Esai
Mengingat kembali prestasi ulama dalam ilmu pengetahuan
Setelah wafatnya Rasulullah Saw. persoalan yang pertama timbul dalam Islam adalah persoalan politik. Dari persoalan politik kemudian berkembang menjadi persoalan teologi. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan politik timbul lebih awal dari perkembangan pemikiran. Dengan kata lain yang menjadi pendorong perkembangan pemikiran dalam Islam adalah masalah politik.
Tentu saja, latar belakang historis yang demikian ternyata memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam pada masa-masa selanjutnya. Dalam hal ini, dominasi kepentingan politik telah menentukan bentuk pendidikan dan corak ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan diajarkan di dalamnya. Berdirinya Madrasah Nizhamiyah tampaknya dapat dijadikan model madrasah dengan corak keilmuan sunni yang penuh dengan alasan-alasan politis.
Rupanya, di samping itu, seiring dengan perkembangan masyarakat dan sebagai hasil persentuhan asimilasi dan akulturasi, dalam dunia Islam berkembang pula pemikiran di bidang fikih, hadis, filsafat, serta tasawuf. Namun demikian, tampaknya persoalan politik tetap mempengaruhi dinamika dan pergumulan pemikiran tersebut. Sejarah Islam telah mencatat bahwa antara aliran pemikiran dan kekuasaan saling mengambil keuntungan.
Salah satu pengaruh dari adanya pergumulan bidang politik dan pemikiran adalah dijumpainya tempat-tempat pendidikan yang khusus dan sekaligus merupakan ciri aliran pemikiran tertentu. Seperti Dar al-Hikmah lebih menunjukkan kepada pola pendidikan filsafat dan pengikut Syi’ah, al-Zawaya dan al-Ribat adalah khas sufi, sedangkan madrasah pada awalnya merupakan lembaga pendidikan yang didukung ulama fikih dan hadis.
Dalam sejarah Islam, hubungan antara pendidikan dengan politik juga dapat dilacak sejak masa-masa pertumbuhan paling subur dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah. Sepanjang sejarah terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dengan politik. Kenyataan ini misalnya dapat dilihat dari pendirian banyak madrasah di Timur Tengah yang disponsori oleh penguasa politik.
Prestasi dan kontribusi ulama-ulama
Syahdan. Di antara ulama yang telah banyak memberikan kontribusi pemikiran dan karyanya terhadap ilmu pengetahuan antara lain: pertama, adalah Jabir Ibn Hayyan (721-815 M). Ia dikenal oleh bangsa Latin dengan sebutan “Geber”, bapak pendiri ilmu kimia dalam Islam. Didukung oleh istana kekhalifahan Harun Al-Rasyid di Baghdad. Ia menulis sekitar 3000 karangan, kebanyakan tentang kimia, tetapi juga tentang filsafat, logika, kedokteran, fisika, mekanik, serta bidang-bidang ilmu lainnya. Ibn Hayyan adalah seorang Syi’ah dan sufi sekaligus.
Kedua, Musa Al-Khawarizm (w. 863 M). Ia adalah pencetus ilmu al-gebra (al-jabar) yang telah mengadakan perjalanan ke Timur untuk belajar matematika. Dalam perjalanannya kembali ke istana Al-Ma’mun, ia menyintesiskan matematika yang diketahuinya dan menyajikannya dalam satu seri berjudul “al-Jabr wa al-muqabalah”. Teks latin al-Jabr digunakan sebagai teks dasar pelajaran matematika di Eropa sampai abad ke-16.
Ketiga, Muhammad al-Razi (844-926 M). Ia adalah seorang dokter yang membuka praktek di Baghdad. Ia dianggap sebagai dokter paling besar dalam Islam dan telah memperkenalkan usus-usus binatang sebagai benang penjahit operasi, dan penggunaan air raksa sebagai obat salep dalam mengobati penyakit kulit.
Lebih dari itu, Muhamad Al-Razi dianggap sebagai orang kedua setelah Ibn Sina dalam hal pengetahuan dan tulisannya mengenai masalah-masalah medis. Ia juga memperoleh pengalaman langsung dalam seni pengobatan sebagai direktur rumah sakit di Rayy dan Baghdad.
Di bawah kepemimpinannya, rumah sakit dan klinik tersebut menjadi sekolah medis, dan dia mengajar di sekolah tersebut, baik melalui kuliah maupun pengalaman klinisnya, dengan mempercayakan penanganan pasien-pasien kepada mahasiswa mahasiswanya dan mengawasi proses pengobatannya di rumah sakit.
