Artikel

Kelompok-kelompok Islam ekstrem: Lemah ilmu agama tapi kuat propaganda media

18 Mar 2022 04:10 WIB
1211
.
Kelompok-kelompok Islam ekstrem: Lemah ilmu agama tapi kuat propaganda media Telegram menjadi aplikasi kirim pesan yang disukai oleh teroris.

Kelompok-kelompok Islam ekstremis—apapun nama dan afiliasinya—tidak memiliki pondasi keilmuan Islam yang kuat sehingga fatwa dan pandangan-pandangan keagamaannya selalu menyimpang dari ajaran Islam yang semestinya.

Sebagai contoh, seorang pria berinisial RS hendak melakukan aksi teror atau amaliah di gedung DPR. Sebelum melancarkan aksinya, dia ditangkap Densus 88 di gunung Sindur, Bogor Jawa Barat pada Selasa, 15 Maret lalu. Akun Facebooknya banyak berisi video-video kekerasan yang dilakukan ISIS. Selain dia, belasan orang lain yang terlibat dengan jaringan al-Qaeda berhasil diringkus minggu ini. Akhir Februaru lali, seorang pemuda dengan inisial AS ditangkap di kawasan Sungai Lulut Banjarmasin ditangkap karena terbukti berafiliasi JAD (yang dekat dengan ISIS) dan berencana melancarkan aksi teror di pos-pos kepolisian.

ISIS, Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah bagi mereka telah menjadi kiblat percontohan dalam memperjuangkan Islam. Serupa dengan aksi teror yang akan mereka lancarkan, ISIS baru-baru ini mengklaim bertanggung jawab atas bom bunuh diri saat shalat Jumat di kota Peshawar, Pakistan pada Jumat (4/3) lalu. "Hari ini Jumat, seorang petempur ISIS berhasil menyerang sebuah masjid Syiah di Peshawar," kata ISIS di situs propagandanya, Amaq.

Mereka melegalkan kekerasan atas nama memperjuangkan Islam lalu merayakan kematian anggota-anggotanya yang berhasil melancarkan aksi terorisme.

Fakta ini membuat Dr. Aiman al-Hajjar salah seorang ulama al-Azhar Mesir menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok Islam ekstremis telah melenceng jauh dari ajaran moderasi islam dan mendistorsi pemahaman-pemahaman keagamaan yang lurus. Mereka tak jarang menyalahgunakan istilah-istilah agama untuk memuluskan agenda mereka. Seperti mengajak orang-orang agar hijrah meninggalkan negeri mereka masing-masing lalu bergabung bersama mereka untuk berperang sebagai bentuk jihad di jalan Allah.

Di antara “borok” kelompok-kelompok Islam ekstremis itu adalah bahwa mereka tidak memiliki piranti metodologi keilmuan yang jelas dan bersanad dalam memahami nash-nash hadits sehingga banyak sabda Rasulullah saw. dipahami keliru dan dengan itu justru melenceng dari maksud yang sebenarnya dikehendaki. Akibatnya, muncullah fatwa dan pandangan keagamaan ekstrem dari mereka yang sudah melanggar norma-norma keilmuan Islam yang sudah paten sebagaimana terwariskan dari ulama-ulama lintas generasi.

Beliau mewaspadai generasi-generasi muda Islam terjebak sebagai mangsa pemikiran-pemikiran ekstrem mereka. Secara fakta, memang mereka memiliki divisi dakwah yang bertujuan untuk menyebarkan ideologi ekstrem, lalu merekrut mereka yang sudah terkendalikan (tercuci otak) kemudian membaiat menjadi anggota, baik di lakukan dalam majelis-majelis pengajian tertutup atau lewat propaganda di pelbagai platform media sosial. Terduga teroris SU yang ditembak mati Densus 88 dalam operasi penangkapan, terlibat dengan kelompok teroris jaringan Jamaah Islamiyah dan menjabat sebagai deputi dakwah dan informasi.

Yang sesungguhnya perlu diwaspadai adalah bahwa fatwa-fatwa elektronik (online), sebagaimana dikatakan oleh Sekretaris Jenderal Akademi Riset Islam al-Azhar Dr. Ilham Muhammad Syahin, telah menjadi bagian dari alat media organisasi-organisasi ekstrem dengan memanfaatkan seluruh plaform media sosial. Mereka adalah kelompok-kelompok yang bergerak secara individual dalam wujud lone wolf.

Diperlukan cara dan strategi komprehensif dalam menangkal fatwa-fatwa tersebut dan menciptakan kontra narasi yang di antara fungsinya menunjukkan kesalahan fatal fatwa mereka kepada khalayak masyarakat. Hal ini tidak diimbangi—jikalau berlebihan bila memakai kata diperparah—dengan lemahnya serangan balik terhadap mereka oleh lembaga pemerintah terkait.

Kontra narasi harus dilakukan secara cepat, siapa yang pertama membuat narasi maka dialah yang akan mendominasi dan berpeluang untuk menang. Kemudian perlu juga diciptakan iklim keseragaman literasi bagi masyarakat. Kesepahaman literasi mutlak dibutuhkan agar asumsi-asumsi yang berbeda-beda dan justru kontraproduktif dapat dihindari. Alih-alih membantu, justru bisa menjadi bola liar yang menguras energi. Jika itu sampai terjadi, akan muncul misinformasi di tengah masyarakat meskipun tanpa disengaja.

Caranya? Dengan menggunakan strategi narasi tunggal. Ini yang dikatakan oleh Mahladi Murni, anggota Komisi Infokom MUI. Harus ada pihak yang ekstra fokus dan berjibaku dalam memberikan informasi lengkap, utuh dan komprehensif. Pihak inilah yang berwewenang mengeluarkan narasi tunggal kepada masyarakat. Jika semua pihak diberikan kewenangan serupa maka narasi yang terbentuk akan berbeda-beda. Narasi tunggal ini akan dijadikan referensi bagi para pemangku kepentingan dalam berkomunikasi kepada publik.

Sebagai contoh, institusi Al-Azhar meluncurkan proyek Bank Fatwa pada 2020 lalu dalam rangka melakukan pembaharuan pemikiran islam, menyebarkan moderasi beragama dan menghadapi kekacauan fatwa. Banyak stasiun televisi Mesir menayangkan syekh-syekh salafi yang siap menjawab pertanyaan apapun yang diajukan oleh pemirsa, dan tak jarang jawaban mereka lantas kontroversial. Jauh sebelum itu, Al-Azhar dan Lembaga Fatwa Mesir pada 2017 telah menyetujui nama 50 ulama yang memiliki hak berfatwa di media massa. Keputusan ini mendapatkan dukungan politik dari parlemen dan partai politik Mesir saat itu, karena dipandang efektif dalam menyumbat arus fatwa-fatwa ekstrem di siaran televisi.

Contoh lain yang lebih dekat dengan kita adalah kasus vaksinasi Covid-19 yang sempat diisukan haram. Kontra narasi dibangun lewat berita ramai-ramai ulama divaksin seperti yang dilakukan MUI lewat program vaksinasi bersama seluruh pengurus MUI.

Terorisme adalah kejahatan luar biasa yang lahir dari pemikiran-pemikiran yang ekstrem. Oleh karena itu, kesuksesan dalam penanggulangan terorisme terletak bukan hanya pada penangkapan, tapi juga lebih kepada pencegahan. Negara Indonesia dengan aparatur keamanan yang dimilikinya akan mampu melakukan dua fungsi itu.

Tulisan ini hasil diskusi Sanad Media Center for Counter-Terorism.

Redaksi
Redaksi / 443 Artikel

Sanad Media adalah sebuah media Islam yang berusaha menghubungkan antara literasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Mengampanyekan gerakan pencerahan melalui slogan "membaca sebelum bicara". Kami hadir di website, youtube dan platform media sosial. 

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: