Artikel

Menghidupi Karya Para Ulama

08 Mar 2021 02:59 WIB
1752
.
Menghidupi Karya Para Ulama

Guru-guru kita selalu mengajarkan bahwa membaca suatu karya ulama harus penuh dengan penghayatan. Buatlah seolah-olah kita asyik berada di tengah-tengah diskusi para ulama.

Maulana Syekh Sa'duddin al-Hilali misalkan, guru kami dalam perbandingan mazhab fakultas Syari'ah al-Azhar, pernah berbicara tentang pentingnya menghormati setiap pendapat ulama. Saat menekankan urgensi membuat bacaan agar menjadi hidup, beliau berkata, "Ketika kamu mengutip pendapat orang lain, tulislah seolah-olah kamu sendiri yang mengatakan pendapat itu!"

Hal ini agar kita tak mudah mengkritik dan menyalahkan pendapat yang kita kutip, padahal boleh jadi kita belum memahaminya dengan baik. Namun kalau kita bersikap seolah pendapat itu adalah pendapat pribadi kita, kita akan membaca pendapat itu dari berbagai sisi, kenapa bisa muncul pendapat itu? Apa konteks yang mengiringinya? Apa alasan si pengucap? Apa argumennya? Hal-hal yang mesti diketahui sebelum kita menyikapi pendapat orang lain.

Ini senada dengan yang dilantunkan Syekh Abdurrahman al-Akhdhari (w. 953 H) dalam penutup nazham as-Sullam al-Munawraq:

إذ قيل كم مزيف صحيحا * لأجل كون فهمه قبيحا

Berapa banyak orang yang menyalahkan sesuatu yang benar

Karena pemahaman buruk dia (terhadap kebenaran yang dia anggap salah)”

Bagi mereka yang mengikuti pengajian bersama Maulana Sayyid Abdullah al-Jufri, guru kami di majlis Rawdhah an-Na’im di samping masjid Imam Husein (w. 61 H), pasti sudah akrab dengan gaya penyampaian beliau. Terutama dalam menjelaskan perbedaan pendapat antara ulama. Beliau selalu membuat perbedaan pendapat itu menjadi hidup sehingga seolah-olah kita sedang ikut berdiskusi dengan para ulama dalam membahas masalah.

Beliau pernah menjelaskan bahwa suatu ketika Ibnu al-Qasim al-Abbadi (w. 994 H), penulis Hasyiah terhadap kitab Tuhfah al-Muhtaj, bertanya kepada gurunya Syekh Muhammad ar-Ramli (w. 1004 H), "Maulana, ketika seseorang mengucapkan salam dalam shalat, apakah disunnahkan juga niat menyampaikan salam tersebut kepada orang-orang yang ada di sampingnya?"

Ar-Ramli menjawab, "Ya, itu disunnahkan, anakku, karena itulah yang diperintahkan Rasulullah SAW. kepada para sahabat."

Ibnu al-Qasim bertanya kembali, "Tapi Maulana, bagaimana apabila dia hanya berniat menyampaikan salam kepada orang-orang yang berada di sekitarnya saja, tanpa berniat keluar dari shalat (tahallul) dengan salamnya? Apakah hal tersebut bermasalah, karena ketika dia hanya niat mengucapkan salam kepada orang sekitarnya dan tidak niat menutup shalatnya dengan salam itu artinya salam itu teralihkan dari fungsinya sebagai penutup shalat?"

Ar-Ramli menjawab, “Tidak Nak, karena niat mengucapkan salam kepada orang sekitar itu perintah dari Rasulullah, sehingga tidak dianggap sebagai sesuatu yang mengalihkan (sharif) makna salam dari fungsinya sebagai penutup shalat."

Ibnu al-Qasim pun mengakhiri percakapan tersebut. Tapi ternyata dia tidak puas dengan jawaban gurunya, karena ketika seseorang mengucapkan subhanallah dalam shalat jamaah karena ada kesalahan yang dilakukan imamnya, bukankah hal itu juga merupakan perintah Rasulullah?

Namun ketika dia hanya berniat mengingatkan imamnya (tanbih) tanpa berniat zikir hal tersebut bisa membatalkan shalat, maka seharusnya ketika seseorang mengucapkan salam hanya berniat menyampaikan salam kepada orang-orang sekitarnya tanpa berniat mengakhiri shalat (tahallul) dengan salam, hal tersebut juga membatalkan.

Karena pada 2 masalah tersebut, keduanya sama-sama mengucapkan sesuatu (salam dan tasbih) namun hanya bertujuan menyampaikannya kepada orang lain, tanpa menghadirkan niat yang dipertimbangkan dalam shalat, yaitu niat zikir pada masalah subhanallah, dan niat keluar dari shalat pada masalah salam. (Hasyiah Ibn al-Qasim Ala Tuhfah al-Muhtaj )

Namun kemudian muncullah Ali Syibramalsi (w. 1087 H). Dia merupakan murid dari az-Ziyadi (w. 1024 H) yang merupakan murid Imam ar-Ramli.  Ia pun membela pendapat Imam Ramli bahwa tidak perlu niat menutup shalat dengan salam ketika itu.

Ali Syibramalsi berkata, “Tidak wahai Ibnu al-Qasim, pendapatmu ini kurang tepat. Karena seseorang ketika melakukan salam dalam shalat dan didengar orang di sekitarnya yang tidak shalat maka dia tidak wajib membalas salamnya. Karena salam dalam shalat itu memang disyariatkan untuk keluar dari shalat, bukan untuk menyampaikan pesan damai kepada seseorang yang ada di sekitarnya, sehingga ia tidak wajib menjawabnya. Dari sini bisa dipahami bahwa niat menyampaikan salam kepada orang di sekitarnya bukanlah sesuatu yang mengalihkan (sharif) fungsi salam sebagai penutup shalat (dibuktikan bahwa salamnya tidak wajib dijawab), maka tidak perlu niat keluar dari shalat. Berbeda dengan mengucapkan tasbih ketika imam melakukan kesalahan dalam shalat. Kalau dia hanya berniat mengingatkan imam, maka hal tersebut bisa mengalihkan makna tasbih (yaitu zikir) dalam shalat, menjadi sebatas pengingat imam.(Hasyiah Ali Syibramalsi terhadap kitab Nihayatul Muhtaj, Beirut: Dar al-Fikr, vol. 1, hlm. 628-629).

Itulah mungkin gambaran bagaimana membaca warisan para ulama seolah kita duduk di hadapan mereka dan mendengarkan asyiknya mereka mengobrol.

Dimulai dengan membiasakan seolah bercengkrama dengan para ulama melalui karya-karyanya. Semoga Allah memberikan hadiah penghayatan seolah bercengkrama dengan-Nya ketika membaca al-Qur'an, sebelum nanti menghadapi kenikmatan memandang-Nya. Wallahu a’lam.


Yusuf Suhada
Yusuf Suhada / 10 Artikel

Pernah mengenyam pendidikan di Daarul Rahman KH. Syukron Ma'mun, dan Gus Faiz Syukron Ma'mun, dan menamatkan sekolah di Yayasan al-Badar Tangerang. Kemudian pesantren salafi Ath-Thahiriyah di Banten asuhan almarhum Abah TB. Hasuri Thahir. Sekarang kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir.

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: