Buku
Membaca kisah pengembaraan intelektual Gus Dur
Novel ini kembali mengingatkan kita pada segala hal mengenai Gus Dakhil Wakhid— nama panggilan Gus Dur sewaktu belia. Sebelum tumbuh menjadi seorang tokoh nasional dan guru bangsa, sosoknya sudah sejak kecil dan remaja memang sangat fenomenal.
Mulai dari nasabnya yang mulia dan menjelang kelahirannya hingga pengembaraan ilmu yang dilalui Gus Dur, Aguk Irawan menuliskannya sangat apik dibalut dengan bahasanya yang begitu hidup.
“Ad-Dakhil memang nakal. Tak hanya suka merebut bola, dia pun suka ikut campur dalam permainan para santri, suka membangunkan dan mengagetkan santri, suka memaksakan keinginannya. Tetapi sifat-sifat itu sepertinya adalah sifat-sifat umum setiap anak. Dia tak ubahnya dengan anak kecil pada umumnya. Kelebihannya adalah, walau dia tampak nakal, jail, suka iseng, dia sangat cepat menyerap ilmu-ilmu agama yang diajarkan kakek dan kedua orang tuanya.” (hlm.66)
Kenakalan dan kejailan yang diperlihatkan Gus Dur kecil ternyata dibarengi oleh daya berpikir serta energi keingintahuan yang sangat besar.
Di pesantren Jombang Gus Ad-dakhil mendapatkan keilmuan agama dari keluarganya. Lingkungan yang mendukung membentuk Gus Dur menjadi bocah yang mendahului zamannya. Di usianya yang lima tahun Gus Dur sudah fasih dan lancar membaca Al-Quran, membaca huruf latin pun dia sudah mampu. Alam bawah sadarnya mulai terbiasa dengan kitab-kitab kuning pesantren. Pelajaran-pelajaran berbahasa Arab diserapnya setiap hari yang ia dengar dari para santri ketika mengaji kitab-kitab itu.
Saat mulai bertumbuh dan nyaman dengan masa kanak-kanaknya di Jombang, Gus Dur kecil harus meninggalkan kampung halamannya ketika usianya beranjak sembilan tahun. Ayahnya Wahid Hasyim mendapatkan amanah menjadi seorang Menteri Agama. Mengikuti sang ayah, akhirnya keluarga kecil Gus Dur pun diboyong ke Jakarta.
Dengan segala kebaruannya, Ad-Dakhil kecil harus menyesuaikan diri dengan kondisi Jakarta yang tentu berbeda dengan kampung halamannya sebelumnya. Ad-Dakhil sempat merasa sedih dan kesal, bahkan berkali-kali merengek tidak mau pindah. Dia ingin tetap di Jombang, di Tebuireng berada dekat dengan teman-temannya, juga di tengah-tengah para santri. Suasana yang menyenangkan tiba-tiba harus berganti dengan suasana yang belum bisa dia bayangkan sebelumnya.
Gus Dur kecil memang belum tahu betul dengan pencapaian gemilang yang diperoleh ayahnya. Menjadi Menteri Agama adalah ujian terberat sekaligus prestasi tersendiri bagi keluarga Kiai Hasyim Asy’ari. Tapi paham apalah anak seusia Gus Dur itu, alih-alih prestasi Ayahnya, yang dia pikirkan adalah dunianya sendiri, dunia anak-anak.
Sebisa mungkin kedua orang tua Ad-Dakhil menghibur dan menguatkannya untuk bertahan menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Ayah Gus Dur tidak pernah abai terhadap tumbuh kembang anaknya. Sekalipun Gus Dur waktu kecil nakal dan suka jail, namun pendidikannya tetap diperhatikan sebaik mungkin. banyak buku-buku dan kitab yang diajarkan ayahnya kepadanya. Ayahnya seorang yang tidak pernah lepas untuk membaca buku. Barangkali inilah yang membuat Gus Dur menjadi cinta terhadap ilmu pengetahuan.
Seiring dengan berjalannya waktu, Gus Dur kecil pun tidak lagi nakal dan jahil seperti dulu. Dia kini lebih menyukai dan menggilai buku. Terkadang buku-buku milik ayahnya ia obrak-abrik sedemikian rupa untuk dibaca. Kebiasannya itu, di sisi lain membuat ibundanya cemas karena melihat anaknya yang teramat cinta untuk membaca buku-buku. Ibunya cemas terhadap kesehatannya, terutama kesehatan matanya yang sering kelewatan waktu bila Gus Dur terlanjur larut untuk membaca buku.
“Melihat anaknya yang lebih sering duduk berlama-lama membaca buku apa aja, itu justru membuat kekhawatiran baru. Di sekolahnya pun dia memanfaatkan waktu istirahat untuk membaca. Dan seakan tak cukup dengan perpustakaaan pribadi ayahnya dan perpustakaan sekolah, dia pergi ke Perpustakaan Nasional di waktu liburnya. Dan melalui Perpustakaan Nasional ini, jenis bacaannya bertambah: cerpen, novel, roman, bahkan filsafat dan bahasa.” (hlm. 95)
Perjalanannya dalam menuntut ilmu ini adalah buah dari kehidupan masa kecilnya. Ia tak mau kalah dari ayah ataupun kakeknya dalam menuntut ilmu. Perjalanannya dari sekolah ke sekolah, pesantren ke pesantren membuatnya menyadari betapa hatinya terpaut dengan ilmu.
Ada kisah dimana Gus Dur ini pindah dari sekolah di Jakarta ke pesantren di Yogyakarta. Sewaktu Gus Dur mulai beranjak dari usia belianya, ayahnya meninggalkannya selama-lamanya. Wahid Hasyim mengalami tragedi kecelakaan mobil ketika hendak bepergian menghadiri acara di Sumedang.
Nyai Solichah, ibu Gus Dur yang harus mengambil seluruh tanggung jawab keluarga setelah kematian suaminya, ingin melihat anaknya tumbuh tak terpisahkan dari dunia ayah dan kakek-neneknya. Yakni dunia pesantren, dunia dimana ilmu agama tumbuh subur di sana. Maka, terpilihlah pondok Krapyak sebagai tujuan pengembaraan intelektual Gus Dur. Di bawah asuhan Kiai Ali Maksum Gus Dur menempa diri.
Peci Miring ini lebih banyak menuliskan perjalanan Gus Dur kecil dan remaja. Selain kecintaan yang teramat mendalam pada ilmu pengetahuan, Gus Dur juga senang bersilaturrahmi. Banyak kiai dan tokoh-tokoh yang Gus Dur kunjungi sewaktu remaja, maka tidak heran bila banyak kalangan yang mencintai beliau. Bahkan, tidak hanya yang masih hidup saja, Gus Dur juga sering menziarahi makam-makam wali.
“Bilamana dia tidak berada di biliknya, tidak pula sedang mengaji kepada Kiai Bisri dan Kiai Fattah, tidak pula berada di gedung bioskop, tidak pula bermain sepak bola, tidak pula membaca buku—ah, entah apalagi judulnya dan apa pula bahasanya— maka saat itu dia sedang menziarahi makam para wali sendirian.” (hlm.272)
Dalam buku “Peci Miring” juga memberikan banyak hal yang jarang diketahui. Seperti persahabatan Gus Dur dengan Gus Mus (Mustofa Bisri) yang dijalin sewaktu bertemu di Al-Azhar. Waktu itu pula, Quraish Shihab disebutkan bermain sepak bola menjadi tim yang sama bersama Gus Mus dan Gus Dur. Gus Mus yang bergairah pada seni dan budaya pada waktu itu, berbeda dengan Gus Dur yang sudah tertarik pada iklim politik di tanah air sejak muda. Analisis-analisisnya beliau tumpahkan melalui profesinya menjadi seorang jurnalis.
Banyak hal menarik yang bisa kita peroleh dari buku ini, termasuk kenapa buku ini diberi nama peci miring. Sebagaimana peci yang dikenakan oleh Gus Dur yang selalu sedikit miring ke kiri.
Meski buku ini hanya sedikit menyorot kiprah Gus Dur dalam dunia politik, namun perjalanan hidupnya sarat akan makna dan nilai-nilai nasionalis. Kehidupannya juga penuh lika-liku. Kebiasaan membaca buku menjadikan beliau tokoh yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Identitas Buku
Judul: Peci Miring, Kisah Pengembaraan Intelektual Gus Dur
Penulis: Aguk Irawan M.N.
Tebal: 399 halaman
Terbit: Cet. I, Mei 2022
Penerbit: Penerbit Imania
ISBN: 978-602-7926-62-2
Asal Grobogan, Jawa Tengah. Alumnus pesantren Al-Isti'anah Plangitan Pati. Sekarang menjadi mahasantri Mahad Aly Sa'iidus Shiddiqiyah Jakarta.