Esai
Konsep Maslahah dalam kajian syariat
Sudah mafhum bahwa maslahah (kemaslahatan) menjadi kata kunci dalam kajian syariat karena muara dari seluruh rangkaian proses tasyri’ (pembentukan hukum) tak lain adalah bertujuan menebar kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam yurisprudensi Islam atau ilmu ushul fikih, kajian seperti ini lazim disebut dengan maqashidus syariah, yakni tujuan akhir disyariatkannya ajaran agama. Tujuan ajaran agama ini kemudian dirumuskan lebih konkret menjadi jalb al-mashalih wa dar’i al-mafasid (menarik kemaslahatan dan mencegah kerusakan).
Dan, sebagai akhir dari rangkaian proses tasyri’, maslahah dengan kadar intensitas cukup tinggi selalu menjadi perdebatan di kalangan yuris Islam walaupun mereka sepakat bahwa, kehadiran ajaran suci tak lain bertujuan menebar kemaslahatan umat.
Perdebatan sering mengemuka pada level apakah semua jenis maslahah dapat terkover oleh petunjuk teks wahyu yang amat terbatas jumlahnya bila dibandingkan peristiwa-peristiwa hukum yang terus bergulir sepanjang masa.
Secara makro, teks wahyu dapat mengkover semua jenis maslahah yang melekat pada setiaap peristiwa hukum. Namun dalam praktiknya, terdapat diferensiasi pengamatan para yuris terhadap kaitan setiap peristiwa hukum dengan konteks maslahah yang mesti diapresiasi. Lalu apa yang kemudian menarik dikriteriai adalah substansi maslahah dan mafsadah itu sendiri.
Memang, para filsuf dan moralis barat tidak mencapai kata sepakat dalam meletakkan ukuran bagi maslahah yang mesti diperoleh manusia. Ada yang mengatakan nilai perbuatan manusia mesti diukur oleh kesempurnaan yang absolut, ada pula yang mengkriteriainya dengan nilai pengetahuan, keadilan, keberanian serta harga diri.
Filsuf lain mengkriteriai nilai yang diupayakan mencapai derajat maslahah dengan pengetahuan yang sahih. Ada pula yang mengkriteriainya dengan kemoderatan di antara dua kutub yang dianggap berbahaya.
Belakangan, pada abad ke-19 muncul teori utilitarianisme (madzhab al-manfa’ah) dalam ilmu filsafat hukum barat. Teori yang diintroduksi untuk pertama kalinya oleh Jeremy Bentham (w. 1832 M) ini menggunakan kaidah: “The greatest happiness of the greatest number” (kebahagian yang besar diperoleh dari jumlah bilangan yang besar pula).
Menurut teori ini, tolok ukur utility (keberuntungan) tak lain adalah dua kata yang saling berlawanan kesenangan dan kesedihan. Artinya, bahwa semakin seseorang mampu memproduksi kesenangan dan menekan kenistaan, berarti ia akan lebih banyak mendapatkan kebahagiaan. Standar pencapaian kebahagiaan, menurut teori ini, tak lain adalah individualisme.
Dengan kata lain, bila masing-masing individu mampu memproduksi kebahagiaan sebanyak mungkin secara bebas tanpa batas, maka kepentingan kolektif akan terakomodasi dengan sendirinya. Lebih radikal lagi teori ini sampai pada penyimpulan bahwa, semakin kebebasan individu dapat diterapkan di sebuah lembaga kemasyarakatan, maka semakin tercipta apa yang disebut persamaan (equality).
Paham utilitarian ini sebenarnya pernah bersemai pada era filsafat Yunani kuno. Akan tetapi baru menemukan momentum liberalisme ilmu pengetahuan setelah era revolusi (akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-19). Pada mulanya teori ini ingin meletakkan struktur moralitas seseorang dan social justice secara bersamaan, sebelum dikembangkan menjadi berbagai tema berdasarkan pengalaman sejarah.
Adalah John Stuart Mill (w. 1873 M) yang kemudian memodifikasi teori ini menjadi prinsip-prinsip kebebasan. Pada kenyataannya, teori ini jelas tidak memberikan porsi perimbangan antara kepentingan individu dan kelompok karena terlalu fokus pada kepentingan individu.
Berbeda, dalam Islam, tolok ukur maslahah maupun mafsadah, sebagaimana diungkap Al-Ghazali (w. 505 H), tidak dapat dikembalikan pada penilaian manusia karena amat rentan akan pengaruh dorongan nafsu insaniah.
