Kisah Ibnu Athaillah Kalut dan Curhat kepada Gurunya

Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari bercerita dalam Lathaif al-Minan:

Suatu ketika aku sowan pada guruku, Syekh Abu al-Abbas al-Mursi. Setiba di kediaman beliau, aku dimohonkan izin untuk masuk.

Begitu aku masuk, beliau bangkit lalu menyambutku begitu hangatnya dan dengan wajah berseri-seri. Aku jadi kikuk karena tak layak rasanya orang kecil seperti aku diperlakukan demikian.

Maka ungkapan pertama yang kuucapkan pada beliau, "Aku sangat mencintai engkau, guru."

"Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintaiku, anakku," jawab beliau.

Dalam perbincangan kemudian aku kemukakan kepada beliau tentang persoalan dan kemelut yang sedang membebani pikiranku saat itu.

Guruku Abu al-Abbas al-Mursi menanggapi:

Pengalaman hidup hamba Allah itu sebenarnya hanya dua dari empat perkara yang tidak ada kelimanya, yaitu anugerah atau musibah dan taat atau maksiat.

Jika engkau sedang dalam anugerah, maka kewajibanmu adalah bersyukur.

Jika sedang dalam cobaan, kewajibanmu adalah bersabar.

Jika sedang dalam ketaatan, kewajibanmu adalah menghayati pemberian-Nya kepadamu.

Jika terlanjur berbuat maksiat, kewajibanmu adalah memohon ampunan-Nya (beristigfar).

Setelah itu aku pamit.

Keluar dari kediaman beliau, kesusahan yang selama ini merundung pikiranku rasanya seperti baju yang telah kutanggalkan.

Beberapa waktu kemudian, beliau menyapaku, "Bagaimana keadaanmu sekarang?"

Aku menjawab, "Aku cari-cari lagi kesusahanku, ternyata kok tidak ketemu."

"Baiklah, anakku, peganglah itu erat-erat. Demi Allah, jika engkau memegangnya, engkau akan menjadi mufti (juru fatwa) dalam dua mazhab sekaligus dalam ilmu lahir dan ilmu batin."