Kisah
Misteri jendela yang selalu terbuka di Masjid Nabawi
Saat anda menyampaikan salam langsung kepada Baginda Rasulullah SAW di dalam Masjid Nabawi, anda tengah membelakangi sebuah jendela misteri. Jendela itu selalu terbuka dan tak pernah tertutup sejak 1400 tahun yang lalu.
Tak seorang pun berani menutup jendela itu. Jendela yang selalu terbuka itu mengabadikan sebuah janji seorang ayah kepada putrinya. Sebagian besar peziarah tak mengetahui mengapa jendela itu selalu terbuka menganga.
Banyak rahasia yang tersimpan di sudut-sudut Masjid Nabawi. Pintu, jendela, tiang, lantai, kubah, ornamen, bahkan warna cat yang dipilih untuk memoles tembok Masjid Nabawi memiliki sejarah dan kisah tersendiri. Setiap detail yang ada di masjid terbesar kedua di dunia ini memiliki cerita yang unik.
Sejak masa Nabi SAW, Masjid Nabawi telah melalui serangkaian perluasan dan pembangunan. Seiring dengan bertambahnya para peziarah dari masa ke masa, para penguasa pun selalu memiliki kepedulian yang tinggi terhadap Masjid Nabawi. Para penguasa terus melakukan perluasan dan renovasi agar setiap peziarah dapat terlayani dengan baik saat mengunjungi dan beribadah di masjid ini.
Baca juga: Kisah dua ulama besar yang bergelar al-Qaffal, ahli pembuat kunci
Kisah jendela yang selalu terbuka di belakang Makam Nabi bermula pada saat perluasan Masjid Nabawi yang kedua. Peristiwa itu terjadi pada tahun 17 H. Saat itu jumlah kaum Muslimin meningkat tajam karena meluasnya wilayah kekuasaan Islam atau yang dikenal dengan istilah futuhat. Para peziarah ke Masjid Nabawi melimpah ruah. Masjid Nabawi tak mampu lagi menampung jamaah. Oleh karena itu, Khalifah Umar bin al-Khaththab memprakarsai perluasan masjid.
Namun, sang Khalifah menemukan sedikit kendala saat perluasan Masjid Nabawi. Kendala itu ialah keberadaan rumah putri sang Khalifah sendiri, Hafshah Binti Umar. Hafshah adalah Ummul Mukminin, salah seorang istri Baginda Rasul SAW. Rumah Hafshah Binti Umar berada persis bersebelahan (bagian selatan) dengan Makam Nabi. Di tempat itulah para peziarah berhenti untuk mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW.
Tempat itu adalah kamar Hafshah. Di tempat itulah Hafshah dahulu menemani Rasulullah SAW saat tidur bersamanya. Namun, untuk kepentingan perluasan, kamar yang penuh kenangan bersama Rasulullah SAW itu harus dirobohkan. Bagaimana cara membujuk Hafshah agar mau merelakan kamar itu untuk perluasan masjid. Maukah Hafshah Binti Umar pindah ke tempat lain, meninggalkan tempat yang penuh kisah bersama Baginda Rasul?
Baca juga: Kisah murid Abu Hanifah salah berfatwa dan mengoreksi kekeliruannya
Khalifah Umar bin al-Khaththab menemui putrinya Hafshah untuk menyampaikan rencana tersebut. Hafshah menangis sekeras-kerasnya dan menolak untuk meninggalkan rumahnya. Sang Khalifah tak mampu meyakinkan putrinya. Setelah dua hari berlalu, Khalifah Umar kembali menemui sang putri. Namun, Hafshah tetap bersikukuh menolak rencana itu. Ia enggan meninggalkan tempat dahulu ia bersama sang mulia, Rasulullah SAW.
Para Sahabat pun mulai berembug untuk mencari cara yang dapat melunakkan hati putri Khalifah Umar. Semua usulan itu ditolak oleh Hafshah. Ia tetap ingin tinggal di kamar yang hanya berbatas tembok dengan Makam Rasulullah SAW. Saat Aisyah, istri Nabi SAW, dan para tokoh Sahabat ikut serta memberikan saran, Hafshah tak bergeming dengan keputusannya.
Setelah situasi mereda beberapa malam, datanglah Umar beserta putranya Abdullah menemui Hafshah. Pada pertemuan kali ini hati Hafshah mulai melunak. Ia menerima usulan rencana perluasan Masjid Nabawi mengenai rumahnya. Namun ia mengajukan syarat agar ia bisa menempati kamar saudaranya, Abdullah, yang berada persis di samping kamarnya. Di kamar itu pula, ia meminta dibuatkan jendela yang selalu terbuka agar ia bisa terus memandangi Makam Sang Kekasih, Rasulullah SAW. Jendela itu harus selalu terbuka selamanya. Setelah Hafshah wafat, jendela itu tetap terbuka hingga kini, melalui kurun waktu 14 abad lamanya. Jendela itu menghadap langsung ke Makam Nabi SAW.
Jendela ini memiliki beberapa nama. As-Suyuthi menyebutnya ‘Jendela Umar bin al-Khaththab’, sedang Ibnu Katsir menamainya ‘Jendela Keluarga Umar’. Setiap penguasa yang memimpin Masjid Nabawi selalu memperhatikan keberadaan jendela yang terbuka ini. Mereka mempertahankan janji Umar terhadap putrinya Hafshah untuk membiarkan jendela ini selalu terbuka melintasi dari zaman ke zaman.
Penulis lepas. Menyelesaikan studi pada program Pascasarjana, Kajian Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia.
Baca Juga
Kasih sayang KH. Hasyim Asy’ari terhadap anjing
19 Aug 2024
Menyatu dengan ilmu
31 Jul 2024