Keempat, Ibn Al-Khaitsam (965-1039 M). Ia adalah ahli fisika terbesar, yang dalam nama latinnya dikenal dengan “al-Hazen”. Ia tinggal di Basrah dan Kairo. Ia didatangkan ke Kairo oleh khalifah Fathimiyah untuk mengontrol banjir sungai Nil. Dalam bidang fisika, khususnya lapangan optik, telah mengangkatnya ke posisi elit ahli fisika. Pendekatannya terhadap ilmu-ilmu pengetahuan lebih bersifat matematis dan kurang kualitatif, dibandingkan dengan pendekatan teman-teman seangkatannya.
Kelima, Al-Ghazali (1111 M). Al-Ghazali dilahirkan di Thusia di daerah Khurasan (Persia) pada tahun 1058 M. Sejak kecil ia dikenal sebagai anak yang senang dengan ilmu pengetahuan, jadi tidak mengherankan sejak masa anak-anak ia telah belajar kepada sejumlah guru di kota kelahirannya, antara lain Ahmad Ibn Muhammad Al-Radzikani. Selain itu, ia juga tak segan-segan belajar kepada guru yang jauh dari kota kelahirannya. Di antara gurunya yang terkenal adalah Imam Al-Juwaini (Imam al-Haramayn), waktu imam Al-Ghazali menuntut ilmu di Naisabur.
Karena melihat kemampuan dan kecerdasan Al-Ghazali, Imam Al-Juwaini memberinya gelar “Bahrun Mughriq” (laut yang menenggelamkan). Al-Ghazali baru meninggalkan Naisabur setelah Imam Al-Juwaini meninggal dunia pada tahun 1085 M.
Dari Naisabur ia menuju Baghdad dan menjadi guru besar pada universitas yang didirikan oleh Nizham Al-Mulk, seorang perdana menteri sultan Bani Saljuk. Di tengah kesibukannya sebagai guru besar, a juga sempat mengarang sejumlah buku ilmu pengetahuan.
Al-Ghazali bertugas sebagai guru besar hanya selama empat tahun dan kemudian setelah menunaikan ibadah haji, ia menetap di Syam. Dari sini ia kembali lagi ke Baghdad lalu ke Naisabur dan bertugas sebagai guru. Tidak lama setelah itu, ia kembali lagi ke kota kelahirannya hingga wafatnya pada tahun IIII M.
Keenam, Ibn Khaldun (1332-1428 M). Bapak ilmu-ilmu sosial dan sejarawan muslim terbesar, Abu Zaid Abdurrahman Ibn Muhamad Ibn Muhammad Ibn Khaldun Waliyuddin Al-Tunisi Al-Hadrami Al-Isybili Al-Maliki telah dididik oleh keluarganya dalam bidang ilmu pengetahuan dan politik.
Latar belakang keluarga dan saat ia dilahirkan dan dibesarkan. Tampaknya merupakan faktor yang menentukan dalam perkembangan pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual ke dalam dirinya. Sedangkan masa ketika ia hidup ditandai oleh jatuh bangunnya dinasti-dinasti Islam, terutama dinasti Umayyah dan Abbasiyah telah memberikan kerangka berfikir dari teori-teori ilmu sosial serta filsafatnya.
Ketika berada di Mesir, ia sempat mengajar di Universitas Al-Azhar. Masyarakat sangat antusias terhadap materi pelajaran yang diberikannya. Di sini ia mendapatkan sarana yang tepat untuk menyebarkan pikiran- pikirannya. Di antara muridnya yang pernah belajar dan mendengarkan kuliah-kuliahnya adalah Imam Taqiyuddin Al-Maqrizi, seorang sejarawan.
Di samping mengajar di Universitas Al-Azhar, ia juga mengadakan pendekatan kepada raja Mesir, sultan Al-Zahir Barquq. Raja memperlakukannya dengan baik dan mengangkatnya sebagai guru untuk mengajarkan fikih Al-Maliki di Madrasah al-Qamhiyah.
Ketika berada di Mesir, selain mengajar pada Universitas Al-Azhar, ia juga diberi tugas oleh sultan Al-Zahir Barquq untuk menduduki jabatan qadhi (hakim), menggantikan hakim sebelumnya yang telah dipecat oleh sultan. Karirnya sebagai hakim, dilaksanakannya dengan adil, keras, dan tegas. Padahal sebelum kedatangannya, keadilan selalu menjadi bulan-bulanan kaum oportunis.
Inilah sebagian ulama yang kontribusi pemikiran dan intelektualnya telah diberikan dalam lapangan ilmu pengetahuan, sekaligus sebagai bukti tanggung jawab moral mereka sebagai ilmuwan yang berfungsi bagai mandataris ilmu. Kemajuan sains yang telah berkembang pada masa Islam klasik lebih merupakan hasil dari individu-individu ilmuwan muslim yang didorong sema yang “scentific inquiry” guna membuktikan ajaran-ajaran al-Qur’an, terutama yang bersifat kauniyah.
