Esai
Kerangka talfiq dalam tatanan bermazhab
Biasanya ketika ada seseorang yang hendak berangkat ibadah umroh atau haji tidak sedikit yang menyarankan untuk mengikuti mazhab Hanafi atau Maliki saat tawaf, demi menghindari persentuhan kulit antar lawan jenis yang membtalakn wudu. Dalam konsep bermazhab prkatik demikian disebut dengan talfiq. Secara etimologi (bahasa) talfîq bermakna mengumpulkan suatu hal dengan lainya dan menyesuaikan keduanya dengan tujuan menyatukan.
Sedangkan menurut istilah, talfiq bermakna: kombinasi beberapa pendapat mazhab fikih dalam menentukan hukum dengan metode yang tidak diakui oleh mazhab terkait. Istilah talfiq baru muncul akhir-akhir ini. Dalam tradisi fikih, ulama salaf mengenal istilah tatâbu’ ar-rukhaṣ, yakni sengaja mencari pendapat yang ringan untuk menghindari beban syariat, tanpa berpikir jauh akan risiko ke depannya, dan terkadang mengabaikan kesesuaian dengan prinsip-prinsip maqasid syariah.
Kedua istilah di atas memiliki kemiripan dalam hal megambil pendapat dari berbagai mazhab yang berbeda. Bedaannya terletak pada hukum yang diambil. Tatâbu’ ar-rukhaṣ mengambil hukum untuk masalah yang berbeda, semisal mengikuti keringanan mazhab Syafii dalam membasuh Sebagian kepala, mengikuti mazhab Maliki yang tidak mewajibkan adanya saksi pernikahan.
Sementara talfiq objeknya hanya satu masalah, seperti seseorang berwudu tanpa menjalankan rukun tertib berdasarkan mazhab Hanafi, namun ia hanya mengusap sehelai rambut mengikuti mazhab Syafii. Sederhananya, ia hendak mengabsahkan wudu dengan praktik menghindari tertib dan mencukupkan mengusap satu helai rambut. Pola wudu seperti demikian dinilai tidak sah baik menurut Syafii ataupun Hanafi. Meskipun tertib dan mengusap tampak sebagai masalah terpisah, namun sejatinya mereka berada dalam cakupan hukum yang sama, yakni keduanya adalah bagian dari rukun penentu keabsahan wudhu. Sehingga saat seseorang berwudu mengusap sehelai rambut kepala sudah dianggap tidak sah bagi Hanafi yang mengharuskan terusapnya sepertiga rambut kepala. Sementara itu, wudu seseorang tersebut dianggap tidak sah dari perspektif Syafii karena meninggalkan tertib.
Dalam praktiknya, talfiq terkadang dilakukan dengan sengaja, seperti pelajar yang sengaja mencari keringanan hukum lewat lintas mazhab, dan terkadang dilakukan tanpa sengaja, seperti orang yang bertanya sebuah hukum kepada beberapa ulama lintas mazhab, lantas ia mempraktikkan semua jawaban yang ia dapat. Ada pula praktik talfiq sebelum mengamalkan hukum, dan talfiq sesudah mengamalkan hukum dengan tujuan melegalkan praktik yang sudah terlanjur diperbuat.
Tidak ada pandangan spesifik dari ulama salaf (terhitung sebelum abad 3 H), apalagi nas eksplisit dari dalil Al-Qur’an-Hadits mengenai fenomena talfiq karena istilah tersebut muncul pada era ulama mutaakhirin (generasi akhir setelah abad 3 H). Sehingga dalam menanggapinya ulama berbeda pendapat, mayoritas berpendapat bahwa talfiq tidak dibenarkan, sedang yang lain memperbolehkannya dengan beberapa syarat, dan pendapat terakhir inilah yang mukhtâr (dipilih) dalam literatur fikih Islam.
Urgensitas talfiq dan kriterianya
Sebelum melanjutkan pembahasan, hendaknya kita pahami bahwa istilah mukhtâr dalam fikih tidak menandakan pendapat yang kuat dari tinjauan dalil, namun lebih terfokus pada pertimbangan kesesuaian sebuah pendapat dengan realitas yang sedang terjadi. Berbicara dalil, dalil yang menjadi landasan sebuah hukum fikih ada bersifat partikular, yaitu dalil yang jangkauan wilayahnya terbatas, seperti dalil kewajiban salat (aqîmuṣ ṣalâh) yang tidak bisa dijadikan landasan kewajiban zakat. Ada pula dalil universal seperti maslahat dan anjuran mempermudah masalah hidup yang punya jangkauan hampir di seluruh kasus fikih.
Sepertinya, di sini tidak diperlukan penjelasan tentang alasan pendapat mayoritas ulama yang tidak membolehkan talfiq. Namun lebih diperlukan penjelasan seputar pendapat ke dua dari sudut pandang urgensitasnya. Sebab, pendapat kedua lebih realistis dan sesuai dengan prinsip universalitas syariat yang memudahkan kehidupan masyarakat luas. Mengapa talifq manjadi solusi yang realistis?
