Kisah

Kematian an-Nahhas dan cerobohnya orang awam

03 Aug 2022 09:02 WIB
1237
.
Kematian an-Nahhas dan cerobohnya orang awam Nilometer di Pulau Raudah Kairo Mesir.

“Orang-orang selalu memusuhi apa yang tidak diketahuinya,” kata Imam Ali bin Abi Thalib suatu ketika. Petaka kebodohan tak hanya bagi pemiliknya, tapi juga bisa mencelakakan orang lain. Orang bodoh mudah dimanipulasi dan ceroboh dalam mengambil keputusan. Tak sedikit orang lain, termasuk tokoh, yang mati karena kecerobohan orang-orang bodoh.

Adalah Abu Ja’far an-Nahhas (w. 338 H) seorang imam dari Mesir yang sangat menonjol dalam Ilmu Nahwu. Bahkan Imam Suyuti (w. 911 H) saat mencatat para imam dalam Ilmu Nahwu dan Bahasa di Ḫusnul Muḫādharah, memasukkan an-Nahhas di antara urutan pertama.

An-Nahhas sangat produktif menulis, dan tulisannya bukan yang remeh temeh, juga dominan dalam ilmu nahwu dan bahasa Arab. Di antaranya ada Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, I’rābul Qur’ān, an-Nāsikh wal mansūkh, al-Isytiqāq, Tafsīr Abyāt Sibawaih yang oleh Ibnu Khalikan disebut sebagai pionir karena belum pernah ada yang menulis sebelumnya, syarah atas al-Mu’allaqāt as-Sab’, dan lain sebagainya.

Beliau masyhur sebagai orang yang pelit terhadap dirinya sendiri sehingga tidak pernah mengurus pakaian yang dikenakan atau rumah yang dihuni. Bahkan, sebagaimana dikonfirmasi oleh Ibnu Khalikan (w. 681 H), jika diberi surban, ia akan memotongnya menjadi tiga bagian.

Tapi urusan dedikasi untuk ilmu, beliau tak main-main. Dalam riwayat beliau mengambil (belajar) dari seorang imam dalam Ilmu Hadis yaitu Imam Nasa’i, dalam Ilmu Nahwu mengambil dari al-Akhfasy, az-Zajjaj, Ibnu al-Anbari, dan Nifthawaih, dan para punggawa sastra dari Irak. Beliau berkelana hingga ke Irak.

Suatu hari beliau sedang di pinggiran sungai Nil, tepatnya di Nilometer, Raudhah (sekarang masuk bagian Kairo). Nilometer (miqyās an-nīl) yang ada di Pulau Raudhah dekat kota Fustat ini adalah pengukur debit air yang dibangun era Abbasiyah 247 H. Dulu Mesir belum punya bendungan sehingga untuk mengetahui pasang surut debit air nil diperlukan pengukur.

Di pinggiran sungai yang sedang musim pasang itu beliau tidak bengong, tapi merapal beberapa potongan kata. Tepatnya sedang men-taqthī’ beberapa syair dengan timbangan Ilmu Arudh berikut varian baḫr atau wazannya. Mus-taf-‘ilun, mus-taf-‘ilun, sampai enam kali dalam bahar rajaz, misalnya. Memang terdengar ganjil bagi yang tidak pernah mendengar potongan bahar sebelumnya.

Sial, saat sedang serius men-taqthī’, ternyata ia sedang diperhatikan oleh seseorang. Dasar orang bodoh yang ceroboh, ia menyimpulkan bahwa seorang ulama di depannya itu sedang menyihir nil supaya debit airnya berkurang sehingga dampaknya harga sembako akan mahal. Ia bergegas mendekatinya, dan….. menendangnya ke lembah nil. Beliau hanyut dibawa air yang sedang besar arusnya itu, dan….. tenggelam.

Tak ada ulama atau sejarawan kemudian yang mengonfirmasi bahwa beliau akhirnya ditemukan. Imam Suyuti dalam Ḫusnul Muḫādharah mengatakan, “Tak diketahui, ke mana hanyutnya.”

Memang kita selalu memasang badan sebagai musuh dan mencurigai hal yang tidak diketahui. Namun begitu, mestinya kita kemudian menjadi bijak ketika ketemu hal yang tidak kita pahami. Kita diamkan, mempelajarinya, atau menyerahkan kepada orang-orang yang paham.

Alfan Khumaidi
Alfan Khumaidi / 18 Artikel

Alumni Blokagung yang kini berdomisili di Mesir. Meminati kajian keislaman dan aktif di PCI NU Mesir.

 

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: