Artikel
Mengelola Proporsionalitas Sikap dalam Kehidupan
Di tengah pandemi Covid-19 yang menyelimuti dunia saat ini, banyak sekali warna-warni kehidupan yang kemudian nampak terang. Hal itu dapat kita saksikan dari bagaimana cara manusia menyikapi dan menghadapinya.
Tidak perlu jauh ke belahan bumi lainnya, di Indonesia saja kita dapat menyaksikan bagaimana sebuah virus mampu membangunkan kesadaran yang telah lama tertidur, tentang pentingnya kebersihan misalnya, atau tentang peran pemerintahan di semua tingkatan, kaum agamawan, hingga para ahli di tiap-tiap bidang.
Apalagi, di era disrupsi teknologi yang begitu cepat seperti saat ini, banyak sekali informasi yang seliweran tanpa sekat penghalang, masuk hingga ke penjuru negeri. Sehingga, tanpa filter berita-berita itu menjelma seperti virus yang mampu mengusik pikiran dan perasaan banyak orang. Rasa takut dan khawatir memenuhi relung hati, sehingga berpotensi menyerang kesehatan ruhani dan nafsani.
Peristiwa penolakan jenazah positif Corona untuk dimakamkan di suatu daerah, penyegelan gerbang masuk desa, serta beberapa istilah yang mulai populis hingga ke pelosok desa, seperti lockdown, social distancing, ODP, PDP, dan beberapa istilah lainnya, menunjukkan secara nyata akan pengaruh media.
Masyarakat umum di pedesaan justru banyak yang menjadi korban pemberitaan media yang begitu deras. Dalam kondisi seperti ini, siapapun berpotensi untuk tiba-tiba menjadi ahli, hingga memiliki otoritas untuk mengadili.
Kemampuan menahan diri untuk tidak berbicara di luar keahliannya seakan sirna begitu saja. Semuanya menjadi campur-aduk antara data, fakta, realita dan apa yang hanya berupa mitos atau dugaan belaka.
Di sisi yang lain, proses edukasi dari pihak-pihak terkait seperti pemerintah dan para ahli di bidang kedokteran masih sangat minim, sehingga pandemi ketakutan pun tak segera teratasi hingga banyak peristiwa irasional terjadi.
Di lain pihak, sebagian kaum agamawan hingga masyarakat awam yang merasa dekat dengan Tuhan masih berdebat tentang fatwa pembatasan sholat berjamaah dan sholat Jum’at di masjid.
Rentetan peristiwa yang muncul di masyarakat kita ini sesungguhnya bisa menghadirkan hikmah sekaligus ironi. Dari sisi keilmuan, muncul banyak sekali informasi tentang karakteristik virus Corona hingga gejala yang ditimbulkan serta langkah antisipatif dan cara penanganannya.
Dari disiplin keilmuan Islam juga muncul banyak kajian, mulai dari ranah teologi hingga fikih praktis dalam menyikapi pandemi ini. Hal ini menjadi positif karena kehidupan tidak dapat dipisahkan dari peran ilmu pengetahuan, sehingga banyak kasus harus disikapi dengan ilmu yang bersifat adaptif dan solutif terhadap segala situasi dan kondisi.
Namun, ironinya, banyak yang menggunakan ilmu agama untuk justru mengadili dan mencaci maki, hingga memposisikan diri seperti wakil Tuhan di muka bumi.
Selain itu, pandemi ini juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nilai-nilai ajaran agama yang selama ini absen dari kehidupan masyarakat, diantaranya tentang pentingnya kebersihan, baik secara fisik maupun hati.
Banyak orang kemudian tiba-tiba berusaha menjaga kebersihan lahiriah dengan rajin cuci tangan, berwudlu secara sempurna, mandi secara lebih tertib, hingga bersih-bersih rumah dan lingkungan. Banyak penyemprotan disinfektan dilakukan hingga ke rumah-rumah dan sepanjang jalan.
Dari sisi kebersihan batiniah, orang berusaha lebih dekat dengan Tuhan, dengan memperbanyak ibadah dan do’a dari rumah masing-masing. Namun ironisnya, ada saja yang mengatakan pandemi ini adalah sebuah konspirasi global, bahkan pemerintah dan majelis ulama telah berkoalisi menjadi musuh Tuhan karena membatasi bahkan menutup aktifitas ibadah di masjid-masjid.
Menghadapi kondisi seperti ini, proporsionalitas sikap sangat dibutuhkan, agar kehidupan tetap berjalan secara seimbang. Sikap berlebih-lebihan dalam segala hal tentu tidak baik, termasuk berlebih-lebihan dalam rasa takut, sehingga menyingkirkan rasionalitas.
Rasa takut (khaûf) tetap harus ada, untuk melahirkan sikap kehati-hatian dalam segala hal. Namun harus tetap diimbangi dengan harapan (rajâ`) agar tidak berpotensi melahirkan stress maupun gangguan psikologis lainnya.
Kemunculan berita tentang ancaman bahaya sesungguhnya tidak hanya muncul akhir-akhir ini saja, melalui media-media yang menggambarkan bahaya virus corona dan virus menular lainnya.
Jika kita menelaah kitab suci umat Islam, betapa banyak berita di dalamnya tentang ancaman dan bahaya. Inilah yang dalam banyak literatur tafsir dan ilmu al-Qur`an disebut dengan al-wa’îd (berita yang mengandung ancaman) sebagai lawan dari al-wa’du (kabar yang mengandung janji yang menggembirakan) atau al-tarhîb (berita yang menakutkan) sebagai lawan dari al-targhîb (berita yang menyenangkan).
Al-Qur`an sejak masa diturunkan telah menggambarkan adanya ancaman bagi orang-orang yang tidak beriman, suka berbuat zalim dan cenderung melakukan kerusakan-kerusakan di muka bumi.
Namun ancaman itu tak berdampak pada sikap kaum muslimin dalam menjalani kehidupan dunia, untuk menjadi saleh secara personal maupun sosial. Sikap takabur dan egoisme masih begitu mencolok di tengah masyarakat.
Ancaman neraka yang digambarkan dengan begitu dahsyat dan menakutkan tak kunjung mendorong manusia untuk menjadi lebih baik. Bisa jadi hal ini disebabkan karena ancaman itu bersifat ghaib, tidak tampak secara nyata, sehingga masih banyak dikesampingkan.
Hal ini berbeda dengan ancaman bahaya yang memang bisa disaksikan secara nyata, seperti dampak buruk virus corona yang menyebabkan kematian dengan proses penularan yang begitu cepat.
Maka peristiwa inipun, selain bisa menunjukkan tingkat pengetahuan masyarakat akan ajaran agama, juga menunjukkan tingkat keimanan kepada Tuhan yang sebatas doktrin saja.
Oleh karenanya, penting kiranya untuk menyeimbangkan semuanya; antara takut dan harapan, antara akal dan perasaan, antara iman dan ilmu pengetahuan, sehingga proporsionalitas sikap dalam menjalani kehidupan akan menghadirkan ketenangan dan kebahagiaan.
Banyumas, 2 April 2020
Mohammad Luthfil Anshori
Ustadz Mohammad Luthfil Anshori, Lc. M. Ud. Lulusan Universitas Al-Azhar, Peneliti dalam Kajian Tafsir AL-Qur'an, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Rosyid Rembang, Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Anwar Sarang Rembang.
Baca Juga
Wibawa Nabi melebihi ketampanannya
02 Oct 2024