Kisah
Melihat sisi humanis Syekh Yusuf al-Makassari
Salah satu tokoh penting penyambung mata rantai keilmuan Nusantara dengan Haramain dan beberapa daerah di Timur Tengah adalah Syekh Yusuf al-Makassari. Mendapatkan gelar al-Taj al-Khalwati Hidayatullah karena tarekat Khalwatiah yang ia pelajari dari Syaikh Abu Al-Barakah Ayyub bin Ahmad Al-Khalwati Al-Quraisy ketika di Damaskus.
Syekh Yusuf al-Makassari lahir pada 3 Juli 1627 M/8 Syawal 1036 H dari keluarga kerajaan Goa. Sejak sebelum usianya 10 tahun, ia sudah banyak belajar ilmu agama Islam di kawasan kerajaan gowa. Pendidikan dimulai dengan belajar al-Quran dengan Daeng ri Tasammang. Kemudian belajar dasar-dasar ilmu agama dengan Sayed Ba’Alawi Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala dan ilmu tasawuf kepada Syekh Jalaluddin al-Aidit ketika di Cikoang, Sulawesi Selatan.
Dari kedua guru terakhirnya ini, Syekh Yusuf terinspirasi untuk melanjutkan pedidikannya ke Haramain dan Timur Tengah. Dalam buku Jalan Dakwah Ulama Nusantara di Haramain Abad 17-20 M karya Dzulkifli Amnan mengabarkan bahwa Syekh Yusuf pergi ke Makkah pada 22 September 1644 M. Menggunakan kapal orang Melayu, Syekh Yusuf singgah terlebih dahulu di Banten. Bertemu dengan penguasa Banten, akhirnya ia berkawan baik dengan Pangeran Surya, yang kelak Syekh Yusuf juga menjadi menantunya.
Setelah dari Banten Syekh Yusuf bertolak ke Aceh. Karena di Aceh merupakan pelabuhan Internasional kala itu, yang menghubungkan antara Nusantara dengan Mekkah dan Timur Tengah. Perjalanannya pun dimulai dengan singgah dibeberapa tempat. Dari satu alim ke alim lainnya, dari satu negara ke negara lainnya. Diantaranya adalah India, Yaman, Damaskus, dan terakhir di Haramain, sekaligus melaksanakan ibadah haji di sana. (Amnan, 2013, hlm.26)
Menegakkan Martabat Bangsa yang Terinjak-Injak
Sepulang perjalanannya dari rihlah ilmiahnya dari Haramain, Syekh Yusuf pulang ke wilayahnya dengan memberikan warna ajaran Islam yang bisa diterima oleh masyarakat. Meski saat itu masyarakat pada umumnya masih memegang ajaran yang beragam, namun melalui pendekatan dan pemahaman keislaman Syekh Yusuf yang jenius, ajaran Islam dapat dipeluk oleh mayoritas masyarakat di sana. Bahkan Syekh Yusuf juga mampu mengislamkan banyak masyarakat dari daerah lain.
Atas konsolidasi yang ia jalin dengan kesultanan Banten sebelum berangkat mengembara di Haramain dan beberapa negara lainnya, mengharuskan Syekh Yusuf kembali ke Banten lagi. Dengan hal ini, agar Syekh Yusuf tak melepas perannya di Gowa, akhirnya ia mengutus Abd al-Basyir Al-Darir, salah murid yang mengikutinya dari Mekkah ke Banten untuk menetap dan menyiarkan Islam di Gowa. (Azra, 2013, hlm. 286).
Baca juga: Anregurutta Kali Sidenreng, Ulama Kharismatik dari Sulawesi Selatan
Pada tahun 1680, perang pecah di kesultanan Banten yang disebabkan karena perebutan kursi nomer satu. Peperangan antara ayah dan anak ini tak dapat dielakkan. Sultan Haji, yang merupakan anak dari Sultan Ageng Tirtayasa (Pangeran Surya) berkomplot dengaan kongsi dagang Belanda (VOC).
Syekh Yusuf bersama mertuanya, Sultan Ageng Tirtayasa serta dibantu anak-anaknya melawan Belanda. Karena taktik perang dan persenjataan Belanda yang lebih unggul, peperangan ini dimenangkan oleh Sultan Haji.
Pasukan Belanda dan Sultan Haji menangkap Sultan Ageng dan Syekh Yusuf untuk membuangnya ke Batavia. Namun karena kegigihannya untuk mempertahanka kedaulatan di bumi putera ini, membuat Syekh Yusuf diasingkan ke luar negeri.
Sementara Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Batavia, Syekh Yusuf dipindahkan lagi dan diasingka ke Ceylon, Srilanka. Hingga juga kemudian dipindahkan lagi ke Afrika Selatan sampai akhir hidupnya.
Sisi Humanis Syekh Yusuf al-Makassari
Kisah perjuangan Syekh Yusuf benar-benar membekas hingga kini. Terutama bagi masyarakat Afrika Selatan, daerah yang menjadi tempat dakwah terakhir diujung usianya.
Beliau mendapat atribusi dari masyarakat sebagai ‘Bapak Islam’ Afrika Selatan. Kiprah dan perjuangannya di kala itu sangtlah mengakar dan menjadikan Islam sebagai ajaran pokok di sana.
Dari banyaknya pengikut yang ada, Syekh Yusuf memantapkan pendidikan agama pada para pengikutnya sendiri dari Nusantara. Dengan tanpa mebedakan antar ras dan suku beliau juga mengajarkan agama kepada kalangan budak lokal di sana. Hal ini mencerminkan bahwa Syekh Yusuf adalah sosok yang humanis. Dan kesuksesan Syekh Yusuf adalah membuat komunitas muslim di Afrika Selatan yang terus berkembang hingga saat ini. (Islam, 2019, hlm. 14)
Baca juga: Menziarahi Masjid Tua Mapane: "Titik Nol" Islam di Tanah Poso
Saking kuatnya pengaruh beliau, masyarakat menamakan sebuah wilayah yang sebelumnya bernama “Zandviet” menjadi “Macassar”. Sebuah nama yang merujuk pada tempat kelahiran dan menuntut ilmu pertama Syekh Yusuf al-Makassari.
Kiprah, perjuangan dan sikap humanis yang menginspirasi ini, Syekh Yusuf disematkan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1995 oleh Presiden Soeharto. Begitu juga di Afrika Selatan, Syekh Yusuf disebut sebagai salah satu putera Afrika terbaik oleh Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan. Juga diberi gelar pahlawan Nasional Afrika Selatan oleh Presiden Thabi Meki pada tahun 2009.
Syekh Yusuf yang diagungkan di dalam dan luar negeri, yang mampu menjadikan inspirasi bagi banyak orang. Khususnya mungkin umat Islam di Indonesia. Hal ini pula dapat mengisi ruang-ruang maraknya isu degradasi moral generasi kita. Hingga menjadi tambahan informasi untuk luasnya segara tokoh mata air keteladanan bangsa yang kita cintai ini.
Asal Grobogan, Jawa Tengah. Alumnus pesantren Al-Isti'anah Plangitan Pati. Sekarang menjadi mahasantri Mahad Aly Sa'iidus Shiddiqiyah Jakarta.
Baca Juga
Kasih sayang KH. Hasyim Asy’ari terhadap anjing
19 Aug 2024
Menyatu dengan ilmu
31 Jul 2024