Sebaliknya, ukuran maslahah dan mafsadah harus dikembalikan pada kehendak syara’ (maqashid al-syariah) yang pada intinya terangkum pada dasar perlindungan hak asasi yang lima (al-mabadi’ al-khamsah), yaitu: perlindungan terhadap agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan harta benda. Segala hal yang mengandung unsur perlindungan terhadap yang lima di atas disebut maslahah. Sebaliknya, semua yang dapat menafikannya bisa disebut mafsadah.
Penilaian Al-Ghazali ini dapat dimengerti karena, mengkriteriai baik-buruk dengan menggunakan standar kemauan semata sesungguhnya terperangkap pada absurditas yang mengaburkan. Sebab, setiap orang dengan kadar subjektivitas cukup tinggi akan menggeneralisasi substansi maslahah tanpa batasan tertentu.
Padahal, bukankah maslahah itu sendiri sering terfragmentasi pada peristiwa-peristiwa hukum yang di dalamnya juga terkover kadar mafsadah. Kenisbian mengkriteriai maslahah ini yang sesungguhnya membuat diskursus di seputar topik ini selalu segar dan menarik.
Dalam kaitan kenisbian ini, Asy-Syathibi membuat formula amat falsafi, bahwa tidak ditemukan di dunia ini suatu wujud maslahah tanpa dibarengi mafsadah, sebagaimana juga tidak tergambarkan adanya mafsadah tanpa mengandung unsur-unsur maslahah di dalamnya. Maka untuk menentukan kapan sebuah peristiwa hukum dianggap mengapresiasi maslahah atau mafsadah, dikembalikan pada mana yang menunjukkan angka dominan di antara keduanya.
Itu sebabnya, mafsadah yang dapat mendatangkan maslahah yang lebih substantif di kemudian hari dapat diakui sebagai hal yang sebangun dengan tujuan-tujuan disyariatkanya ajaran suci. Sebagai contoh adalah pensyariatan jenis-jenis hukuman dalam Islam, seperti hukuman bagi pembunuh, pencuri, pembegal, pezina, dan lain-lain.
Hukuman tersebut sepintas berdampak negatif (mafsadah) bagi diri sang pelaku kejahatan, namun justru mendatangkan maslahah yang lebih riil dan substantif di belakang hari berupa terealisasinya pranata hidup yang lebih sehat, tenteram, dan harmonis.
Asy-Syathibi sebenarnya bukan orang pertama membuat formulasi teori maslahah dengan pendekatan falsafi ini. Izz ad- Din Ibn Abd as-Salam (w. 660 H) dan muridnya, Al-Qarafi (w. 684 H), sebelumnya juga membuat pernyataan senada menyangkut teori maslahah seperti ini.
Rupanya, Al-Qarafi melandaskan teorinya ini pada al-Qur’an aurah Al- Baqarah [2] ayat ke-219 yang menyatakan bahwa “minuman keras dan judi itu sama-sama mempunyai unsur dosa dan sekaligus kemanfaatan di dalamnya, namun demikian unsur dosanya lebih besar ketimbang kegunaannya.”
Lebih transparan lagi, Izz ad-Din mengajak intervensi akal dalam upaya menelusuri segi-segi yang dominan di antara maslahah dan mafsadah pada suatu peristiwa hukum, terkecuali pada kasus-kasus tertentu yang sengaja diproyeksikan sebagai pure ibadah (mahdah) oleh ajaran suci.
Bedanya dengan mereka, Asy-Syathibi lebih sampai pada struktur terdalamnya dalam mengupas teori maslahah-mafsadah untuk kemudian dijadikan pijakan maqashidus syariah. Simplifikasi pengamatan Asy-Syathibi dalam masalah ini boleh dikatakan sampai pada kesimpulan akhir bahwa, maslahah sebagai pijakan perintah syara’ dan mafsadah sebagai landasan larangan syara’ tidaklah dapat tercampuri satu sama lainnya.
Kalaupun terdapat kadar mafsadah yang tidak dominan dalam suatu maslahah atau sebaliknya, hal itu tidak lebih dari sekadar hukum kebiasaan dalam upaya menelusuri segi-segi keduanya. Pada hakikatnya, unsur yang tidak dominan tersebut sama sekali di luar frame maksud dan tujuan syar’i dalam mensyariatkan setiap ketentuan hukum.
Penyikapan seperti ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya tumpang tindih antara perintah di satu pihak dan larangan di pihak lain. Kenyataannya, memang tidak ditemukan dalam ajaran suci suatu bentuk perintah namun mengandung unsur larangan, betapa pun sangat kecil kadar persentase larangan tersebut. Sebab percampuran keduanya bukan saja tidak rasional dalam tataran implementasinya, tetapi juga di luar batas kemampuan manusia untuk menjalankan taklif berupa perintah dan sekaligus larangan dalam waktu bersamaan.
Sebuah Catatan
Tidak semua maslahah dapat diapresiasi menjadi tujuan akhir disyariatkannya ajaran agama. Sebaliknya, maslahah yang dianggap layak menjadi tumpuan akhir syariat memiliki ciri-ciri ibu yang dapat membedakannya dari bentuk maslahah lain di luar bingkai syariat. Maslahah memiliki standar baku berupa petunjuk syara’.
Tentu saja, hal ini bukan berarti menafikan visi akal dalam upaya mengkover jenis-jenis maslahah dimaksud. Sebaliknya, sebagaimana disinyalir Izz ad-Din Ibn Abd as-Salam, dalam Qawaid al-ahkam fi Mashalih al-Anam, bahwa visi akal mempunyai kapabilitas menentukan maslahah maupun mafsadah pada tataran yang berdimensikan profan atau duniawi.
Namun akar persoalan yang merebak adalah bahwa visi akal mempunyai limitasi ruang maupun waktu di samping mudah terbawa arus lingkungan sekitar, kepentingan subjektif-personal, serta dorongan hawa nafsu.
Wujud keterbatasan tersebut bukan hanya dalam upaya mengkover maslahah yang bersifat sakral atau ukhrawi, yakni entitas maslahah di alam akhirat, tetapi juga dalam upaya menemukan maslahah duniawi, yaitu kemaslahatan hamba di alam dunia ini. Karena itu, visi akal yang dapat dibuat pijakan menentukan maslahah membutuhkan pembatasan oleh petunjuk syara’.
Maslahah dan mafsadah dalam Islam bukan terbatas jangkauannya pada praktik kehidupan dunia, tetapi juga menjangkau kehidupan yang abadi di akhirat. Dengan kata lain, tempat bersemainya maslahah bukan hanya di dunia, sebagaimana disangka sebagian penganut aliran tertentu, tetapi juga tumbuh subur di alam barzakh kelak.
Karena itu, berbagai upaya dan usaha untuk menggapai maslahah di alam akhirat nanti dapat ditangkap sebagai maslahah pula dalam pengertiannya yang lebih luas. Dalam konteks ini, orang melakukan amalan ritual (ibadah) untuk bekal kelak di akhirat dapat dianggap mengupayakan kemaslahatan dan menekan terjadinya kerusakan.
Dalam rincian yang lebih detail, maslahah dunia pun beraneka ragam jangkauannya. Ada maslahah yang dapat dipetik pada hari yang sama ketika diupayakan, seperti usaha harian, ada pula yang dapat dipetik setelah seminggu, sebulan, setahun, atau bahkan baru dapat dipetik setelah memasuki hari tua, seperti usaha seseorang menabung harta benda yang memang diproyeksikan untuk kemashlahatan hidupnya di hari tua.
Yang jelas, jenis maslahah akhirat mempunyai jangkauan lebih dari itu, yakni untuk meraih pahala di alam kemudian untuk kehidupan yang abadi kelak. Dalam kaitan ini, umat manusia dianjurkan berbuat kebajikan serta melakukan amal ibadah agar dapat dipetik hasilnya kelak di akhirat.
Namun satu hal yang mesti digarisbawahi, bahwa amalan hamba yang mempunyai kandungan mashlahah duniawi pun dapat berbalik menjadi amalan ukhrawi yang mempunyai dimensi ibadah bilamana didasarkan niat dan komitmen keagamaan yang tulus.
Maksudnya, betapa pun amalan manusia itu bersifat profan-duniawi bilamana sengaja diproyeksikan dalam rangka melaksanakan kewajiban agama dan hukum-hukum Allah Swt., maka sesungguhnya pelaku amalan tersebut mendapatkan tabungan pahala (maslahah di akhirat).
Sebaliknya, amalan baik di dunia tidak akan membuahkan tabungan maslahah di akhirat bilamana amalan tersebut tidak dengan sengaja diproyeksikan demi menjalani hukum-hukum Allah (syariat). Ketentuan ini tampak jelas dilukiskan Allah Swt. dalam QS. An-Nur [24]: 39.
Dari sini sudah jelas bahwa pembelahan hak menjadi hak Allah di satu pihak dan hak Adam di pihak lain sesungguhnya tidak lebih dari pembagian formalitas. Sebab, pada hakikatnya, hak-hak Allah maupun hak-hak adam baik yang profan maupun yang sakral harus didasarkan pada perspektif yang transenden berupa komitmen penghambaan dan ketundukan seorang hamba kepada Khaliknya, sehingga segala bentuk amalan manusia tidak hanya berdimensi duniawi, tetapi juga membuahkan tabungan maslahah di akhirat kelak. Wallahu a’lam bisshawaab.
Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Baca Juga
Ajaran Rasulullah Tentang Kemanusiaan
25 Sep 2024