Buku
Menjaga Pancasila Sebagai Spirit Egalitarianisme yang Dicanangkan Nabi
Kerap kita mendapati para gerombolan mabuk agama yang hidupnya numpang di Indonesia, namun enggan menerima pancasila dan NKRI. Mereka jualan ayat sembari menggaungkan Khilafah yang mereka yakini sebagai janji Tuhan dan warisan Nabi. Padahal tak tahu pasti apa sebenarnya Pancasila yang sudah menjadi ijmak para pendiri bangsa ini.
Panji-panji mereka kibarkan dengan lantang menganggap pancasila adalah sistem thoghut (kafir). Mengancam keamanan dan kenyamanan penganut agama lain. Dan bahkan, juga mengintimidasi penganut yang sebenarnya sama dengan mereka, namun memiliki cara pandang keagamaan yang berbeda dengan mereka.
Seharusnya kita lebih merenungi lagi bagaimana seharusnya beragama dan bernegara dengan benar dari panutan kita, Baginda Nabi Saw. Nabi kita mengajari untuk tidak gampang gegabah menghakimi siapapun yang berbeda.
Seperti yang telah disampaikan oleh Ach. Dhofir Zuhry dalam bukunya berjudul “Nabi Muhammad Bukan Orang Arab?” bahwa Baginda Nabi bersabda, “Aku mencintai Arab karena aku orang Arab.” Sebuah aforisme yang perlu kita sadari, betapa Baginda Nabi mencontohkan pentingnya cinta tanah air, patrotisme dan nasionalisme.
Bukankah kita semua ini adalah khalifah di muka bumi ini. kita adalah makhluk langit yang dibebani amanah untuk mengelola dan memakmurkan bumi. Bukan malah merusaknya dengan tidak meneladani akhlak dan pekerti sebagaimana dicontohkan Nabi kita.
Tuhan memberikan kita sebuah anugerah berupa Kebhinekaan. Anugerah yang menjadikan kita untuk selalu lapang dada menerima perbedaan dan tetap bersatu menjaga keutuhan negara.
Gus Dhofir sebagaimana kerap disapa, merespon gerakan-gerakan yang mengatasnamakan agama demi tujuan tertentu dengan hadirya buku “Nabi Muhammad Bukan Orang Arab?”. Buku ini menarasikan sikap dan cara pandang keagamaan Nabi untuk tidak rasis terhadap penganut Agama lain. Pelajaran berharga kepada kita bahwa tidak sepatutnya kita mencaci keindonesiaan dan menerima pancasila sebagai ideologi bangsa.
Disajikan beberapa essai yang mengupas gerombolan mabuk agama yang tengah dalam logical falaccy (sesat pikir) terhadap ajaran Islam. Pembaca akan diberi paham dan terus merenungi akan realita keagamaan yang terjadi di saat ini. Mengadvokasi agar terus belajar agama dengan benar, bukan malah sibuk menghakimi dan memonopoli kebenaran.
Di salah satu esainya yang berjudul “Sumber Daya: Antara Peradaban Api dan Cahaya”, tersajikan fakta bahwa bangsa kita adalah bangsa yang hebat dengan memiliki berbagai sumber daya yang amat potensial. Termasuk sumber daya ideologi berupa pancasila yang semestinya perlu kita rawat dan jaga selalu, agar tidak lapuk dan mengering di dada kita masing-masing.
Antara Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), dan Sumber Daya Ideologi (SDI) berupa pancasila, teramat jelas bahwa indonesia adalah bangsa yang kaya akan sumber daya. Dan bangsa-bangsa asing teramat cemburu akan ini semua. Oleh karena itu, siapa pun yang ingin menjajah dan merusak satu bangsa, terutama Indonesia, adalah dengan cara merusak dan merebut sumber-sumber dayanya. (hlm.143).
Pada essai lain bertajuk Nabi Muhammad Perangi Khilafah, Gus Dhofir memberi pukulan telak bagi pengusung khilafah. Dalam kitab Suci teramat lebih banyak ayat-ayat tentang perdamaian (musalimah) dari pada ayat-ayat perang (musayifah).
Terkuak fakta-fakta mengagetkan bahwa Khilafah ‘ala minhajin Nubuwwah bukanlah misi kenabian (nubuwwah) itu sendiri. Justru misi kenabian yang sebenarnya adalah menghapus kesukuan juga budaya Arab Jahiliyah yang cenderung tribalistik dan etnosentris. Pasca Khulafaur-rasyidin, dinasti dinasti yang datang kemudian membawa wangsa kesukuan yang sangat kental. Ini jelas sebuah kemunduran.
Jadi Khilafah yang diusung HT, ISIS, JAD, dan lain-lain jelas satu kemunduran dan menghancurkan spirit egalitarianisme yang dicanangkan Nabi. Ini jelas ingkar Sunnah, meski tidak mereka sadar-akui. (hlm. 166).
Kini telah terang bahwa memahami Islam secara tekstual dengan memonopoli kebenaran dan bahkan menyamakan Arab dengan Islam dan menjadi Islam harus Arab adalah kebodohan yang nyata. La dina li man la ‘aqla lahu. Bahwa, barangsiapa yang tidak menggunakan akal sehatnya, maka dia tidak beragama.
Jelas sekali, ulama-ulama kita telah memberi contoh nyata tentang merawat Kebhinekaan dan kesantunan dalam beragama. Sejak zaman para Wali yang datang dan menyebarkan Islam di Nusantara ini tetap menjunjung tinggi tradisi dan kearifan lokal yang ada, dari dulu hingga sekarang.
Adalah Mbah Hasyim Asy’ari contoh paling nyata yang tetap menjadi Indonesia meski belajar di Arab, juga Bung Hatta yang lebih menjadi Indonesia walau belajar di Belanda.
Sebanyak 44 essai dalam buku karya Gus Dhofir ini, telah cukup menjadi bahan permenungan atas isu-isu keagaman yang terjadi saat ini, bahwa tetap setia pada NKRI dan Pancasila adalah sebuah keharusan.
Pesan yang disampaikan Gus Dhofir teramat gampang diterima oleh nalar. Setiap essai yang disajikan tak terkesan menggurui, bahkan seolah-olah kita sedang diajak berdialog bersama membicarakan sebuah problema.
Identitas Buku:
Judul :Nabi Muhammad Bukan Orang Arab?
Penulis : Ach Dhofir Zuhry
Tebal : xi+207
Tahun :2020
Penerbit : Quanta Elexmedia Komputindo
Asal Grobogan, Jawa Tengah. Alumnus pesantren Al-Isti'anah Plangitan Pati. Sekarang menjadi mahasantri Mahad Aly Sa'iidus Shiddiqiyah Jakarta.