Esai
Mengembalikan wajah Islam yang hilang
Dinamika Islam saat ini mulai terindikasi perubahan secara global, baik secara lahiriah maupun secara batiniah. Setidaknya perbuatan yang terlihat tidak terlalu signifikan sampai mengakibatkan hilangnya eksistensi maupun ciri khas dari Islam itu sendiri.
Tidak sedikit para dai atau bahkan akademisi menginternalisasikan Islam dalam wajah yang berbeda-beda. Justru dengan perbedaan pandangan tentang Islam memberikan warna di kalangan masyarakat.
Kesadaran ini mulai terjangkit ketika banyak konflik yang terjadi khususnya di kalangan mayoritas muslim yang menyepelekan bahkan memperkeruh keadaan karena hilangnya identitas Islam itu sendiri. Dengan alasan bahwa identitas Islam yang dibawa harus berdasarkan teks sumber aslinya dan apatis terhadap pendapat dari luar yang bersinggungan dengan argumennya. di sisi lain, Islam sebenarnya sudah bergerak dan berkembang dari sisi historitasnya.
Perkembangan historitas Islam menjadi awal munculnya berbagai aspek kritik maupun kesepakatan secara konvensional ditengah-tengah masyarakat. Pada saat yang sama Islam datang tidak serta merta sebagai agama yang distruptif (Mohammad, 2018: 61) yaitu suatu ajaran yang kemudian memotong segala aspek tradisi masyarakat, melainkan mempertahankan tradisi lama dan turut serta mengembangkan dalam ajaran universal Islam yang disebut urf (Dahlan, 2013: 30-31).
Maka Islam hadir dengan melestarikan nilai, norma bahkan sebuah aturan hidup yang bersifat manusiawi serta menjunjung tinggi keadilan dalam memberikan kemaslahatan bagi umat. Setidaknya ajaran Islam memberikan dampak terhadap arus globalitas yang kian melejit dengan perkembangannya. Dampak yang dihasilkan pun tetap netral dan sejalan sesuai dengan konteks masyarakat yang melingkupi sosial dan budaya mereka.
Islam agama penuh cinta
Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia memiliki esensi dan substansi yang luar biasa. Esensi yang diberikan adalah menciptakan manusia menjadi bermartabat dan memiliki citra diri yang setara baik perempuan maupun laki-laki. Salah satu bukti bahwa Islam adalah agama yang penuh cinta adalah bagaimana Nabi Muhammad memberikan dakwahnya baik secara eksklusif maupun inklusif dengan koridor kebaikan dan penuh kasih sayang.
Fenomena Islam yang terjadi saat ini adalah bagaimana Islam terekspose dalam bentuk kekerasan atau bahkan menimbulkan perpecahan. Kerusakan inilah yang kemudian memberikan dampak kepada wajah Islam itu sendiri menjadi tidak baik. Salah satu ajaran yang kemudian di interpretasikan kembali adalah ajaran Nabi terkait dengan Hijrah, hijrah tidak dengan artian sederhana.
Ruang lingkup hijrah yang sebenarnya adalah memiliki substansi arti perubahan pribadi yang lebih baik. Wajah Islam inilah yang kemudian memberikan dampak positif bagi perubahan sikap, muamalah bahkan interaksi antara muslim dengan muslim atau dengan non-muslim sekalipun. Sebagai catatan besar bahwa hijrah adalah salah satu cara untuk menemukan kembal Islam sebenarnya dalam pandangan muslim di dunia. (Masfufah, 2019: 256)
Eksistensi muslim sebagai wajah toleransi umat beragama
Persoalan yang terjadi saat ini adalah rentetan kekerasan antar konflik yang menjadi agama masing-masing adalah agama yang benar. Sikap egosentris yang menjadikan mata batin tertutup untuk menerima pendapat atau bahkan kebenaran dari agama lain. Inilah yang terjadi ketika Islam tidak diperdalam dengan istilah toleransi di tengah kehidupan masyarakat. Akibatnya banyak yang beranggapan bahwa Islam adalah agama yang angkuh.
Kehadiran seorang muslim untuk membawa citra Islam menjadi lebih baik adalah bagaimana memosisikan agama Islam ini adalah agama penuh dengan kedamaian. Salah satu bentuk kedamaian dari Islam adalah sikap toleransi antar umat beragama, sehingga pada dasarnya ini adalah sebuah tuntutan untuk menciptakan sikap saling menghargai atas segala perbedaan dalam kehidupan.
Eksistensi dari wujud keberagaman seharusnya memberikan dukungan atas adanya sebuah perdamaian yang akhirnya memberikan suasana yang kondusif, aman bahkan rasa kebersamaan yang tinggi. Perlu digaris bawahi, bahwa istilah toleransi beragama bukan serta merta proses untuk saling percaya terlebih dijadikan sebuah momentum pertukaran agama dengan pemeluk agama yang lain, akan tetapi menjadi sarana untuk saling mendukung. (Rizkiadi, 2023: 160)
Perlu adanya batasan-batasan dalam toleransi beragama, sehingga tidak menimbulkan pembenaran secara internal maupun eksternal menganggap bahwa bisa dicampur adukan satu sama lain. Di sisi lain Islam sebenarnya sudah memberikan batasan tersebut agar kerukunan, kedamaian, sikap saling menghormati menjadi eksistensi muslim untuk mengukuhkan kembali wajah Islam yang sebenarnya.
Mahasiswa Magister Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Baca Juga
Moderasi Perspektif Prof. Mohd Mizan Aslam
18 Nov 2024
Kerangka talfiq dalam tatanan bermazhab
31 Oct 2024