan serta akomodasi, lalu bilang kepadaku, “Imam kami baru saja meninggal. Kalau Anda berkenan, tetaplah di sini mengimami shalat kami selama satu bulan.”
Aku mengiyakan.
Mereka juga bilang, “Mendiang imam kami punya seorang putri, maukah anda menikah dengannya?”
Aku pun mengiyakan. Aku menikah dengan putri sang imam, maka memperpanjang masa tinggal di sana selama setahun.
Ketika istriku melahirkan seorang bayi laki-laki, dia menderita sakit dalam masa nifasnya. Aku merawatnya. Saat itulah aku baru memerhatikan di lehernya melingkar kalung permata dengan tali merah. Aku teringat ini persis sama dengan kalung yang aku temukan untuk sang kakek beberapa waktu lalu.
Aku pun menceritakannya kepada istriku.
Mendengar kisah itu, istriku terisak menangis dan bertanya, "Kau kah itu orangnya?"
"Demi Allah, kau lah yang dimaksudkannya. Dulu ayahku seringkali menangis berdoa, ‘Ya Allah, rezekikanlah putriku seseorang pria seperti yang mengembalikan kalung ini kepadaku!’ Kini Allah telah mengabulkan doa beliau."
Sumber: Siyar A’lâm Al-Nubala karya Imam Al-Dzahabi, vol. 19, hlm. 443-451, cet. Muassasah Al-Risâlah.
Bernama lengkap Muhammad Zainuddin Ruslan. Asal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pernah belajar di Pondok Pesantren Darul Kamal NW Kembang Kerang dan telah menyelesaikan studi S1 di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.
Baca Juga
Kasih sayang KH. Hasyim Asy’ari terhadap anjing
19 Aug 2024
Menyatu dengan ilmu
31 Jul 2024