Kisah
Ketika ad-Dabbas memukul dan mengusir santrinya
Ulama terkemuka dari kalangan hanafiyah yang ‘ogah’ menyebarkan ilmunya, di sisi lain ada ulama syafi’iyah yang semangat belajarnya menggebu-gebu tetapi ‘tidak sopan’. Demikian kira-kira kesan sepintas kalau nanti kita baca kisahnya.
Sudah menjadi sebuah kelaziman bagi setiap disiplin keilmuan. Bermula dari embrio, berbentuk mandiri sampai pada puncak keemasan, adalah sejarah perkembangan yang mesti dilalui. Begitu pun yang dialami perkembangan ilmu Kaidah Fikih.
Saya tidak akan banyak memberi pengantar tentang kaidah fikih. Selain karena pembaca yang budiman sudah barang tentu akrab dengan disiplin keilmuan yang satu ini, tulisan ini juga tidak akan membahas kaidah fikih sebagai disiplin ilmu tetapi lebih kepada cerita unik, nyelekit, juga tak lepas dari kejanggalan yang terjadi di sela-sela perkembangannya.
Dalam sejarah perkembangannya, kaidah fikih telah menempuh empat periode.
Kisahnya, pada periode ketiga perkembangan kaidah fikih, sekitar abad keempat hijriyah, hidup seorang Imam Muhammad Abu Thahir ad-Dabbas. Ad-Dabbas adalah ulama terkemuka, cendikiawan bermazhab hanafiyah, terkenal dengan keahliannya mentarjih dan mentakhrij pendapat mazhab.
Diyakini sebagai ulama pertama yang mengumpulkan kaidah fikih. Tercatat Ia berhasil mengumpulkan tujuh belas kaidah yang menjadi rujukan fikih mazhab. Di sebuah masjid yang ditempatinya, ad-Dabbas terbiasa memuthala’ah kaidah-kaidahnya setiap malam setelah jemaah yang lain mulai beranjak.
Kisah seorang faqih terkenal ini juga sampai di telinga Abu Said al-Harawi (w. 488 H) -salah seorang ulama syafi’iyah- yang mendorongnya ingin mengetahui kaidah-kaidah yang sudah berhasil ad-Dabbas kumpulkan.
Dalam sebuah kesempatan dengan maksud menyantri, al-Harawi mengunjungi ad-Dabbas di masjid yang ditinggalinya. Seperti biasa ad-Dabbas tengah siap memuthala’ah kaidah-kaidahnya. Setelah semua jemaah pergi, al-Harawi malah secara diam-diam masuk ke dalam masjid, bahkan ia ngumpet di sebuah gulungan tikar agar tidak ketahuan ad-Dabbas. Nah di sini kejanggalan pertama; kenapa al-Harawi yang ingin belajar mesti diam-diam dan mengumpet. Apa iya tidak berakhlak. Seperti maling ayam saja. Sebelum membahas lebih lanjut keanehan ini, saya tuntaskan dulu ceritanya.
Mudah sekali sebenarnya bagi al-Harawi untuk diam-diam mempelajarinya dari ad-Dabbas yang saat itu beliu tengah diuji dengan keadaannya yang tunanetra. Namun sial, tanpa disengaja al-Harawi berbatuk hingga terdengar oleh ad-Dabbas. Sontak ad-Dabbas memukulinya dan mengusirnya dari masjid. Mungkin persis sama dengan pemilik ayam yang menggebuki maling dan mengutuk “dasar maling, mampus kamu, ngapain kau di sini?”, seandainya ada kesempatan mungkin si maling juga ngejawab “lah masih tanya.”
Akhirnya al-Harawi hanya berhasil mencatat tujuh kaidah dari Imam ad-Dabbas, yang selanjutnya ia sebarkan kepada para ulama syafi’iyah yang lain. Setelah kejadian itu ad-Dabbas tidak pernah kelihatan lagi memuthala’ah kaidahnya di sana. Di situlah keanehan selanjutnya; kenapa seorang faqih, ulama besar enggan menyalurkan ilmunya, bahkan di saat yang bersamaan memukul dan mengusir orang yang hendak belajar darinya. Apa mungkin ad-Dabbas kitman (menyembunyikan) ilmu. Hanya ingin ia saja yang tahu dan ahli kaidah fikih. Menyembunyikan ilmu hukumnya haram. Jelas tidak mungkin Imam ad-Dabbas tidak mengetahui hal itu dan sangat tidak berakhlak kalau berasumsi ia sedang kitman al-‘ilm. Lau kenapa.
