Artikel
Kedekatan Emosional antara Al-Azhar dan Warga Afro-Amerika
Kematian George Floyd di tangan polisi kulit putih pada 25 Mei 2020 lalu memicu gelombang protes massal di seantero Amerika Serikat (AS). Kejadian yang terus berulang ini menekankan kembali bahwa represi dan diskriminasi warga keturunan Afrika di AS belum sirna. Tagar #BlackLivesMatter nangkring di Twitter berhari-hari sebagai wujud solidaritas warga, tak terkecuali warga dunia.
Sejarah menunjukkan bahwa kaum keturunan Afrika di AS mengalami perjuangan panjang mencapai kesetaraan dalam status sebagai warga negara. Bahkan istilah ‘kulit hitam’ atau N word (negro atau nigger atau nigga) senantiasa mereka lawan karena dirasa sebagai bentuk diskriminasi. Tahun 2020 ini, bersama terjangkitnya pandemi Covid-19, diskriminasi tersebut ternyata masih dirasakan wujudnya bersama kasus tewasnya George Floyd.
Al-Azhar Mesir dalam sejarahnya punya kisah relasi dengan warga AS keturunan Afrika. Relasi ini mulai menguat pada masa perkembangan Nation of Islam (NOI), salah satu organisasi pembela hak-hak warga negara AS keturunan Afrika. Dengan membawa label Islam, organisasi ini menjadi sebuah gerakan spiritual yang kuat serta menjadi mesin perjuangan politik, sosial, budaya dan ekonomi bagi pengikutnya.
Nation of Islam (NOI) dan Islam Sunni
Organisasi NOI didirikan tahun 1930 di Detroit oleh Wallace D. Fard Muhammad yang sebenarnya orang ras Kaukasus, bukan keturunan Afrika. Namun organisasi ini diikuti oleh banyak keturunan Afrika dan menyuarakan perjuangan kaum ini. Pada tahun 1934 NOI dilanjutkan kepemimpinannya oleh Elijah Muhammad setelah perintisnya hilang secara misterius.
Meski menggunakan identitas Islam, NOI dipandang memiliki ajaran kontroversial semisal anggapan keilahian Wallace D. Fard Muhammad dan kerasulan Elijah Muhammad. Kemudian pada masa kepemimpinan Elijah Muhammad (1934 – 1975), terdapat sejumlah pengikut NOI yang mulai berpindah menuju keyakinan Islam Sunni. Di antara mereka adalah salah satu tokoh penting NOI yaitu Malcolm X serta anak Elijah Muhammad sendiri yaitu Warith Deen Muhammad dan Akbar Muhammad.
Tahun 1975 menandai kepemimpinan baru NOI di bawah Warith Deen Muhammad. Pemimpin baru ini berusaha membawa NOI menuju ajaran Islam Sunni dengan mengubah nama organisasi ini menjadi "World Community of Islam in the West" pada tahun 1976, lalu "American Muslim Mission" di tahun 1981, lalu "American Society of Muslims" di tahun 1988. Salah satu orang yang berpindah keyakinan dari NOI ke Islam Sunni di masa ini adalah petinju tersohor, Muhammad Ali.
Sementara itu, NOI yang mengusung ajaran seperti semula diteruskan oleh Louis Farrakhan dari tahun 1978 hingga sekarang. Pusat kegiatan dari NOI saat ini adalah Mosque Maryam di Chicago yang interiornya tidak seperti masjid pada umumnya, namun memiliki fasilitas kursi sebagaimana gereja umat Nasrani.
Menuju Al-Azhar
Kota Kairo pada saat pemerintahan presiden Gamal Abdel Nasser (1956–1970) adalah semacam metropolitan bagi pejuang hak-hak warga maupun keturunan Afrika secara global. Presiden Nasser banyak memberi ruang bagi pejuang hak-hak Afrika, baik politisi, artis, maupun penulis. Sementara itu bagi Muslim keturunan Afrika, Universitas Al-Azhar adalah tujuan utama untuk mendalami agama Islam. Fakta ini termuat dalam makalah The “Three Circles” Construction: Reading Black Atlantic Islam through Malcolm X's Words and Friendships (2015) karya Maytha Alhassen.
Elijah Muhammad sendiri pernah berkunjung ke Arab Saudi dan Mesir di antara tahun 1950an sampai 1960 bersama dua anaknya yaitu Jabir Herbert Muhammad dan Akbar Muhammad. Dari perjalanan ini muncul usaha Elijah Muhammad untuk membawa NOI lebih dekat ke Islam Sunni, tapi bukan untuk mengubah haluan NOI ke Islam Sunni.
