Buku
Mengintip Humanisme Religius Buya Hamka
"Kalau hidup hanya sekedar hidup, kera di hutan juga hidup. Kalau kerja hanya sekedar kerja, kerbau di sawah juga kerja."
Ucapan Buya Hamka di atas, meskipun diucapkan sudah sejak lama, masih memiliki arti dan signifikansi yang dalam mengenai misteri kemanusiaan atau yang lebih populer dikenal dengan istilah humanisme. Sebagai organisme, makhluk hidup, manusia tidak ada bedanya dengan hewan. Sama-sama hidup, sama-sama bekerja dan beraktifitas. Lantas, apa yang membedakan?
Nah, buku ini mengupas dimensi-dimensi humanisme religius pemikiran Buya Hamka. Sebagai seorang ulama yang luas pengetahuannya, banyak sekali pemikiran Buya Hamka yang sangat mengapresiasi dimensi kemanusiaan atau humanisme. Bahkan, banyak sekali pemikiran keagamaannya yang sangat menekankan dimensi kemanusiaan. Karena itu, buku “Berkenalan Dengan Humanisme Religius Buya Hamka” ini penting untuk dibaca agar kita bisa beragama dengan tetap menghargai kemanusiaan dan berinteraksi dengan sesama manusia tanpa menanggalkan nilai-nilai keagamaan.
Alhamdulillah, setelah sewindu lebih, akhirnya penulisan buku ini dapat terselesaikan. Sebelumnya, niat dan ide menerbitkan buku ini hanya stagnan dan mengendap di dalam angan-angan penulis. Namun, baru dalam waktu dekat ini andrenalin penulis terpacu lebih kencang dan menemukan jangkar semangatnya kembali untuk menyelesaikan penulisan naskah buku ini.
Secara umum, buku ini mencoba mengupas dimensi pemikiran Buya Hamka dalam bidang filsafat. Sebagai seorang tokoh besar, Buya Hamka boleh dikata memiliki banyak kelebihan dan sumbangsih intelektual yang cukup besar. Sumbangsih intelektual Buya Hamka tercermin dari ratusan karyanya baik berupa fiksi maupun non-fiksi. Dalam karya-karya tersebut, Buya Hamka mampu mendemonstrasikan berbagai wacana, cakrawala dan wawasan yang cukup luas di berbagai bidang.
Karena luasnya cakrawala, wawasan dan wacana keilmuan Buya Hamka, secara spesifik buku ini mendedah pemikirannya dalam ranah filsafat, terutama filsafat humanisme religius, yang tersuguhkan di dalam fragmen-fragmen terpisah di dalam karya-karyanya. Buku ini mencoba menyatukan fragmen-fragmen yang terpisah tersebut agar tersusun dengan baik dan memberikan wacana utuh Buya Hamka tentang humanisme religius.
Perlu penulis akui bahwa ide penulisan buku ini, yang semula merupakan penelitian akademik di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, berawal dari ketertarikan penulis pada novel Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya kapal Van Der Wijck. Setelah mengkhatamkan dua novel tersebut, penulis mendapati kalau ternyata tulisan Buya Hamka sarat dengan nilai-nilai humanis. Dari sanalah, penulis kemudian tergerak untuk mengumpulkan berbagai karya Buya Hamka, termasuk magnum opus karyanya, Tafsir Al-Azhar, dan mencari benang merah pemikiran humanisme religiusnya.
Selain itu, yang menjadikan penulis tertarik untuk menguliti pemikiran Buya Hamka ini karena keuletan dan autodidaknya dalam belajar. Buya Hamka, dalam catatan penulis, tidak pernah tercatat sebagai pelajar dalam lembaga pendidikan formal melampaui tingkat dasar. Namun demikian, Buya tetap bisa menunjukkan semangat belajar dan keseriusan dalam mempelajari hal-hal yang memang Buya senangi. Keseriusan dan autodidaknya inilah yang akhirnya mengantarkannya menyabet gelar Doctor Honoris Causa (Dr. H.C.) dari tiga lembaga perguruan tinggi, Universitas Al-Azhar Mesir, Universitas Moestopo Beragama dan Universitas Kebangsaan Malaysia. Keuletan dan autodidak inilah yang perlu ditiru oleh generasi-generasi penerus bangsa saat ini.
Bagi Hamka, Humanisme religius itu pondasinya tak lain adalah kesatuan eksistensi atau tauhid. Asumsi dasarnya adalah kesatuan kemanusiaan. Asasnya adalah kesatuan agama. Misi risalahnya berupa kesatuan kenabian. Akal manusia menjadi anugerah dan distingsi eksistensialnya. Kebebasan dan keadilan menjadi pilar utamanya. Aktualisasi nilai-nilainya dijalankan dengan konsep toleransi.
Ide humanisme religius Buya Hamka ini relevan untuk kehidupan keberagamaan di Nusantara yang notabene memiliki banyak warisan keyakinan keagamaan dan budaya. Ia bisa menjadi ide dasar untuk menjalin dan menguatkan tali bhineka tunggal ika