Lalu apa peran ulama dalam mentransformasi Ilmu Pengetahuan?
Yang jelas, sebagaimana dimaklumi bahwa lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang bersifat formal, pada awalnya hanya dikaitkan dengan masjid, lalu setelah beberapa waktu membentuk masjid akademi, dan akhirnya menjadi madrasah-madrasah. Lembaga-lembaga pendidikan Islam ini telah memperoleh pengakuan resmi dari umat Islam untuk melayani kebutuhan kebutuhan pendidikan tinggi.
Institusi pendidikan Islam yang berkembang pada masa itu, memusatkan pengajarannya hanya terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan an sich. Terutama hukum yang menyiapkan kaum muda untuk memangku jabatan-jabatan seperti pemimpin-pemimpin keagamaan, imam- imam shalat, dan ahli hukum Islam.
Untuk menampung kebangkitan intelektual Islam dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan non keagamaan, sejumlah lembaga penting yang bersifat informal, tumbuh dan berkembang secara alamiah (spontan). Lembaga-lembaga ini menyediakan situasi yang produktif bagi para ilmuwan untuk dapat mengembangkan ilmu-ilmu warisan bangsa Yunani dan bangsa Timur dalam bidang filsafat, teologi, kesusasteraan, matematika, kedokteran, dan ilmu-ilmu pengetahuan Islam.
Untuk membedakan lembaga formal dengan informal pada masa itu, tampaknya suatu hal yang dilematis. Hanya standar yang paling jelas untuk membedakan keduanya terletak pada hubungan mereka dengan negara, yang dalam kekuasan Islam bersifat teokratik (kekuasaan negara di tangan Tuhan).
Bahwa tujuan lembaga pendidikan formal adalah untuk mempersiapkan kaum muda dalam mengemban tangung jawab keagamaan dan kependidikan, atau memasuki jabatan-jabatan birokrasi atau beberapa bidang lain yang berkaitan dengan pemerintahan sipil. Karena tujuannya seperti itu, maka lembaga-lembaga pendidikan formal menerima dukungan dana, baik yang bersifat langsung dari keuangan negara (seperti halaqah di masjid) maupun melalui lembaga-lembaga sponsor yang didirikan di bawah ketentuan hukum perwakatan seperti kasus madrasah.
Institusi pendidikan formal ini membatasi kurikulumnya hanya pada ilmu-ilmu keagamaan dan diselenggarakan di bawah pengawasan pemerintah yang teokratik, dalam hal kelayakan materi yang diajarkan, juga dalam hal penggunaan dana-dana bantuan. Adapun dalam institusi pendidikan informal, bantuan dananya didukung atau bersumber dari sukarelawan yang mengabdikan dirinya pada usaha-usaha kelompok.
Dengan kata lain, keberadaan mereka tidak diatur oleh negara, tetapi pribadi atau sekelompok orang yang terlibat dalam institusi tersebut bertanggung jawab kepada masyarakat dengan cara yang sama seperti halnya warga negara lainnya. Seiring dengan hal ini, Abdurrahman Al-Baghdadi menjelaskan bahwa institusi pendidikan yang dikelola oleh swasta pada masa ini harus memenuhi dua persyaratan, yaitu pertama, harus mengikuti kurikulum sekolah negeri (formal). Kedua, bukan milik orang-orang asing dan kafir. Pemiliknya harus mempunyai identitas Islam.
Eksistensi institusi pendidikan informal tergantung pada kepribadian para ilmuwan dan kemampuannya untuk menarik murid dan pendukung (patron). Oleh karena itu, dalam institusi pendidikan informal, ada sebagian orang yang mendukung lingkaran-lingkaran studi (halaqah) dari kekayaan mereka sendiri. Ada pula yang menerima pembayaran dan biaya hidup dari seorang pendukung. Apabila institusi pendidikan informal ini sudah terorganisasi ke dalam sistem yang terstruktur, maka kelompok ini mencari dukungan dari khalifah, sultan, dan gubernur.
Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa, peran ulama dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam institusi pendidikan formal negeri (istilah Abdurrahman Al-Baghdadi) terbatas pada ilmu-ilmu agama an sich. Sedangkan dalam lembaga pendidikan informal swasta, kajian ilmu yang dibahas tidak hanya terikat pada ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu umum seperti filsafat, teologi, sastra, matematika, kedokteran serta ilmu pengetahuan alam. Munculnya institusi pendidikan informal ini lebih didorong oleh kebutuhan dan semangat untuk mempertajam perangkat intelektual para ilmuwan dan para sarjana dari kalangan muda. Wallahu a’lam bisshawaab.
Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Baca Juga
Moderasi Perspektif Prof. Mohd Mizan Aslam
18 Nov 2024
Kerangka talfiq dalam tatanan bermazhab
31 Oct 2024