Pertama, kita perlu menengok ke belakang tentang taklid. Taklid ada dalam syariat sebagai solusi untuk mempermudah orang yang tak mampu memahami hukum dari sumber aslinya (Al-Qur’an dan Hadits). Dalam praktiknya, seorang muslim tidak harus taklid hanya pada satu ulama dalam semua masalah hidupnya. Ia juga diperkenankan mengikuti ulama-ulama lain baik yang menyangkut hukum permasalahan yang saling berhubungan atau tidak.
Kedua, syariat menjadikan jabatan mufti sebagai tempat masyarakat mengadu pelbagai masalah hidupnya. Hal ini membuat mufti dituntut untuk memahami maqashid syariah (prinsip-prinsip utama syariah) dengan baik seperti halnya ia harus memahami masalah sosial dengan mapan. Oleh karenanya, seorang mufti diperkenankan mengambil mazhab lain dalam memberi solusi. Maka sungguh sangat aneh bila ia bersikukuh pada apa yang tertara dalam turats seraya mengabaikan perubahan sosial masyarakatnya.
Ketiga, mengharamkan talfiq sama dengan menghalangi universalitas syariat dan sama juga dengan membatalkan ibadah orang awam. Seperti yang telah maklum adanya bahwa kondisi sosial yang selalu berubah menuntut syariat untuk memberikan solusi, bagaimana solusi tercapai jika hanya berpaku pada keputusan yang diambil sekian ratus tahun silam yang tentunya memiliki kondisi sosial berbeda. Dan lagi, dalam kenyataannya sangat sedikit orang awam yang mampu mencukupkan diri dengan berpegang pada satu mazhab saja. Seandainya hal itu diwajibkan sungguh sangat berat bahkan mustahil bagi mereka untuk menjalankannya.
Keempat, di masa sahabat tidak ada riwayat yang menyebut bahwa saat ada seorang alim ditanya masalah hukum lantas ia berkata pada penanya: “kamu harus ikut mazhabku dan jangan bertanya serta mengikuti selain diriku”. Mari kita lihat para imam kita, betapa mereka menghargai pendapat yang berlainan, alih-alih menganggapnya sesat dan memusuhinya.
Kendati talfiq memiliki nilai urgensitas tersendiri, tetapi agar tidak liar dalam praktik bermazhab legalitas talfiq disyaratkan harus memenuhi kriteria berikut:
Pertama: talfiq didasari atas desakan hajat, yaitu keadaan yang jika dibiarkan dapat membebani seseorang dalam menjalankan ibadah, khususnya, dan aspek kehidupan lainnya, secara umum. Seperti susahnya menghindari persentuhan kulit antar lawan jenis saat tawaf. maka tidak benar jika motif talfiq adalah mengikuti hawa nafsu, demi menghindari perintah dan larangan syariat, atau malah bertujuan memunculkan kesan pembaruan agama dan meningkatkan popularitas.
Kedua, hasil talfiq tidak boleh bertabrakan dengan ijmak atau menyalahi nas eksplisit. Semisal ada yang mengambil pendapat Abu Hanifah tentang kehalalan nabidz, lantas ia mengikuti pola as-Syafii yang menyamakan khamar dan nabidz. Secara tidak langsung ia samapi pada simpulan bahwa khamar itu halal (mengikuti Hanafi) karena sama dengan nabidz (mengikuti Syafii).
Ketiga, talfiq tidak boleh merusak maqashid syari’ah, sehingga tidak dibenarkan bila ada orang yang menikah tanpa wali mempelai putri, dengan berpegang pada mazhab Hanafi, tanpa saksi, dengan mengikuti mazhab Maliki, dan dengan mahar yang rendah mengambil mazhab Syafi'i dan Hanbali. Hal ini akan menyebabkan kemudaratan yang besar seperti hilangnya hak-hak perempuan, dan yang terburuk adalah membuka pintu zina.
Keempat, tidak memanfaatkan talfiq untuk merusak konsekuensi hukum yang telah sengaja ia lakukan. Semisal, ia menikah tanpa saksi berdasar mazhab Maliki lantas ia menalak istrinya tiga kali sehingga haram rujuk, maka ia tidak boleh ikut mazhab Syafi'i untuk menganulir talak tiganya. Hukum ketidakbolehan talfiq dalam hal ini berdasarkan kaidah al-ijtihâd lâ yunqaḍu bi al-ijtihâd, Jadi saat ia mengambil ijtihad Malikiyah di awal maka tidak diperkenankan merusak konsekuensinya dengan hasil ijtihad Syafi'iyah.
Kelima, talfiq tidak boleh digunakan untuk menentang keputusan hakim, Sebab keputusan hakim bersifat mengikat bagi siapapun.
Syarat terakhir, dia hendaknya merasa mantap bahwa pendapat yang akan dipilihnya merupakan pilihan terbaik menurut ulama, dengan pertimbangan kondisi yang ia alami dan seandainya para ulama masih hidup niscaya ada dari mereka yang memberikan solusi demikian.
Wallahu a’lam bis shawab...
Santri Lirboyo yang sedang melanjutkan studi akademik di Al-Azhar University. Pecinta usul fikih dan hukum Islam. Bisa dihubungi lewat IG: dibalik_awwan, atau FB: Karim Alwy
Baca Juga
Moderasi Perspektif Prof. Mohd Mizan Aslam
18 Nov 2024
Kerangka talfiq dalam tatanan bermazhab
31 Oct 2024