Salah satu bentuk usaha Elijah Muhammad itu adalah mengirim anaknya, Akbar Muhammad, untuk belajar di Universitas Al-Azhar Kairo di awal tahun 1960an. Pada masa ini ternyata tidak hanya Akbar Muhammad, namun beberapa pemuda Muslim keturunan Afrika dari Chicago dan Philadephia juga masuk Universitas Al-Azhar untuk belajar Islam sekaligus mendalami identitas Afrika yang mereka sandang.
Para pemuda itu berkuliah di Universitas Al-Azhar dengan beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Mesir. Ada kisah unik tentang pemuda-pemuda itu yang dituturkan oleh David Graham Du Bois, jurnalis yang waktu itu tinggal di Kairo. Ia adalah anak dari William Edward Burghardt Du Bois, seorang sosiolog dan aktivis keturunan Afrika di AS. Kisah unik ini termuat dalam artikel In Cairo, an Expatriate Black American Recalls Malcolm X (1992) yang ditulis Carol Berger.
Di artikel tersebut diceritakan bahwa para pemuda keturunan Afrika dari AS yang berkuliah di Al-Azhar itu merasa bahwa beasiswa yang mereka terima kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lalu untuk memenuhi kekurangan itu, para pemuda tadi mencari tambahan penghasilan dengan cara tampil di Cairo Jazz Club!
Kisah di atas tidak mengherankan karena kaum keturunan Afrika di AS memang terkenal lekat dengan belantika musik jazz di negaranya. David Graham Du Bois sendiri bisa mengisahkan cerita ini karena ia dekat dengan para pemuda tersebut. Ia kerap melewatkan waktu bersama mereka di kafe-kafe seputaran Universitas Al-Azhar yang sampai saat ini masih bisa ditemui.
Dalam masa belajarnya di Al Azhar, Akbar Muhammad akhirnya malah benar-benar memutuskan untuk mengikuti keyakinan Islam Sunni. Pada Oktober 1964 Akbar Muhammad menyatakan keyakinannya akan Islam Sunni di depan khalayak NOI di New York yang mengakibatkan hujatan mereka termasuk ayahnya sendiri. Karena kasus ini sang ayah merasa kalut sampai memutuskan meletakkan kepemimpinan selama 90 hari. Buku karya Herbert Berg berjudul Elijah Muhammad and Islam (2009) memuat kisah ini.
Akbar Muhammad sendiri akhirnya menjadi akademisi di Universitas Binghamtom di New York dan meninggal di tahun 2016 lalu. Sedangkan saudaranya, Jabir Herbert Muhammad yang meninggal di tahun 2008 lebih terkenal di masa hidupnya sebagai pengusaha dan manajer dari petinju Muhammad Ali.
Sementara itu, Malcolm X meninggalkan NOI menuju keyakinan Islam Sunni pada sekitar Maret 1964 dengan mendirikan organisasi Muslim Mosque, Inc. (MMI). Semenjak didirikannya organisasi ini, Malcolm X terlibat aktif dalam perjalanan ke beberapa negara Timur Tengah, Afrika dan Eropa termasuk perjalanan ibadah haji yang melahirkan nama baru baginya yaitu Al-Hajj Malik As-Syabazz.
Selama perjalanan ini, Malcolm X mengirimkan cerita pengalamannya kepada para kolega di AS. Ia memaparkan sikap Islam yang terbuka terhadap beragam ras, tidak seperti NOI yang memiliki sikap antipati terhadap kaum kulit putih. Pada akhirnya di bulan Februari 1965, Malcolm X tewas dalam pembunuhan yang pelakunya adalah beberapa pengikut NOI. Di antara pelaku pembunuhan ini ada juga yang akhirnya pada saat dalam penjara berpindah keyakinan ke Islam Sunni.
Pada pertengahan 1964, Malcolm sempat berkunjung ke Mesir. Kunjungan ke Mesir ini bukan yang pertama baginya, karena di tahun 1950an ia telah melakukannya. Dalam kunjungan di tahun 1964 ini, Malcolm X mendapat beasiswa yang diperuntukkan kepada para pemuda anggota MMI untuk belajar di Universitas Al-Azhar. Kisah ini termuat dalam buku Malcolm X: A Life of Reinvention (2011) karya Manning Marable.
Dalam kesempatan kunjungan di Mesir ini, Malcolm X sempat bertemu dengan Akbar Muhammad yang sedang belajar di Al-Azhar. Selain itu, Malcolm X saat kunjungan itu juga kerap berinteraksi dengan Ismail ibn Ismail, seorang penyair keturunan Afrika dari AS, yang juga belajar di Universitas Al-Azhar.
Kiprah di Amerika Serikat
Jejak Al Azhar di kalangan keturunan Afrika di Amerika Serikat tampak melalui perjalanan sosok Dr. Sulaiman Dunia. Ia adalah profesor bidang aqidah dan Filsafat di Universitas Al-Azhar yang terlibat aktif dalam dakwah di Amerika Serikat antara tahun 1960an sampai tahun 1980an. Profesor yang bermazhab fiqih Maliki ini memiliki audiens dakwah warga AS keturunan Afrika terutama di kota New York.
Salah satu murid Dr. Sulaiman Dunia dalam kegiatan dakwah tersebut adalah Syaikh Ameen Abdul Awal Al-Akkir, yang kini menjadi pengajar di Islamic Cultural Center of New York. Menurut profil yang ditulis oleh Rasul Miller di laman sapelosquare.com, Syaikh Ameen saat remaja juga sempat membaca tulisan-tulisan tentang NOI milik ayahnya. Namun ia kemudian berusaha mempelajari agama Islam lebih dalam di beberapa tempat hingga akhirnya di Islamic Cultural Center of New York ia mengikuti kegiatan dakwah Dr. Sulaiman Dunia.
Di tahun 1980 Dr. Sulaiman Dunia mengakhiri kegiatan dakwah di AS dan meminta Syaikh Ameen untuk berangkat ke Mesir. Di negeri ini Syaikh Ameen berkesempatan belajar ke beberapa guru dan mendapatkan ijazah pengajaran dari Universitas Al-Azhar. Kini ia memiliki ribuan murid dari kalangan keturunan Afrika di AS khususnya di New York.
Ada kisah lain dalam artikel “The Brutha Graduated from Azhar”: The Black Ḥāfiẓ in American Muslim Communities karya Ryan Hilliard yang dimuat di sapelosquare.com, laman yang mengangkat isu terkait Muslim keturunan Afrika di AS. Kisah ini tentang Imam Hamzah Abdul Malik, yang merupakan pembaca Al-Quran saat upacara pra-pemakaman petinju Muhammad Ali di tahun 2016 lalu.
Imam Hamzah yang kini menjadi imam masjid di Memphis, Tenessee ini membaca Al-Quran di upacara tersebut atas permintaan Muhammad Ali sendiri. Saat upacara tersebut, Imam Hamzah membaca ayat 30 sampai 35 dari Surat Fussilat dengan fasih dan merdu serta mengenakan jubah dan penutup kepala khas Al-Azhar. Memang ia adalah seorang yang hafal Al-Quran dan juga lulusan Universitas Al-Azhar.
Imam Hamzah lahir dari keluarga Muslim dan mempelajari agama Islam sejak kecil. Perjalanan menimba ilmu agama Islam ke luar negeri ia mulai dengan menghafal Al-Quran di Tangiers Marokko. Selanjutnya, ia sempat belajar di Damaskus, Suriah dan Tarim, Yaman sebelum akhirnya berkuliah di Universitas Al-Azhar, Fakultas Syariah.
Sebagaimana Imam Hamzah Abdul Malik, Ustad Uabydullah Evans juga seorang pemuka agama Islam AS keturunan Afrika yang sempat belajar agama islam di Tarim, Yaman dan kemudian berkuliah di Fakultas Syari’ah Univeritas Al-Azhar Kairo. Kini Ustad Ubaydullah aktif di beberapa lembaga utamanya American Learning Institute for Muslims di Canton, Michigan
Ustadz Ubaydullah sebelumnya adalah penganut Kristen dan masuk Islam di usia 15. Pada masa awal ketertarikan akan Islam, ia juga dipengaruhi oleh kisah Malcolm X. Kemudian sebelum belajar agama Islam ke luar negeri, ia sempat belajar di sebuah lembaga pendidikan Islam di Chicago.
Dalam artikel tulisan Alexandra Lombardo dalam laman tyglobalist.org, diceritakan bahwa Ustadz Ubaydullah punya nenek yang membuka butik kelas atas dengan menyediakan koleksi bermerk Gucci maupun Prada. Tak heran bila ustad ini tampak sering tampil dengan gaya stylish, tidak seperti pemuka agama Islam pada umumnya.
Ustadz Ubaydullah punya pendapat bahwa kaum keturunan Afrika di AS memiliki hubungan dekat dengan komunitas Islam. Ia bercerita bahwa banyak pria keturunan Afrika di AS yang meski bukan Muslim punya nama yang biasa dimiliki pria Muslim seperti Malik, Jamal maupun Kareem.
Sementara itu, banyak perempuan dari kaum ini yang bukan Muslim namun memiliki nama berakhiran -a atau -ah yang biasanya dimiliki perempuan Muslim seperti Laquisha maupun Aliyah. Inilah hal yang ia sebut sebagai ‘konversi komunal’ ke dalam Islam.
Muhyidin Basroni, Lc., MA., peminat kajian sejarah, budaya dan seni dalam Islam, pernah belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, kini mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta.
Baca Juga
Hati-hati jika berbasa-basi
06 Oct 2024