Untuk menjawab, mewajarkan bahkan mungkin dapat mengharuskan hal itu terjadi ada dua solusinya. Pertama, asumsikan saja -sebagaimana telah banyak yang melakukannya- bahwa cerita tersebut tidak benar adanya atau hanya anekdot saja.
Bagi saya solusi pertama ini – karena dari orang-orang bukan saya– alih-alih menjawab justru menambah keganjalan. Pasalnya, cerita itu sudah banyak dimuat di beberapa kitab mu’tabarah misalnya dalam al-Asybah wa al-Nadhair karya as-Suyuthi, al-Qawaid al-Fiqhiyah al-Kulliyah karya Dr. Muhammad Ibrahim Mahmud al-Hariri, Simpel dan Mudah Memepelajari 175 Kaidah Fiqh karya Khairuddin Habziz dan masih banyak kitab-kitab yang lain.
Melihat fakta ini tidak mungkin rasanya kalau cerita tersebut hanya sebagai bumbu penyedap sejarah perkembangan kaidah fikih. Bila demikian, mari pindah ke solusi kedua.
Setelah mengasumsikan cerita itu adalah fakta, kejanggalan pertama menjadi wajar. Karena mungkin saja al-Harawi juga mendengar dari masyarakat sekitar bahwa Imam ad-Dabbas hanya memuthala’ah kaidahnya dikala sepi. Hal ini menjadikannya harus diam-diam. Bahkan sikapnya itu sebagai bentuk sopan santun al-Harawi kepada Imam ad-Dabbas yang sedang tidak ingin terganggu. Dalam hal mencari ilmu, bukankah wajar ada santri asrama 01 menguping pengajian kiainya di jadwal asrama 02. Waw itu santri rajin dan keren.
Kejanggalan kedua -yang tampaknya ad-Dabbas enggan menyebarkan kaidah-kaidah fikih yang telah ia kumpulkan- untuk menjadi wajar cukup dengan dua jawaban.
Pertama, boleh jadi bagi Imam ad-Dabbas, kaidah yang ia temukan dan ia susun masih belum rampung, masih perlu telaah ulang yang cukup intens, butuh banyak uji simulasi dan revisi demi revisi. Terbukti imam ad-Dabbas harus menunggu keadaan sepi kalau mau mempelajarinya kembali. Sangat tidak mungkin ia tidak mau menyebarkan ilmu. Hanya saja saat itu ilmu yang ada belum cukup matang untuk dihidangkan.
Bila ini yang melatarinya, maka sikap ad-Dabbas bukan hanya benar tapi juga keharusan dan keteladanan. Bukankan untuk mengajar, berfatwa dan atau berpidato memang butuh pemantapan dan telaah ulang materi sampai benar-benar yakin akan kebenarannya sebelum disampaikan kekhalayak. Apa lagi seorang penemu pertama, baginya kemamatangan temuannya sebelum akhirnya disebarkan adalah prinsip. Biar tidak seperti temuan ‘keterputusan nasab’. Menjadi polemik karena tidak meneladani kehati-hatian ad-Dabbas dalam memperhatikan setiap tahapan. Eh.
Kemungkinan yang lain, al-Harawi yang menguping secara diam-diam dikira maling sungguhan oleh Imam ad-Dabbas. Bukankah beliau tuna netra. Bukan tidak mungkin seandainya al-Harawi sowan terang-terangan bahwa ingin belajar kaidah fikih, ad-Dabbas akan mengizinkannya dan menyampaikan kaidahnya. Atau setidaknya beliau akan mengatakan “maaf kaidah yang saya temukan belum layak untuk disebarluaskan”. Wallau a’lam bi al-shawab.
Santri PP. Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo. Bertempat tinggal di pulau Sapudi, Sumenep, Jawa Timur. Sedang Berjuang Mengkaji Fikih dan Ushul Fikih
Baca Juga
Kasih sayang KH. Hasyim Asy’ari terhadap anjing
19 Aug 2024
Menyatu dengan ilmu
31 Jul 2024