Artikel
Kesamaan antara Gus Dur dan Syekh Ramadhan Al-Buthi
Gus Dur atau Abdurrahman Wahid merupakan ulama sekaligus juga umara yang pernah menjabat menjadi presiden Indonesia setelah B.J Habibie. Gus Dur sering kali dikenal sebagai bapak pluraslisme karena pemikiran beliau yang selalu menekankan untuk memahami perbedaan sebagai sebuah kekayaan, bukan sebuah permasalahan. Banyak sekali kontribusi yang sudah beliau dedikasikan untuk bangsa Indonesia dengan pembawaan yang santai dan humoris.
Banyak gelar yang melekat kepada Gus Dur karena perilaku, pembawaan dan pemikiran beliau. Di antara gelar yang melekat pada beliau yaitu bapak pluralisme, pendekar demokrasi bahkan kyai nyeleneh dari kalangan Nahdatul Ulama (NU).
Mempunyai latar belakang pendidikan yang kental dengan agama, beliau dilahirkan dalam lingkungan keluarga pesantren, hingga berkuliah di al-Azhar pada tahun 1964 dan pindah ke Universitas Bagdad karena merasa kurang cocok.
Sama dengan Syekh Ramadhan al-Buthi, beliau juga merupakan mahasiswa al-Azhar pada tahun 1954 dengan mengambil fakultas syariah. Beliau merupakan ulama besar, tokoh terkemuka. Banyak karangan buku beliau tentang hukum dan teologi Islam yang sampai saat ini banyak dijadikan rujukan. Beliau meninggal karena serangan terorisme di Masjid al-Imam tahun 2013.
Kenapa jadi Gus Dur seperti Syekh Ramadhan Al-Buthi?
Banyak sisi yang menjadikan beliau berdua seolah satu orang yang sama, padahal berbeda usia, berbeda tempat dan juga budaya. Mereka berdua telah banyak memberikan sumbangsih keilmuan, pengetahuan, pemahaman tentang bagaimana berislam dan beragama sebenarnya di zaman yang edan ini, di zaman Ketika hal kecil bisa menjadi sebuah ideologi yang pengikutnya sangat fanatic. Kehadiran mereka berdua mengajarkan bagaimana sebenarnya Islam itu.
Tradisionalis tapi moderat
Syekh Ramadhan al-Buthi, selalu menekankan untuk mempertahankan apa yang menjadi prinsip warisan ulama-ulama terdahulu, akan tetapi dengan cara dan jalan yang moderat, tidak sekuler dan juga tidak ekstrem, beliau memiliki pemikiran yang tawasuth dalam artian tidak berat ke satu sisi saja.
Sama hal nya dengan Gus Dur, beliau sangat jelas memiliki latar belakang yang sangat tradisionalis dan sikap beliau ketika menghadapi perbedaan dalam agama sangat santai. Kata beliau, "Wong yang dipelajari saja bahannya sama kok. "Artinya beliau mewajarkan perbedaan sisi di dalam Islam selama sama-sama Islam, bukan salah jika beliau dikatakan sebagai bapak pluralisme Indonesia.
Cinta damai
Menyikapi revolusi Suriah yang berencana menggulingkan rezim Basyar al-Asad, Syekh al-Buthi justru seolah mendukung rezim tersebut, karena menurut beliau revolusi dengan banyak menumpahkan darah lebih mudharat jika dibandingkan dengan menanggung kezaliman rezim Basyar al-Asad. Beliau sangat memperhatikan maslahat umat, yang mana lebih menimbulkan dampak negatif paling banyak, itulah yang seharusnya dihindari.
Serupa dengan Gus Dur ketika dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden, Gus Dur mengatakan bahwasanya ada 300.000 orang yang menandatangani agar dirinya tidak berhenti menjadi presiden, akan tetapi beliau tahan karena menurut beliau, lebih baik saya lengser daripada darah mengalir karena perpecahan, pengambilan keputusan beliau sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh al-Buthi.
Islamnya sangat melokal
Gus Dur dan Syekh Ramadhan Al-Buthi sama-sama berislam dengan ciri khas kelokalannya masing-masing. Beliau berdua merupakan tokoh yang sangat membumikan Islam dalam budaya. Menurut mereka Islam merupakan agama yang unik dan selalu bisa beradaptasi dengan budaya-budaya lokal. Pembawaan mereka berdua terhadap Islam sangat jauh berbeda sebagaimana Islam di kacamata Barat yang beranggapan bahwa Islam adalah agama teroris, dari pemikiran hingga perilaku mereka berdua sangat mencerminkan Islam yang sesungguhnya, Islam yang membawa ketenangan juga kedamaian.
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Antasari Banjarmasin
Baca Juga
Adakah dusta yang tidak berdosa?
23 Nov 2024